SUASANA lengang, terutama di malam hari, sampai akhir pekan lalu
masih merayapi daerah sekitar Jayapura, Abepura dan Sentani di
Provinsi Irian Jaya. "Sekarang sulit mencari taksi selewat pukul
8 malam. Padahal dulu sampai tengah malam pun gampang," cerita
seorang pengusaha Jakarta yang baru kembali dari Irian Jaya.
Suasana sepi itu tampaknya akibat dari "peristiwa 9 Oktober".
Menurut harian Merdeka, Jumat subuh 9 Oktober itu sekelompok
Gerombolan Pengacau Liar (GPL) "Papua Merdeka" menyerang Lembaga
Pemasyarakatan Abepura, Kecamatan Abepura, Javapura Selatan.
Akibat serangan mendadak itu para penjaga LP melarikan diri, dan
gerombolan merusakkan kantor LP serta merampok barang-barang
milik para penjaga. Motif penyerangan itu, menurut Kadapol XII
Irian Jaya, Brigjen Pol. Yusuf Chuseinsaputra, untuk membebaskan
anggota gerombolan yang ditahan Laksusda Jayapura.
"Usaha teror OPM itu bukan dalam rangka memperjuangkan masalah
politis, tapi sudah mengarah pada teror kriminal," kata Yakob
Mano, anggota Fraksi Karya Pembangunan DPR dari Irian Jaya yang
ada di Irian Jaya tatkala peristiwa itu terjadi.
Menurut beberapa sumber di Jakarta, gerombolan OPM yang ditaksir
berjumlah ratusan orang itu turun dari bukit di belakang Kota
Abepura sekitar pukul 04.30. Mereka terbagi dalam tiga rombongan
dan bersenjata api pistol, senapan Mauser, serta parang, tombak,
panah dan jubi (sejenis tombak untuk mencari ikan). Gagal
membebaskan para tahanan di LP tersebut karena tidak bisa masuk
ke ruang tahanan, mereka memecahkan kaca pintu dan jendela serta
mengobrak-abrik dua rumah pegawai LP yang letaknya bersebelahan.
Menjelang pukul 05.30 gerombolan itu kembali naik bukit. Mereka
sempat juga merusak beberapa rumah, antara lain rumah seorang
pegawai Dinas Lalu Lintas, Angkutan dan Jalan Raya yang dikira
anggota ABRI. Sepeda motor dinas sang pegawai dibakar. Sedang
sebuah truk yang diparkir di seberang rumah tersebut dihancurkan
kacanya.
Konon sekembali dari penyerbuannya, gerombolan itu mengibarkan
bendera OPM berwarna merah dengan garis dan bintang di puncak
bukit, kemudian bernyanyi mengelilingi bendera sembari menarikan
sejenis tari perang dari Wamena. Mereka baru bubar setelah ada
tembakan mortir dari pihak keamanan.
Aksi GPL tersebut ternyata belum usai. Rabu pekan lalu
gerombolan yang sama menyerbu lokasi penimbunan kayu milik PT
Hanurata di Holtekang, berupa barak karyawan, traktor serta
perlengkapan lain. Sekurang-kurangnya lima barak dibakar sedang
beberapa karyawan, termasuk warga negara Malaysia dan Hongkong
yang menjadi partner usaha PT Hanurata, disandera.
Kecolongan
Esoknya terjadi kontak senjata dengan pihak keamanan. Kabarnya
belasan anggota gerombolan tersebut tertembak mati. Sekitar tiga
puluhan anggota GPL tertangkap dan sejumlah senjata disita.
Beberapa di antara pengacau itu ternyata mahasiswa dan guru di
Jayapura.
Serangan tersebut, menurut beberapa warga Irian Jaya di Jakarta,
sebetulnya sudah bisa diduga. "Pihak keamanan di sana
kecolongan," ujar seorang di antaranya. Menurut dia, tanda-tanda
yang mengarah pada kemungkinan kerusuhan sudah lama kelihatan.
Sejak akhir September lalu terjadi beberapa kali "insiden".
Antara lain penembakan pada mobil milik RRI Jayapur? serta mobil
tangki yang mengangkut avtur. Terjadi juga penembakan pada
helikopter serta pesawat helikopter yang akan mendarat di
lapangan terbang Sentani.
Pihak Laksusda Irian Jaya telah mengambil beberapa tindakan
untuk mengatasi aksi GPL tersebut. Jalan antara
Sentani-Abepura- ayapura kini tampak dipatroli pasukan ABRI
yang bersenjata lengkap. Namun pihak keamanan setempat rupanya
menganggap beberapa serangan GPL tersebut sebagai "aksi
anak-anak nakal", karena aksi itu dianggap lebih dilatar
belakangi motif ketidakpuasan sosial dan bukan bertujuan
politis.
Karena itulah Laksusda Irian Jaya sejak 1978 menjalankan
"kebijaksanaan senyum", artinya melakukan pendekatan kemanusiaan
guna menyadarkan para anggota GPL tersebut dan mengajak mereka
kembali dan bersama membangun Irian Jaya.
Hasil pendekatan senyum tersebut dianggap berhasil, antara lain
dengan kembalinya Marthin Tabu, "Presiden Republik Papua Barat"
merangkap "jenderal pasukan pembebasan nasional", ke pangkuan
ibu pertiwi pada 16 April 1980. Marthin Tabu telah 20 tahun
masuk hutan dan dialah tokoh di belakang penyanderaan beberapa
pejabat pemerintah pada akhir 1978 (TEMPO 10 Mei 1980).
Hadiah Trikora
Ketidakpuasan serta frustrasi di sebagian masyarakat Irian Jaya
hingga muneul tindakan teror kriminal itu, tampaknya terutama
disebabkan kurangnya kesempatan kerja bagi "putra daerah".
"Gejala ketidakpuasan akibat tidak adanya lowongan kerja maupun
dipersulitnya putra daerah untuk mendapat pekerjaan, harus
segera dihilangkan dengan memperbanyak kesempatan kerja," ujar
Yakob Mano.
Menurut anggota Komisi VI DPR ini, Gubernur Busiri sekarang
sudah banyak memberi kesempatan pada putra daerah. Misalnya dari
sembilan kabupaten di Irian Jaya, lima bupati serta seorang
walikota dipegang oleh putra daerah. Selain itu beberapa jabatan
teras di Pemda juga dijabat putra Irian. Dari sembian anggota
DPR wakil Irian Jaya, lima di antaranya putra daerah.
Menurut sumber lain, selain sikap kurang simpatik para pendatang
"hadiah Trikora"" yang diberikan oleh pemerintah pada para
pegawai negeri yang bertugas di Irian Jaya sebelum 1969 juga
merupakan sumber ketidakpuasan. Banyak yang iri karena mereka
juga merasa ikut berjuang pada masa Trikora, tapi sampai saat
ini tidak mendapat hadiah yang sama.
Sudarko Prawiroyudo, anggota F-KP DPR yang mewakili Irian Jaya
menganggap smiling policy yang dilakukan pemerintah sekarang
sudah tepat. "Namun saya ingin agar operasi senyum itu bisa
dimengerti masyarakat luas, bukan oleh kalangan ABRI saja. Jadi
harus dimengerti dan dijabarkan secara luas. Dengan demikian
tanggung jawab tidak hanya di pundak ABRI saja, tapi di pundak
semua warga masyarakat," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini