SUASANA tenang tampak di permukaan. Sekitar 9,5 juu pemilih
Mesir dalam referendum menusuk lingkaran putih di kertas
suara--tanda menyokong Husni Mubarak. Yang tidak setuju cuma 100
ribu suara. Dukungan melimpah itu sudah diperkirakan. "Mubarak
adalah harapan kami sekarang ini," kata Jihan Sadat, janda
Presiden Anwar Sadat, seusai referendum pekan lalu.
Terpilihnya Mubarak sebagai Presiden ke4 Mesir tidak
mengagetkan. Memang dia telah dipersiapkan oleh Sadat untuk
menduduki jabatan tertinggi itu. Mubarak, waktu menjabat wakil
presiden, sudah seringkali mewakili Sadat dalam peristiwa
penting bagi Mesir. Bahkan da pernah ikut aktif menelurkan
perjanjian Camp David untuk perdamaian Israel-Mesir. Tak heran
Partai Demokrasi Nasional, yang kini berkuasa di Mesir,
mencalonkan Mubarak sebagai kandidat tunggal.
Tapi itu belum berarti semua sudah puas. Masih ada api dalam
sekam, demikian laporan wartawan TEMPO di Kairo. Yaitu ada
kelompok penentang, seperti Jenderal Saadeddin Shazli--bekas
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Mesir yang dibuang Sadat dan
sekarang menetap di Aljazair.
Kelompok Al Aqsa -- grup yang mengaku bertanggungjawab terhadap
pembunuhan Sadat--malah sudah mulai mengancam Mubarak. Jika
Mubarak, menurut siaran pers Al Aqsa, tetap melanjutkan
kebijaksanaan Sadat, seperti yang diucapkannya pada waktu
pelantikannya sebagai presiden di depan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (14 Oktober), maka nasibnya akan sama dengan
pendahulunya.
Pemerintahnya, menurut Mubarak, memang tetap akan melanjutkan
kebijaksanaan Sadat, baik dalam politik maupun. ekonomi.
Perjanjian Camp David tampak akan dipertahankannya. "Sampaikan
kepada rakyat Israel bahwa mereka tak usah khawatir mengenai
kelanjutan Camp David," kata Mubarak kepada wartawan Israel.
Jaminan serupa juga disampaikan Mubarak kepada Menteri
Pertahanan Israel Ezer Weizman. Keduanya bertemu selama 45 menit
sehari setelah Mubarak dilantik. Dan Weizman berkata: "Tidak
satu orang pun harus merasa cemas. Sesudah 26 April malah
semuanya akan berjalan lebih wajar lagi daripada sekarang."
Tanggal 26 April 1982 adalah saat penarikan sisa pasukan Israel
dari Gurun Sinai--daerah yang mereka rebut dari Mesir dalam
Perang 1967.
Adalah hal dalam negeri yang diduga masih akan merisaukan
Mubarak. Terutama perasaan tak scnang dari kalangan Islam
terhadap kaum Kristen Coptic sudah meluas. Sebagian besar
birokrasi pemerintah terdiri dari orang Kristen Coptic.
Presiden Sadat pernah mencoba menyenangkan hati umat Islam,
dengan memberlakukan hukum Islam yang menghukum keras mereka
yang meninggalkan agama. Soalnya, kata seorang pengamat Barat di
Kairo, kalangan Islam ingin mencegah kembalinya orang Coptic
yang sudah masuk Islam menjadi Coptic kembali. Memang banyak di
antara mereka menjadi Islam untuk alasan perceraian atau
perkawinan kembali. Dalam urusan itu tentu terlibat ma,salah
pembagian kekayaan dan lain-lain, yang sangat merepotkan.
Sadat tak berhasil menjalankan hukumnya, konon karena desakan
Coptic dan opini dunia, termasuk orang Coptic di Amerika Serikat
yang pernah mendemonstrasi Sadat di sana. Popularitas Sadat di
kalangan Islam akhirnya merosot. Kalangan Islam itu justru
bersekutu dengan Sadat waktu dulu menghadapi kaum komunis.
Dalam dua tiga tahun terakhir, sikap kaum Coptic di bawah
pimpinan Paus Shenouda III, yang kini ditahan, lebih
konfrontatif. Seorang guru wanita Amerika yang mengajar di
sebuah universitas di Kairo mencatat, misalnya, bahwa para
mahasiswa Coptic yang dulu cukup sopan dalam mendengarkan kuliah
tentang Islam, belakangan ini suka bersikap mencemooh. Ini
berarti suatu generasi baru yang lebih sektaristis telah timbul.
Mubarak, pengganti Sadat, lebih berhati-hati. Ia tak banyak
bicara, tak pula ingin mengucapkan kata-kata yang menyakiti
Islam seperti yang konon pernah dilakukan Sadat. Istri Mubarak
juga berbeda, tidak seperti Ny. Jihan Sadat yang oleh orang
Kairo dianggap 'kebaratbaratan'. Kairo memang sedang membarat,
dan membuka pintunya ke Barat.
Namun pemerintahan Mubarak juga melanjutkan penangkapan
besar-besaran, seperti sebelum Sadat dibunuh. Kementerian Dalam
Negeri hari Minggu, 12 hari sesudah Sadat dibunuh, mengumumkan
sedikitnya 230 anggota kelompok Islam 'fundamentalis' ditahan.
Mereka dituduh merencanakan pembunuhan dan merusak pelbagai
instalasi polisi dan vital. Sejumlah senjata mereka disita.
Mereka konon mengaku akan memperluas daerah pengacauan dari kota
Assiut. Kota ini, yang dilanda kekacauan segera sesudah Sadat
ditembak 6 Oktober, kini sudah normal kembali.
Adakalanya seseorang gampang dituduh 'fundamentalis' seperti
nasib Syekh Kisyik, seorang pengkhotbah buta. Ulama ini yang
ditahan Sadat menjelang peristiwa 6 Oktober, sangat mengritik
pemerintah dalam khotbahnya. Para pendengarnya demikian
terpesona hingga memerlukan membawa pita perekam untuk
mengabadikan suaranya.
Mayo, suatu koran resmi di Kairo, memberitakan kaum pembangkang
merencanakan 'revolusi gaya Khomeini', dan ingin menciptakan
komite revolusi yang terdiri dari unsur milisi yang terlatih.
Dari penjelasan pemerintah dan pemberitaan koran resmi itu
nampak bahwa komplotan yang anti-Sadat lebih luas dari sekedar
beberapa orang yang menembak Presiden Mesir pada hari parade
itu.
Koran Al Ahram malah memberitakan adanya pita rekaman rencana
pembunuhan Sadat. Ketika ditunjukkan pada Sadat sebelum
perjalanannya ke Mansoura (akhir September), presiden itu tak
peduli. Ia tetap menolak nasihat pihak sekuriti agar tidak pergi
ke Mansoura dengan mobil terbuka.
Koran lainnya di Kairo menyebut unsur Islam lain dan organisasi
Al Tafkir wal Hijra telah sepakat menyisihkan perbedaan
ideologis mereka sementara waktu byat bertindak bersama
menentang pemerintah. Sementara itu kalangan Ikhwanul Muslimin
mengaku bahwa organisasi itu terlibat hanya dalam dakwah dan apa
yang disebut mu'askar atau berkemah dengan, tentu saja,
membicarakan soal agama. Dan ini juga bagaikan api dalam sekam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini