Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manggi Habir *
Judul utama media minggu ini didominasi oleh hasil suara referendum Yunani dan anjloknya pasar saham Cina. Kedua peristiwa ini ternyata menambah ketidakpastian dan menimbulkan gejolak yang cukup berarti di pasar modal dunia, yang saat penulisan ini belum mencapai pasar modal kita. Sebaliknya, di Indonesia, ada titik temu antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Bank Indonesia mengenai kebijakan BI yang melarang penggunaan mata uang asing dalam transaksi dalam negeri. Meskipun kesepakatan ini masih terbatas pada sektor minyak dan gas, pola yang dipakai dapat menjadi contoh bagi sektor lain.
Kemenangan suara "tidak" pada referendum Ahad lalu cukup menarik karena diartikan beda antara kreditor dan debitor utang Yunani. Kreditor memandangnya sebagai langkah untuk akhirnya Yunani meninggalkan euro, sementara debitor melihatnya sebagai cara buat memperkuat posisi dalam negosiasi selanjutnya, karena justru ingin tetap di kawasan euro. Beda pandangan ini yang perlu dicari titik temunya.
Dari sudut pandang kreditor, ada dua opsi dalam menghadapi pinjaman yang bermasalah. Opsi pertama adalah meminta pinjaman dibayar kembali sekaligus mengambil alih jaminan untuk dijual dan kemudian menghapusbukukan utang yang tersisa. Jika pinjaman diberikan tanpa jaminan, seperti lazimnya pinjaman ke pemerintah, yang harus dihapusbukukan adalah seluruh utang, yang tentunya sangat berat. Karena itu, pilihan yang lebih sering diambil adalah restrukturisasi, yaitu meminta persyaratan tambahan dan, sebagai imbalannya, memperpanjang jadwal cicilan.
Catatan penting yang perlu diperhitungkan pada setiap pembayaran cicilan adalah tersisa dana yang cukup bagi Yunani untuk dibelanjakan agar ekonomi mereka pulih kembali. Salah satu dari tiga kreditor Yunani, yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), sudah sepakat perlunya restrukturisasi itu.
Sementara itu, di Tanah Air, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada situsnya telah mem-posting siaran pers menyangkut kesepakatannya dengan BI mengenai implementasi kebijakan bank sentral yang melarang memakai mata uang asing dalam transaksi dalam negeri. Dengan perubahan nilai rupiah, industri dengan kandungan impor tinggi cenderung memasang harga dalam dolar Amerika Serikat. Kebijakan yang berlaku bulan ini telah menimbulkan kekhawatiran naiknya tambahan biaya untuk menutupi pergerakan nilai rupiah melalui transaksi forward atau hedging.
Industri minyak dan gas telah menyampaikan keprihatinan mereka akan tambahan biaya ini kepada Kementerian Energi, yang kemudian dibahas lebih lanjut dengan BI. Akhirnya disepakati untuk mengelompokkan transaksi dengan mata uang dolar Amerika ke dalam tiga kategori. Kategori pertama akan segera mengikuti kebijakan BI, di mana transaksinya akan dilakukan dalam rupiah. Masa transisinya enam bulan. Ini termasuk sewa properti dan kendaraan serta berbagai layanan dukungan.
Kategori kedua adalah transaksi dolar Amerika yang membutuhkan waktu bertahap untuk mengubah ke rupiah. Ini termasuk transaksi yang diatur dalam kontrak jangka panjang dan hanya dapat diubah pada saat jatuh tempo atau saat perpanjangan. Kategori terakhir adalah transaksi yang tetap dilakukan dalam dolar Amerika. Ini termasuk gaji pekerja asing, jasa pengeboran, dan penyewaan peralatan khusus.
Pengumuman ini membantu menjelaskan beberapa bagian dari kebijakan yang masih rancu. Bagi sektor lain, ini memberi contoh bagaimana sebaiknya menghadapi kebijakan tersebut tanpa terlalu membebani industrinya. l
*) Ekonom, Komisaris Bank Danamom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo