MENARI topeng bukan sekedar menari dengan memakai topeng. Penari
topeng dituntut mampu menghidupkan dan menjiwai topeng yang
dikenakannya. Hal ini dibuktikan oleh serombongan dalang dari
Desa Kranthil, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Mereka mementaskan
Kethek Ogleng dan Brarnbang Bawang --dua cerita dari Lakon Panji
-- di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, 17 dan 18 Oktober.
Memang, tak hanya di Bantul. Juga di Losari, Cirebon dan Malang,
tontonan topeng selalu dikaitkan dengan lakon Panji. Lakon
tersebut tak hanya digemari rakyat, tetapi juga sebagai buah
kata pengantar tidur.
Dalam Kethek Ogleng, Dewi Sekartaji dari Kadiri sebagai calon
mempelai wanita tiba-tiba hilang. Seisi istana bingung Raden
Panji Inukartapati, calon mempelai pria dari Jenggala, buru-buru
mencari. Di tengah jalan Raden Panji yang menyamar sebagai orang
kebanyakan -- bertemu seekor kera putih (Kethek Ogleng). Kera
itu tengah memburu-buru seorang gadis desa yang cantik
(Endang-Roro Tompe) untuk diperistrinya. Kera yang nakal ini
ternyata milik Mbok Randa Sembaga, dan sebenarnya kera itu
adalah Raden Gunungsari, saudara muda Sekartaji dari Kadiri.
Mbok Randa sendiri ternyata Dewi Sekartaji. Dan Roro Tompe
adalah Ragilkuning, adik Panji yang memang telah dipertunangkan
dengan Gunungsari. Inti cerita semacam ini ditampilkan dalam
berbagai versi.
Dibanding dengan pergelaran wayang topeng grup Siswo Among Bekso
empat tahun lalu, kelompok penari dari kelas priayi Yogya, di
tempat yang sama, Topeng Kranthil mengemukakan napas yang
berbeda: lebih merakyat, terkadang kasar.
Berbeda dengan topeng kota yang telah tertata apik, topeng Desa
Kranthil ini memiliki gaya penampilan yang unik.
Masing-masing penari dalam menarikan peran tertentu (Klana,
Panji, Gunungsari, Bancak-Doyok, Regol) tidak menggunakan gaya
dan ragam gerak yang telah dibakukan. Melainkan sangat
tergantung individu yang melakukannya. Ini bisa dipahami. Sebab,
para penari topeng yang dalang ini masing-masing sudah memiliki
derajat kesenimanan tertentu. Gaya penampilan pribadi itulah
yang menjadi ukuran--dan bukannya gaya dan ragam gerak yang
baku.
Penthul-Tembem
Tak aneh jika tontonan topeng macam ini tercara campur-baur.
Tapi memang yang dipentingkan adalah pengungkapan rasa dan
kreativitas khas penarinya.
Gaya menari Gunarjo sebagai Klana Sewandana misalnya, sangat
berhasil secara individual menghidupi dan menjiwai watak topeng
yang dibawakannya. Padahal di pentas ia tak selalu menari-tapi
anehnya hal ini justru memperkuat ekspresi gerak dan penjiwaan
topengnya.
Humor Penthul-Tembem dalam pergelaran ini pun sangat hidup.
Hanya saja, yang tak paham bahasa kata dan ungkapan kedaerahan
(Solo-Yogya), tentu sulit untuk ikut tertawa.
Bahwa tari topeng dilakukan oleh para dalang, agaknya memang
bukan kebetulan. Di Cirebon seorang penari topeng--sekalipun
bukan dalang wayang kulit--disebut dalang topeng dan dianggap
memiliki kekuatan magis. Dan ia sangat dihormati. Jika ia sedang
mengadakan pertunjukan di sebuah desa, dan kebetulan ada bayi
lahir, maka si orok akan buru-buru dibawa menghadap penari
topeng tersebut, untuk dimintakan nama sebagai "anak angkat"
dalang yang bersangkutan.
Sejauh diingat orang, topeng Yogya gaya kerakyatan ini sudah ada
seak sekitar 1850. Rombongan topeng semacam ini mengadakan
pertunjukan keluar masuk desa. Terkadang juga keluar masuk
tembok istana, sekalipun tidak pernah menjadi repertoar istana
sendiri.
Di Yogya, sebagai milik rakyat, topeng tersebar luas di tiga
kabupaten: Sleman, Bantul dan Gunungkidul. Lazim dibedakan
menjadi topeng lor (Sleman, yang meliputi daerah sebelah timur
Ambarrukmo, Turi dan Tempel) dan topengkidul (Gunungkidul:
Duwet, Semanu dan Bantul sekitar Kotagede dan daerah
Kweni-Kranthil).
Daerah Kweni-Kranthil menarik, karena sampai saat ini di desa
itu masih tinggal seorang pembuat topeng, Warnowaskito (70
tahun). Ia melakukan pekerjaannya bersama anak cucunya dan
hasilnya digunakan dalam pertunjukan ini.
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini