Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tanpa Harapan Di Tanah 'Rimba'

Ribuan pengungsi di lokasi penampungan di Calais mencari kesempatan menyeberang ke Inggris. Tak jarang harus terluka karena berkelahi dengan polisi.

9 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teddy duduk di atas bebatuan sambil menyaksikan sekelompok pemuda tengah berupaya menembus penjagaan polisi Prancis di jalan raya dekat kamp pengungsian di Calais. Pria pengungsi asal Eritrea berusia 20 tahun itu duduk diam sambil merasakan keletihan yang mendera tubuhnya.

"Saya terlalu lelah untuk bergabung dengan mereka," kata Teddy kepada The Guardian, Rabu tiga pekan lalu. "Saya telah mencoba menaiki tiga truk pengangkut barang semalam. Tapi usaha saya gagal karena polisi terus-menerus menarik saya keluar dari kendaraan."

Teddy adalah satu dari 3.000 pengungsi asal Afrika dan Timur Tengah yang kini berada di kota pelabuhan Prancis, Calais. Mereka bertaruh nyawa untuk lari dari kondisi perang di kampung halaman, menuju Eropa yang lebih menjanjikan. Dari sekian negara di Benua Biru, Inggris menjadi negara yang paling dicari karena menyediakan banyak kemudahan bagi imigran. Dalam sebuah survei terhadap imigran, The Guardian menyebutkan para pengungsi menilai kehidupan di Inggris jauh lebih baik dan aman daripada di Prancis.

Menyeberangi perairan berbahaya Mediterania, para pengungsi tiba di Italia, Yunani, atau Malta. Mereka kemudian menempuh perjalanan darat melalui beberapa negara Eropa sebelum tiba di lokasi pengungsian di Calais, yang lebih dikenal sebagai "Rimba" oleh penduduk lokal. Calais menjadi tumpuan ribuan pengungsi yang hendak masuk ke Inggris. Kota pelabuhan di Prancis ini langsung berhadapan dengan Selat Dover, bagian terpendek dari Selat Channel yang memisahkan Prancis dengan Inggris.

Namun kondisi buruk di lokasi pengungsian Calais membuat kehidupan sangat menyesakkan. Para pengungsi hanya memperoleh jatah makan sekali sehari. "Itu pun kami harus antre berjam-jam. Terkadang makanan sudah habis ketika kami sampai di depan," ujar Bahad, remaja asal Ethiopia yang telah tinggal di lokasi pengungsian selama tiga bulan terakhir. Petang itu Bahad belum makan seharian. "Semua orang selalu kelaparan di sini."

Selain pasokan makanan untuk pengungsi minim, organisasi kemanusiaan L'Auberge des Migrants, yang membantu mengelola kehidupan pengungsi di "Rimba" Calais, mulai kehabisan tenda tempat pengungsi berteduh. Jumlah imigran yang terus membanjiri Calais membuat mereka kewalahan. Air, listrik, dan jamban pun menjadi barang mewah di tempat itu.

"Kondisi di pengungsian sangat buruk," kata Maya Konforti, pekerja sosial untuk organisasi itu, kepada Newsweek. "Bahkan bisa dikatakan luar biasa buruk jika Anda berada di sini selama beberapa bulan."

Maka aksi mogok pekerja feri di Selat Channel selama empat hari pada tiga pekan lalu menjadi berkah bagi para pengungsi. Kemacetan luar biasa di jalanan Kota Calais menuju pelabuhan dimanfaatkan para pengungsi untuk masuk ke atas truk pengangkut barang yang bertujuan ke Inggris.

Meski masuk sebagai anggota Uni Eropa, Inggris tak terikat perjanjian Schengen. Perjanjian ini memaksa setiap negara Uni Eropa menerima pengungsi yang tiba di negara tersebut. Karena itu, pemerintah Calais bekerja sama dengan Kepabeanan Inggris untuk menghalau arus pengungsi agar tak masuk?ke Inggris. Kepada BBC, polisi Prancis menyatakan telah menahan sedikitnya 18 ribu pengungsi yang hendak masuk secara ilegal ke Inggris pada tahun ini. Jumlah itu dua kali lipat dari periode yang sama pada tahun lalu.

"Kami hanya bisa khawatir jumlah ini akan semakin besar selama musim panas," ujar Gilles Debove, juru bicara serikat polisi Prancis, kepada BBC.

Tak tanggung-tanggung, London menggelontorkan jutaan pound sterling untuk mengamankan perbatasan, bahkan menerapkan denda 2.000 pound sterling kepada sopir truk yang kedapatan membawa pengungsi ilegal dari Calais. Polisi Prancis dengan segala upaya berusaha menghalau para pengungsi yang mencoba masuk ke truk-truk yang berjajar sepanjang beberapa kilometer itu. Termasuk dengan kekerasan.

Riswan, pengungsi asal Afganistan, memperlihatkan tangannya yang terluka saat berusaha menaiki sebuah truk pada malam sebelumnya. "Polisi Prancis bertarung sungguhan. Saya telah melewati perbatasan Yunani, Belanda, dan Belgia. Polisi di sana mengajak kami berbicara. Di sini mereka mengajak kami berkelahi."

Bagi Riswan dan Teddy, tak ada kata menyerah. Mereka akan terus mencoba menembus penjagaan para polisi dan menaiki salah satu truk menuju Inggris. "Karena tak ada apa-apa lagi di sini."

Sita Planasari (the Guardian, Deutsche Welle, Newsweek)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus