Apa yang bisa dihasilkan dari perundingan perdamaian Timur Tengah, seandainya terlaksana akhir bula ini? BAGAIMANA perdamaian bisa diwujudkan? Lewat perundingan. Bagaimana perundingan bisa dilaksanakan, bila kedua belah pihak saling memberikan persyaratan yang saling membatalkan? Mesti ada lobi intensif. Itulah kira-kira yang ada dalam pikiran James Baker, Menteri Luar Negeri Amerika yang berupaya menyelenggarakan konperensi perdamaian internasional tentang Timur Tengah. Maka, dalam waktu delapan bulan setelah Perang Teluk usai, delapan kali pula ia berkunjung ke kawasan ini. Dan Jumat pekan lalu, Baker memperoleh yang selama ini ia harapkan: sikap kompromistis dari pihak Palestina. Selama ini pihak Palestina berkeras bahwa tanpa wakil-wakil PLO dalam delegasi mereka, mereka menyatakan perundingan itu tidak sah. Israel jauh-jauh sudah memberikan ultimatum. Pihaknya tak akan mengirimkan seorang wakil pun bila dalam delegasi Palestina ada wakil PLO-nya dan wakil warga Palestina di Yerusalem Timur. Dalam rencana perundingan yang lalu-lalu, nama Faysal Husseini dari Yerusalem Timur dijadikan dalih oleh Israel untuk menolak perundingan. Hampir saja masalah itu terpecahkan, setelah diketahui bahwa Husseini ternyata berdiam di wilayah Tepi Barat, bukan lagi di Yerusalem Timur. Tapi kemudian diketahui bahwa ia punya kaitan dengan PLO. Adapun kompromi pihak Palestina Jumat pekan lalu bukanlah secara terang-terangan mereka menyodorkan nama-nama yang tak ada kaitannya dengan PLO dan Yerusalem Timur. Melainkan, pihak Palestina menyerahkan satu daftar nama pada Baker dan terserah pada menteri luar negeri itu untuk menentukannya. Tampaknya, wakil Palestina pilihan Baker disetujui oleh Perdana Menteri Israel Yitzhak Shamir. Akhir pekan lalu, pada wartawan Baker mengatakan tanggal konperensi sudah dipastikan: 30 Oktober, Rabu pekan depan. Rencananya, George Bush dan Mikhail Gorbachev yang akan membukanya. Inilah untuk pertama kalinya dua seteru akan berhadapan di meja perundingan. Tapi umumnya para pengamat masih skeptis, perundingan akan membuahkan keputusan yang memuaskan semua pihak. Terutama mengenai nasib bangsa Palestina dan masa depan status Yerusalem Timur. Menurut Sirry Nasibah, Direktur Pusat Studi Strategi Maqdis di Yerusalem Timur pada harian Al-Hayat, Mesir, ada beberapa skenario alternatif yang bakal muncul dari meja perundingan yang semuanya akan mengabaikan nasib rakyat Palestina. Skenario pertama, karena Palestina diwakili delegasi gabungan dengan Yordania, hasilnya adalah pembentukan pemerintahan otonomi sementara yang akan menangani masalah-masalah yang dihadapi orang Palestina dalam lima sampai 10 tahun mendatang. Setelah itu, dibentuklah sebuah pemerintahan yang berkonfederasi dengan Yordania. Itu tentu saja akan membuat amarah orang Palestina yang mendukung PLO, yang tentu akan berusaha menggagalkan terealisasinya keputusan konperensi. Paling minimal, utusan Palestina yang bergabung dengan wakil Yordania akan mereka teror. Sementara itu, Israel akan bersedia menarik pasukannya dari Dataran Tinggi Golan, tapi masih akan menduduki beberapa pos yang dianggap paling strategis. Sebagian dari wilayah yang sekarang mereka kuasai akan diserahkan di bawah pengawasan Amerika atau PBB. Israel tampaknya akan melepaskan cengkeramannya atas Libanon Selatan dan akan mengembalikannya pada pemerintah pusat di Beirut. Itu sesuai dengan resolusi PBB. Skenario kedua, Tepi Barat akan dikembalikan pada Yordania, dan Jalur Gaza akan dikembalikan pada Mesir dengan menghapuskan permukiman Yahudi dan penarikan pasukan Israel dari dua wilayah pendudukan itu. Dataran Golan dan Libanon Selatan juga akan dilepaskannya. Sebagai gantinya, Israel akan menuntut ganti rugi seperti yang dilakukannya ketika menyerahkan kembali Sinai. Skenario ketiga, mungkin konperensi perdamaian akan menelurkan sebuah negara Palestina yang tak punya kekuatan militer dan menempati Tepi Barat dan Jalur Gaza, setelah melalui proses yang berlangsung paling tidak 10 tahun. Dalam kurun waktu itu, administrasi akan diatur oleh pemerintahan otonomi sementara. Quds akan menjadi ibu kota bersama: Israel dan Palestina, atau ditempatkan di bawah pengawasan badan internasional. Skenario keempat, Israel menarik semua pasukannya dari seluruh wilayah yang didudukinya sejak perang 1967, termasuk Libanon Selatan. Quds baru akan dibicarakan lima tahun kemudian dan setelah itu wilayah suci bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi itu akan digabungkan dengan Yordania dan Israel. Skenario kelima, konperensi menemui jalan buntu alias gagal, dan permusuhan Arab-Israel akan kembali lagi, dan "perang mulut" untuk mencari kambing hitam akan menjadi acara baru di samping intifadah. Bagaimanapun, pihak Israel tampaknya akan menjadi penentu kegagalan atau keberhasilan konperensi tersebut. Negara Yahudi itulah yang harus memberikan konsesi agar kompromi bisa dicapai. Pihak Arab dan Palestina yang berada pada posisi pasif hanya akan memberi peluang kepada Israel untuk mencoba hidup berdampingan secara damai dengan seteru-seterunya apabila ia melepaskan sikapnya yang keras kepala dan tak sudi berunding. Kalau itu tercapai, bukan hanya Timur Tengah yang berbahagia, tapi juga seluruh dunia akan merasa tenteram. A. Dahana (Jakarta) dan Dja'far Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini