Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Topeng krantil yang rakyat

Pertunjukan tari topeng dari desa krantil bantul, yogya, di teater arena tim, topeng dari krantil ini memiliki gaya penampilan yang unik.

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENARI topeng bukan sekedar menari dengan memakai topeng. Penari topeng dituntut mampu menghidupkan dan menjiwai topeng yang dikenakannya. Hal ini dibuktikan oleh serombongan dalang dari Desa Kranthil, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Mereka mementaskan Kethek Ogleng dan Brarnbang Bawang --dua cerita dari Lakon Panji -- di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, 17 dan 18 Oktober. Memang, tak hanya di Bantul. Juga di Losari, Cirebon dan Malang, tontonan topeng selalu dikaitkan dengan lakon Panji. Lakon tersebut tak hanya digemari rakyat, tetapi juga sebagai buah kata pengantar tidur. Dalam Kethek Ogleng, Dewi Sekartaji dari Kadiri sebagai calon mempelai wanita tiba-tiba hilang. Seisi istana bingung Raden Panji Inukartapati, calon mempelai pria dari Jenggala, buru-buru mencari. Di tengah jalan Raden Panji yang menyamar sebagai orang kebanyakan -- bertemu seekor kera putih (Kethek Ogleng). Kera itu tengah memburu-buru seorang gadis desa yang cantik (Endang-Roro Tompe) untuk diperistrinya. Kera yang nakal ini ternyata milik Mbok Randa Sembaga, dan sebenarnya kera itu adalah Raden Gunungsari, saudara muda Sekartaji dari Kadiri. Mbok Randa sendiri ternyata Dewi Sekartaji. Dan Roro Tompe adalah Ragilkuning, adik Panji yang memang telah dipertunangkan dengan Gunungsari. Inti cerita semacam ini ditampilkan dalam berbagai versi. Dibanding dengan pergelaran wayang topeng grup Siswo Among Bekso empat tahun lalu, kelompok penari dari kelas priayi Yogya, di tempat yang sama, Topeng Kranthil mengemukakan napas yang berbeda: lebih merakyat, terkadang kasar. Berbeda dengan topeng kota yang telah tertata apik, topeng Desa Kranthil ini memiliki gaya penampilan yang unik. Masing-masing penari dalam menarikan peran tertentu (Klana, Panji, Gunungsari, Bancak-Doyok, Regol) tidak menggunakan gaya dan ragam gerak yang telah dibakukan. Melainkan sangat tergantung individu yang melakukannya. Ini bisa dipahami. Sebab, para penari topeng yang dalang ini masing-masing sudah memiliki derajat kesenimanan tertentu. Gaya penampilan pribadi itulah yang menjadi ukuran--dan bukannya gaya dan ragam gerak yang baku. Penthul-Tembem Tak aneh jika tontonan topeng macam ini tercara campur-baur. Tapi memang yang dipentingkan adalah pengungkapan rasa dan kreativitas khas penarinya. Gaya menari Gunarjo sebagai Klana Sewandana misalnya, sangat berhasil secara individual menghidupi dan menjiwai watak topeng yang dibawakannya. Padahal di pentas ia tak selalu menari-tapi anehnya hal ini justru memperkuat ekspresi gerak dan penjiwaan topengnya. Humor Penthul-Tembem dalam pergelaran ini pun sangat hidup. Hanya saja, yang tak paham bahasa kata dan ungkapan kedaerahan (Solo-Yogya), tentu sulit untuk ikut tertawa. Bahwa tari topeng dilakukan oleh para dalang, agaknya memang bukan kebetulan. Di Cirebon seorang penari topeng--sekalipun bukan dalang wayang kulit--disebut dalang topeng dan dianggap memiliki kekuatan magis. Dan ia sangat dihormati. Jika ia sedang mengadakan pertunjukan di sebuah desa, dan kebetulan ada bayi lahir, maka si orok akan buru-buru dibawa menghadap penari topeng tersebut, untuk dimintakan nama sebagai "anak angkat" dalang yang bersangkutan. Sejauh diingat orang, topeng Yogya gaya kerakyatan ini sudah ada seak sekitar 1850. Rombongan topeng semacam ini mengadakan pertunjukan keluar masuk desa. Terkadang juga keluar masuk tembok istana, sekalipun tidak pernah menjadi repertoar istana sendiri. Di Yogya, sebagai milik rakyat, topeng tersebar luas di tiga kabupaten: Sleman, Bantul dan Gunungkidul. Lazim dibedakan menjadi topeng lor (Sleman, yang meliputi daerah sebelah timur Ambarrukmo, Turi dan Tempel) dan topengkidul (Gunungkidul: Duwet, Semanu dan Bantul sekitar Kotagede dan daerah Kweni-Kranthil). Daerah Kweni-Kranthil menarik, karena sampai saat ini di desa itu masih tinggal seorang pembuat topeng, Warnowaskito (70 tahun). Ia melakukan pekerjaannya bersama anak cucunya dan hasilnya digunakan dalam pertunjukan ini. Sal Murgiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus