Pameran tunggal Marida Nasution, upaya membangkitkan apresiasi seni grafis, sekaligus mengenalkan nama pegrafis. Karya-karyanya imajinatif. DI masa kini masih sulit membayangkan pegrafis bisa terkenal. Perintis grafis yang sekarang ini dikenal: Mochtar Apin, Kaboel Suadi, dan A.D. Pirous ternama karena mereka pelukis. Jarangnya pameran grafis dan kurangnya apresiasi masyarakat selama ini juga membuat pegrafis relatif sulit dikenal. Namun, belakangan ini, seni grafis mulai tampil. Pameran grafis, dari dalam dan luar negeri, semakin banyak. Sejak awal tahun, sudah sekitar sebelas pameran grafis diselenggarakan di Jakarta. Salah satu yang terakhir, pameran tunggal Marida Nasution di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang dibuka akhir pekan lalu. Pameran tunggal Marida -menampilkan 40 karya -selain mengukuhkan perkembangan apresisasi seni grafis, juga memunculkan nama pegrafis. Pada pameran tunggal, kekhasan dan ungkapan pegrafis menjadi utama. Pameran bersama, selama ini, terbatas pada usaha membangkitkan apresiasi grafis. Marida pegrafis kedua yang maju dengan pameran tunggal setelah pegrafis Setiawan Sabana sekitar lima tahun lalu. Setelah lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Kesenian Jakarta, 1981, Marida berkarya dan berpameran secara tetap. Ia tergolong paling sering mengikuti pameran di luar negeri. Tahun 1989, mendapat penghargaan di Biennale of Graphics Art, Ljubijana, Yugoslavia, dan mendapat penghargaan di Pan Pacific Art di Seoul, Korea Selatan, 1990. Pegrafis ini memilih media cetak saring (serigrafi) karena warna adalah salah satu idiom utama dalam upaya mengungkapkan ekspresinya. Warna pada media seni grafis lain -litografi (cetak batu), etsa, dry point, aquatint, (cetak plat logam) dan cukilan kayu (woodcur) -relatif lebih terbatas. Marida memulai proses berkaryanya dengan membuat gambar atau mencampurkan gambar dengan fotografi. Foto yang digunakannya kadang-kadang diburunya di pelosok-pelosok kota Jakarta. Dengan bantuan alat pembesar tua, ia membuat berbagai kolase (tempelan berbagai gambar dan foto) -mengedit, menyusun, dan menambahkan gambar. Ia kemudian membuat klise di sutera sablon dan mencetak karyanya, warna demi warna. Seluruh proses itu membutuhkan tenaga dan kesabaran. Karena selain warna harus dicetak satu per satu, karya grafis menjalani penggandaan. Marida membuat rata-rata hanya 15 cetakan (edisi). "Lebih dari itu nggak kuat," katanya. Marida menangani sendiri seluruh proses berkaryanya, tanpa asisten. Ini membuka peluang estetis. Ia bisa secara langsung mengubah klise dan memilih warna yang dirasakan sesuai. Perubahan dalam proses berkarya terjadi terus-menerus. Ia tak pernah merencanakan berapa warna akan digunakannya. Di masa lalu, Marida hanya tertarik pada warna-warna datar dan komposisi. Obyek, dalam karyanya, tidak terlampau penting. Dalam pameran tunggalnya kali ini, Marida menampilkan banyak nuansa. Citra fotografis menghela Marida ke keinginan mengungkapkan kisah. Dan karya-karyanya sekarang ini umumnya bertema. Di antaranya tema sosial. Kendati masyarakat kelas bawah muncul dalam karya-karya Marida, tema sosial tak sampai menjadi sebuah penilaian. Marida tidak mengekspresikan protes sosial. Masyarakat yang dilihatnya adalah sekumpulan manusia: bisa jamak, bisa tunggal. Masalah sosial atau masalah individual adalah masalah manusia. Karyanya, Terminal 1991, menggambarkan seorang wanita desa berjalan sendirian di hadapan tumpukan rongsokan bus. Kesan: tenggelamnya kehidupan sederhana di tengah limbah kehidupan modern. Seni grafis memang akrab dengan tema dan cerita. Idiom utamanya garis dan skala bidangnya relatif kecil. Persepsi yang serba mini biasanya mudah merangsang imajinasi. Marida mengenal benar sifat-sifat grafis ini. Imajinasinya aktif. Gabungan obyek-obyek dengan konteks berbeda pada karya-karyanya membangun berbagai penafsiran. Dengan mengambil tema legenda, karyanya, Terbang II membangun kesan cerita khayal yang puitis. Perumahan kumuh yang padat pada karya ini kehilangan keresahannya. Realitas pahit ini memunculkan sisinya yang sayup dan hening. Kita tidak marah, tapi sedih. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini