Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Fahd, bukan pangeran padang pasir

Profil putra mahkota pangeran fahd, 59, dan rencana perdamaian di timur tengah yang diusulkannya. cita rasanya menunjukkan bahwa ia bukan lagi cuma pangeran padang pasir.

28 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA mungkin satu-satunya putra mahkota yang justru lebih berkuasa ketimbang sang raja sendiri. Pangeran Fahd, 59 tahun, seorang yang bukan baru dalarn pemerintahan, memang telah mengisi dengan pas ruangan yang diberikan oleh raja Khalid, kakaknya. Khalid adalah raja yang enggan. Fahd adalah pemimpin yang bersemangat. Di Arab Saudi nampaknya bisa berjalan baik oleh kombinasi itu. Khalid dan Fahd saling melengkapi, setelah kerajaan itu ditinggalkan oleh kakak mereka yang mati tertembak 25 Maret 1975, Faisal. Seperti Faisal, Khalid menampilkan sikap yang lebih teduh. Juga tradisional. Raja yang berusia 68 tahun ini, bapak dari tujuh putri dan lima putra tak mau menonjolkan diri, gemar menolong dan lekat dengan padang pasir: ia sering berkunjung ke tempat-tempat suku Badui. Sewaktu muda dulu, ia bahkan sering bertanding (misalnya minum susu onta) dengan mereka. Meskipun punya kaitan kuat dengan rakyat di pedalaman, dan disukai banyak golongan, Khalid toh bukan seorang pembina kekuasaan. Selain ia tak menyukai politik, ia tahu diri: jantungnya lemah, dan pernah dioperasi. Fahd sebaliknya menyamai Faisal dalam segi lain: ia berwibawa dalam seluk beluk kenegaraan. Ia memang ditakdirkan untuk itu, sebagai purra Raja Ibnu Saud, sang pendiri dinasti, dengan Hassa binti Sudairi, istrinya yang berpengaruh. Di tahun 1953, ketika umuruya baru 31, ia sudah jadi menteri pendidikan. Bahkan sebelum Faisal jadi raja--tatkala Arab. Saudi diperintah oleh Saud, kakak Faisal yang hanya pandai berfoya-foya--Fahd memegang jabatan yang sangat penting: menteri dalam negeri. Dalam posisi seperti itu ia mengontrol polisi dan administrasi pemerintahan. Jabatan ini tetap berada di tangannya setelah Saud dimakzulkan oleh para sesepuh kerajaan, dan diganti oleh Faisal yang dalam segala hal lebih unggul ketimbang kakaknya. Di bawah pemerintahan Faisal, Fahd-jadi wakil perdana menteri kedua (wakil pertama, berdasarkan urutan keluarga: Khalid). Dalam jabatan itulah ia dididik Faisal. "Fahd seperti murid dengan profesornya," tutur seorang diplomat asing di Ryadh, untuk melukiskan hubungan Fahd dengan abang serta mentornya. Tapi memang harus dicatat, pembawaan sang guru dan sang murid ama berbeda. Faisal, kurus dan lonjong wajahnya, dengan paras alim yang hampir tak pernah terscnyum, adalah seorang pemimpin negeri petrodollar yang jauh dari kemewahan hidup. Dalam dirinya masih kuat puritanisme Islam yang digariskan aliran Wahabi. Sebaliknya Fahd bertubuh besar, bermata nyalang, banyak senyum dan banyak kesenangan. Pelbagai barang antik model Cina dan Eropa menghiasi ruang tamu istananya di Ryadh. Seorang penulis menyebutnya sebagai anglophile, "cinta-Inggris" dalam selera. Baru-baru ini juga dilukiskan orang kebagusan istana peristirahatannya di Marbella, Spanyol. Meskipun di Marbella ia tak lupa mendirikan masjid dari pualam putih -- masjid pertama yang dibangun di Spanyol setelah Islam diruntuhkan di negeri itu lima abad (?) yang lalu--di kota di tepi Laut Tengah itu juga Fahd menjamu para tamunya dengan penari flamenco dan ballet Rusia. Di antara yang pernah datang: Menteri Luar Negeri AS Alexander Haig dan jutawan Yunani Starvis Niarchos. Semua itu menunjukkan, bahwa Fahd bukan lagi cuma "pangeran padang pasir" yang keras oleh alam dan oleh ajaran agama. Meskipun ia sendiri dididik dalam tradisi kerajaan, ia mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah di AS dan Eropa. Tak urung, menurut pelbagai desas-desus, ia pun jadi tokoh yang kurang disukai golongan ulama di kerajaan karena gaya hidupnya. Di lain pihak ia dianggap pendorong modernisasi a la Saudi sekarang. Dalam banyak hal, ia memang bisa dinilai menyukai Barat dan terbuka untuk perubahan--dalam batas-batas yang melingkupinya, tentu. Sudah di tahun 1975, beberapa hari setelah Faisal wafat, majalah Time menilai, bahwa "Fahd mungkin lebih bersedia. ketimbang Faisal, menerima kehadiran Israel sebagai sebuah negara yang permanen di Timur Tengah." Tentu dengan syarat: asal Israel melepaskan semua wilayah yang direbutnya, dan asal Israel mencapai suatu kesepakatan dengan orang Palestina. Kini, dengan rencana perdamaian 8 pasalnya, memang itulah yang dikehendaki- Fahd. Sejauh ini, ia berhasil mengumpulkan sambutan baik dari banyak pihak, termasuk Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Carrington. Fahd memang punya kecakapan seorang diplomat. "Ia menyenangkan, dan bersahabat, dalam percakapan," kata seorang wartawan Barat yang pernah menemuinya, "hingga kita mengira ia setuju dengan kita, apa pun yang kita diskusikan." Kecakapan seperti itulah yang kini dipertaruhkan dalam konperensi para pemimpin Arab di Fez. Dan kemudian diuji di gelanggang yang lebih luas. Bila ia bisa bertanding dengan Israel dalam memenangkan dukungan AS, negeri Yahudi itu pasti dalam keadaan lebih terjepit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus