Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Yugoslavia : arena tinju tanpa ...

Situasi di yugoslavia kian keruh. republik bosniaherzegovina menyatakan kemerdekaannya. bekas menlu as cyrus vance,74, mungkin bisa menemukan formula- si damai di yugoslavia.

26 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yugoslavia: Arena Tinju tanpa Wasit Mungkin bekas Menteri Luar Negeri Amerika Cyrus Vance bisa menemukan formula damai di Yugoslavia? Seorang profesor Slovenia mengusulkan penyelesaian ekonomis. YUGOSLAVIA, kata seorang diplomat, seperti arena tinju. Gencatan senjata hanyalah "mirip waktu jeda yang digunakan petinju mengambil napas, agar kuat bertarung di ronde-ronde berikut." Masalahnya, di Yugo tak ada pembatasan berapa kali ronde harus dijalankan, dan wasit yang mengawasi pertandingan tak jelas ada tidaknya. Sementara itu, suasana makin kisruh. Setelah gencatan senjata untuk ketujuh kalinya, Selasa pekan lalu, akhirnya dilanggar juga, seorang calon petinju lain memproklamasikan dirinya. Republik Bosnia-Herzegovina menyatakan merdeka dari Federasi Yugoslavia, setelah debat sengit dan panjang tentang kemerdekaan itu di parlemennya atas usul dari Partai Muslim Aksi Demokrasi, partai terbesar. Sekaligus, negeri dengan 4,6 juta penduduk ini menyatakan siap bertempur bila Federasi Yugoslavia tak menyetujui kemerdekaan itu dan mengirimkan pasukan untuk membatalkannya. Sebuah front pertempuran baru agaknya siap lahir. Tapi mungkin inilah satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh Presiden Alija Izetbegovic untuk menyelamatkan republiknya dari penyusutan. Ada ketakutan di Bosnia-Herzegovina, bila usul Serbia tentang pengaturan kembali Federasi Yugoslavia diterima Kroasia juga. Bila itu terjadi, wilayah Republik Bosnia-Herzegovina yang 51.000 km2 (sedikit lebih luas daripada Jawa Timur plus Madura dan Bali), bakal menciut. Konsep itu menyatakan bahwa wilayah yang dihuni oleh mayoritas etnis Serbia menjadi bagian dari Republik Serbia, mayoritas Kroasia menjadi bagian dari Republik Kroasia. Dua etnis itulah yang terbesar di Bosnia-Herzegovina, setelah mayoritas umat muslimnya. Maka, satu kawasan di Bosnia-Herzegovina yang dihuni sekitar 800.000 etnis Kroasia otomatis bakal menjadi wilayah Republik Kroasia, bila konsep itu diterima. Demikian pula dengan wilayahnya yang kini diduduki oleh 1,4 juta etnis Serbia. Bila pembagian wilayah berbanding lurus dengan jumlah etnis, republik ini hanya akan tinggal sekitar setengah wilayah sekarang. Itu sesuai dengan jumlah kaum muslim Bosnia-Herzegovina yang sekitar 45% dari penduduk seluruh republik. Sementara itu, perang saudara Kroasia dan Serbia yang sudah berlangsung selama 16 minggu tampaknya sudah sulit dipengaruhi dari luar. Meski Dewan Keamanan PBB menyerukan diberlakukannya embargo penjualan senjata ke Yugo beberapa waktu lalu, efeknya tak terlihat jelas. Tampaknya, yang bertempur tak kekurangan senjata. Panganlah yang dinyatakan menipis, terutama di Kroasia. Beberapa kota, antara lain Vukovar di perbatasan Kroasia dan provinsi otonom Vojvodina, yang dikepung tentara Federal sejak sebulan lalu, terancam bahaya kelaparan. Dilihat dari sejarah Yugo, pertentangan etnis, dan perkembangan ekonomi tiap-tiap negara bagian, disintegrasi kini merupakan akibat logis saja. Selama ini, disintegrasi itu tersimpan di bawah slogan-slogan komunisme yang dijejalkan ke semua republik olet Yosip Broz Tito. Nasionalisme Yugoslavia dalam arti yang sesungguhnya tak pernah terbentuk. Tanpa mengingat faktor ini, ide-ide untuk mengakhiri permusuhan itu akan percuma saja. Sejumlah gagasan dari Masyarakat Eropa, misalnya, hanya akan memperkeruh suasana. Jerman dan Denmark mengusulkan agar Eropa segera mengakui Kroasia, dan Slovenia. Konsekuensinya, harus pula diakui Republik Bosnia-Herzegovina. Prancis tampaknya enggan mengakui repubik yang sudah merdeka, dan mengusulkan mengirimkan pasukan perdamaian Masyarakat Eropa ke Yugoslavia. Usul Prancis ini sama sekali ditolak oleh Inggris, yang menilai tindakan itu merupakan intervensi militer. Mungkin usul dari Italia lebih bisa diterima. Yakni, dibentuk ikatan baru antar-republik. Dengan kata lain, membentuk satu konfederasi, macam di Soviet. Tapi siapa tokoh di Yugo yang sekuat Gorbachev dan Yeltsin, itulah persoalannya. Ada juga harapan baru. Datang dari Javier Perez de Cuellar. Sekjen PBB itu meminta kesediaan bekas Menteri Luar Negeri AS Cyrus Vance untuk membantu Lord Carrington, yang mewakili Masyarakat Eropa, menengahi krisis Yugoslavia kini. Belum jelas apa yang bisa dilakukan Vance yang kini 74 tahun itu. Tapi ia memang diplomat AS yang pernah mendamaikan beberapa konflik internasional. Antara lain konflik di Siprus pada 1967. Yakni ketika warga keturunan Turki dan Yunani di negara itu bertikai, dan hampir saja menyulut perang antara negara Turki dan Yunani. Dan Vance-lah yang pada 1977 meyakinkan Amerika bahwa dialog antara Israel dan Arab mungkin dilakukan. Meski waktu itu Vance gagal mempertemukan kedua pihak, ia berhasil menjalin dialog dengan Israel dan lima negara Arab. Bila Vance setuju, ada beberapa hal yang perlu dipikirkannya dengan sungguh-sungguh: Mengapa tiga republik dalam Federasi Yugo melepaskan diri? Alasan Kroasia dan Slovenia memerdekakan diri dulu, karena keduanya menganggap Serbia ingin mendominasi Federasi Yugo. Padahal, Slovenia dan Kroasia tak lagi memeluk komunisme, merasa lebih dekat ke Barat, dan selama ini lebih makmur ketimbang republik lain. Pendapatan per kepala di dua republik itu mencapai US$ 5.500, rata-rata di Yugo hanya US$ 3.000. Satu lagi, yang membedakan etnis Slovenia dan Kroasia dengan Serbia adalah agama yang Katolik Roma dan Kristen Ortodoks. Mengapa Serbia berkeras menentang kemerdekaan Kroasia? Lebih dari 40% pendapatan nasional Yugoslavia dihasilkan oleh Slovenia dan Kroasia. Bila Bosnia-Herzegovina disertakan, angka itu menjadi hampir 55%. Itu berarti, Serbia bersama dua provinsi otonomnya (Vojvodina dan Kosovo) plus Republik Makedonia dan Montenegro hanya menghasilkan sekitar 45% pendapatan, untuk penduduk lebih dari 50%. Dengan kata lain, Serbia dan republik yang masih ingin bergabung makin miskin keadaannya. Ada usul dari Bogomil Ferfilka, guru besar di Universitas Ljubljana, Slovenia, dalam Problems of Communism, penyelesaian di Yugoslavia bisa diterima bila fokusnya adalah ekonomi, bukan politik. Tapi yang mungkin mesti dilakukan terlebih dahulu, mengadakan wasit untuk menghentikan adu tinju itu. Didi Prambadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus