DIA mungkin satu-satunya putra mahkota yang justru lebih
berkuasa ketimbang sang raja sendiri. Pangeran Fahd, 59 tahun,
seorang yang bukan baru dalarn pemerintahan, memang telah
mengisi dengan pas ruangan yang diberikan oleh raja Khalid,
kakaknya. Khalid adalah raja yang enggan. Fahd adalah pemimpin
yang bersemangat.
Di Arab Saudi nampaknya bisa berjalan baik oleh kombinasi itu.
Khalid dan Fahd saling melengkapi, setelah kerajaan itu
ditinggalkan oleh kakak mereka yang mati tertembak 25 Maret
1975, Faisal.
Seperti Faisal, Khalid menampilkan sikap yang lebih teduh. Juga
tradisional. Raja yang berusia 68 tahun ini, bapak dari tujuh
putri dan lima putra tak mau menonjolkan diri, gemar menolong
dan lekat dengan padang pasir: ia sering berkunjung ke
tempat-tempat suku Badui. Sewaktu muda dulu, ia bahkan sering
bertanding (misalnya minum susu onta) dengan mereka.
Meskipun punya kaitan kuat dengan rakyat di pedalaman, dan
disukai banyak golongan, Khalid toh bukan seorang pembina
kekuasaan. Selain ia tak menyukai politik, ia tahu diri:
jantungnya lemah, dan pernah dioperasi.
Fahd sebaliknya menyamai Faisal dalam segi lain: ia berwibawa
dalam seluk beluk kenegaraan. Ia memang ditakdirkan untuk itu,
sebagai purra Raja Ibnu Saud, sang pendiri dinasti, dengan Hassa
binti Sudairi, istrinya yang berpengaruh. Di tahun 1953, ketika
umuruya baru 31, ia sudah jadi menteri pendidikan. Bahkan
sebelum Faisal jadi raja--tatkala Arab. Saudi diperintah oleh
Saud, kakak Faisal yang hanya pandai berfoya-foya--Fahd memegang
jabatan yang sangat penting: menteri dalam negeri.
Dalam posisi seperti itu ia mengontrol polisi dan administrasi
pemerintahan. Jabatan ini tetap berada di tangannya setelah Saud
dimakzulkan oleh para sesepuh kerajaan, dan diganti oleh Faisal
yang dalam segala hal lebih unggul ketimbang kakaknya. Di bawah
pemerintahan Faisal, Fahd-jadi wakil perdana menteri kedua
(wakil pertama, berdasarkan urutan keluarga: Khalid).
Dalam jabatan itulah ia dididik Faisal. "Fahd seperti murid
dengan profesornya," tutur seorang diplomat asing di Ryadh,
untuk melukiskan hubungan Fahd dengan abang serta mentornya.
Tapi memang harus dicatat, pembawaan sang guru dan sang murid
ama berbeda. Faisal, kurus dan lonjong wajahnya, dengan paras
alim yang hampir tak pernah terscnyum, adalah seorang pemimpin
negeri petrodollar yang jauh dari kemewahan hidup. Dalam dirinya
masih kuat puritanisme Islam yang digariskan aliran Wahabi.
Sebaliknya Fahd bertubuh besar, bermata nyalang, banyak senyum
dan banyak kesenangan.
Pelbagai barang antik model Cina dan Eropa menghiasi ruang tamu
istananya di Ryadh. Seorang penulis menyebutnya sebagai
anglophile, "cinta-Inggris" dalam selera. Baru-baru ini juga
dilukiskan orang kebagusan istana peristirahatannya di Marbella,
Spanyol.
Meskipun di Marbella ia tak lupa mendirikan masjid dari pualam
putih -- masjid pertama yang dibangun di Spanyol setelah Islam
diruntuhkan di negeri itu lima abad (?) yang lalu--di kota di
tepi Laut Tengah itu juga Fahd menjamu para tamunya dengan
penari flamenco dan ballet Rusia. Di antara yang pernah datang:
Menteri Luar Negeri AS Alexander Haig dan jutawan Yunani Starvis
Niarchos.
Semua itu menunjukkan, bahwa Fahd bukan lagi cuma "pangeran
padang pasir" yang keras oleh alam dan oleh ajaran agama.
Meskipun ia sendiri dididik dalam tradisi kerajaan, ia mengirim
anak-anaknya ke sekolah-sekolah di AS dan Eropa. Tak urung,
menurut pelbagai desas-desus, ia pun jadi tokoh yang kurang
disukai golongan ulama di kerajaan karena gaya hidupnya. Di lain
pihak ia dianggap pendorong modernisasi a la Saudi sekarang.
Dalam banyak hal, ia memang bisa dinilai menyukai Barat dan
terbuka untuk perubahan--dalam batas-batas yang melingkupinya,
tentu. Sudah di tahun 1975, beberapa hari setelah Faisal wafat,
majalah Time menilai, bahwa "Fahd mungkin lebih bersedia.
ketimbang Faisal, menerima kehadiran Israel sebagai sebuah
negara yang permanen di Timur Tengah." Tentu dengan syarat: asal
Israel melepaskan semua wilayah yang direbutnya, dan asal Israel
mencapai suatu kesepakatan dengan orang Palestina.
Kini, dengan rencana perdamaian 8 pasalnya, memang itulah yang
dikehendaki- Fahd. Sejauh ini, ia berhasil mengumpulkan sambutan
baik dari banyak pihak, termasuk Menteri Luar Negeri Inggris,
Lord Carrington. Fahd memang punya kecakapan seorang diplomat.
"Ia menyenangkan, dan bersahabat, dalam percakapan," kata
seorang wartawan Barat yang pernah menemuinya, "hingga kita
mengira ia setuju dengan kita, apa pun yang kita diskusikan."
Kecakapan seperti itulah yang kini dipertaruhkan dalam
konperensi para pemimpin Arab di Fez. Dan kemudian diuji di
gelanggang yang lebih luas. Bila ia bisa bertanding dengan
Israel dalam memenangkan dukungan AS, negeri Yahudi itu pasti
dalam keadaan lebih terjepit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini