WASHINGTON mempercepat pengiriman senjata Amerika ke Khartoum.
Sebelum akhir tahun ini, sedikitnya 20 tank M-6O, 12 pucuk
meriam 155 mm dan dua pesawat tempur F-5 Tiger bantuannya itu
akan tiba di Sudan. Keputusan tersebut menyusul dua pesawat
AWACS (Airborne Warning and Control System) yang dikirim AS ke
Mesir 15 Oktober.
Gawatkah situasi Sudan? Negeri itu gelisah terutama setelah
Chad, tetangganya, dilanda perang saudara. Pengikut Presiden
Goukouni Oueddei yang didukung lima ribu tentara Libya bertempur
sengit dengan pasukan bekas PM Hissene Habre. Dengan dalih
mengejar pengikut Habre, pesawat Libya (sejak pertengahan
September mengebomi sejumlah desa di perbatasan Sudan. Desa
Kolbous, misalnya, tiga kali dibom.
Di Khartoum, menurut Presiden Sudan Mayor Jenderal Jaafar
Numeiri, Libya juga melancarkan kegiatan subversif dengan
membagi-bagikan uang dan menghambat distribusi pangan. Berulang
kali Presiden Numeiri mengingatkan akan ancaman "invasi Libya"
itu. "Kami kini siap mempertahankan diri," katanya di Kairo.
Dalam bahasa militer, itu berarti Sudan akan mengambil inisiatif
menyerang. "Pertempuran mungkin akan pindah ke dalam negeri
Libya sendiri."
Agak Goyah
Mesir dan AS tentu saja berdiri di belakang Sudan. "Kami tak
akan membiarkan anda sendiri," kata Menlu AS Alexander Haig pada
Numeiri. Presiden Anwar Sadat--sebelum terbunuh--menyebut bahwa
"setiap invasi Libya terhadap Sudan juga berarti invasi terhadap
Mesir." Dari Kairo itu, Khartoum diamdiam menerima sejumlah
persenjataan yang disalurkan lewat jembatan udara.
Semula Washington juga menjanjikan suatu paket bantuan senjata
-- konon termasuk pesawat pengebom mutakhir F-16 Fighting Falcon
-- bernilai US$ 100 juta. Dengan stabilitas Mesir agak goyah,
sesudah Sadat ditembak mati, Gedung Putih memutuskan mempercepat
bantuan militernya. Sebagai imbalan, Sudan menawarkan pangkalan
udara dan pelabuhannya dipakai AS jika terjadi pergolakan
militer.
Khartoum juga sedang menghadapi krisis ekonomi dan politik.
Sekitar 300 ribu pengungsi dari Chad kini harus ditanggungnya.
Tiga provinsi di wilayah Selatan (Bahr-el-Ghazal, Upper Nile dan
Equatoria) menghendaki kawasannya dipecah jadi lima provinsi
dengan otonomi pemerintahan lebih luas. Selain menghadapi
infiltrasi bersenjata dari Libya, Presiden Numeiri juga harus
menanggulangi gerakan bersenjata kelompok Ikhwanul Muslimin.
Pertengahan September, sekitar 17 ribu orang yang dianggap akan
mengacaukan keamanan ditangkap.
Dari kota Omdurman juga diciduk sekitar 1.300 tersangka. Pekan
lalu lebih tujuh ribu lainnya ditangkap lagi--kabarnya sebagian
besar anggota bersenjata Ikhwanul Muslimin. Presiden Numeiri
tampaknya mencurigai kelompok fundamentalis Islam itu akan
membuat keonaran seperti di Mesir. Dia, seperti juga Presiden
Mesir Husni Mubarak, tak ingin memberi kaum oposisi kesempatan
bernapas. "Saya bersedia mati dan mengorbankan jiwa saya, jika
perlu, demi unah air," kata Numeiri dalam rapat umum di
Khartoum.
Semua kemelut politik itu banyak menguras ekonomi Sudan. Dengan
cadangan devisa US$ 3 milyar dan inflasi 50%, negeri itu kini
mengharapkan kredit komersial US$ 500 juta secepatnya untuk
menanggulangi kesulitan pangan. Dari Washington, Khartoum. tahun
ini akan menerima bantuan ekonomi US$ 115 juta--tahun lalu US$
100 juta.
Kendati ekonominya sedang kurang sehat, Presiden Numeiri akhir
September menggerakkan 25 ribu dari 70 ribu pasukannya menuju
perbatasan dengan Chad. Di perbatasan sepanjang 1.400 km itu,
pertahanan Sudan lemah sekali. Negeri ini tampak tertolong
setelah AS mengoperasikan dua AWACS yang mengamati aktifitas
pasukan Libya di perbatasan dengan Mesir dan juga Sudan.
Presiden Numeiri juga mengancam akan mengirimkan pasukan berani
mati untuk melenyapkan Presiden Libya Kolonel Muammar Qaddafi.
Mungkinkah Libya mulai menyerang? Karena tekanan ekonomi,
Kolonel Qaddafi mungkin akan menahan diri. Produksi minyaknya
tahun ini anjlok dari 1,7 juta jadi 700 ribu barrel sehari.
Di tengah membanjirnya minyak (glut) di pasaran dunia, Tripoli
diduga tidak akan mampu mempertahankan tingkat harga US $ 40,53/
barrel. Karenanya pendapatan negeri itu dari sektor minyak tahun
ini diperkirakan hanya akan mencapai US$ 7 milyar--sedang tahun
lalu US$ 22 milyar.
Sejak Libya mencampuri persoalan dalam negeri Chad, sekitar
seribu tentaranya tewas di sana. Dalam usaha memperkuat angkatan
perangnya (kini 5 3 ribu anggota), Tripoli merekrut lagi sekitar
50 ribu wajib militer yang diamdiam ditentang kaum muda. "Tapi
kami tak bisa menolak maupun mengkritik," kata seorang wajib
militer seperti dikutip majalah Inggris Economist. "Jika protes,
kami akan dipenjarakan." Sekitar tiga ribu penentang
kebijaksanaan naddafi ditangkap dalam suatu pembersihan tahun
lalu.
Penjelmaan Setan
Tapi dengan persenjataan yang dimilikinya (2.700 tank dan 500
pesawat tempur mutakhir), Kolonel Qaddafi bisa berbuat sesuka
hatinya. Pertengahan Agustus, misalnya, dua pesawat tempur
Sukhoi-22 Libya mencoba menembak F-14 Tomcat AS. Dalam duel
udara singkat, dua Sukhoi-22 itulah yang justru rontok dihajar
peluru kendali Sidewinder F-14. Sekalipun demikian, Kolonel
Qaddafi ketika memperingati Revolusi Libya (1 September) masih
juga menggelorakan semangat mengganyang AS. "Tuz . . . tuz . . .
di Amerika (Enyah . . . enyah . . . Amerika)" sambut hadirin
menimpali Qaddafi.
Presiden Sadat pernah menggelari Qaddafi sebagai "penjelmaan
setan, seratus persen sakit dan pelaku tindak kriminal paling
jahat." Bekas Menlu Henry Kissinger paling benci melihat
kelakuannya. Jika sejak awal Kolonel Qaddafi "dibereskan,"
katanya, "Presiden Sadat mungkin masih akan hidup sampai kini."
Kepala negara Libya itu menganggap tindakannya benar. "Kami
bukan komunis," ujarnya. "Kami, seperti Yugoslavia, adalah
negeri nonblok."
Dan dalam usaha menekan Libya itu, Senator Gary Hart
menganjurkan agar AS "mau berkorban" menghentikan impor minyak
(hampir 300 ribu barrel tiap hari) dari Libya. Dengan cara itu,
dia menduga sumber keuangan Tripoli akan terpukul karenanya.
Tapi Presiden Reagan menyangsikan keampuhannya. Sebab minyak
itu, jika tak dibeli AS, tentu akan dijual ke negara Eropa Timur
atau Uni Soviet. Dan Kolonel Qaddafi kini sedang berusaha
mengurangi ketergantungan pada pemasukan devisa minyak bumi dari
60% menjadi 50%. "Tuz . . . tuz . . . fi betrol (Enyah . . .
enyah . . . minyak)!" teriak rakyat Libya dalam suatu rapat
menyambut tekad pemimpinnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini