Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perisitwa 9 Oktober Itu

Gerombolan pengacau Papua Merdeka menyerbu lembaga pemasyarakatan abepura, penimbunan kayu milik PT Hanurata di Holtekang, Jayapura & menyandera karyawannya termasuk warga negara Malaysia & Hong Kong.

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA lengang, terutama di malam hari, sampai akhir pekan lalu masih merayapi daerah sekitar Jayapura, Abepura dan Sentani di Provinsi Irian Jaya. "Sekarang sulit mencari taksi selewat pukul 8 malam. Padahal dulu sampai tengah malam pun gampang," cerita seorang pengusaha Jakarta yang baru kembali dari Irian Jaya. Suasana sepi itu tampaknya akibat dari "peristiwa 9 Oktober". Menurut harian Merdeka, Jumat subuh 9 Oktober itu sekelompok Gerombolan Pengacau Liar (GPL) "Papua Merdeka" menyerang Lembaga Pemasyarakatan Abepura, Kecamatan Abepura, Javapura Selatan. Akibat serangan mendadak itu para penjaga LP melarikan diri, dan gerombolan merusakkan kantor LP serta merampok barang-barang milik para penjaga. Motif penyerangan itu, menurut Kadapol XII Irian Jaya, Brigjen Pol. Yusuf Chuseinsaputra, untuk membebaskan anggota gerombolan yang ditahan Laksusda Jayapura. "Usaha teror OPM itu bukan dalam rangka memperjuangkan masalah politis, tapi sudah mengarah pada teror kriminal," kata Yakob Mano, anggota Fraksi Karya Pembangunan DPR dari Irian Jaya yang ada di Irian Jaya tatkala peristiwa itu terjadi. Menurut beberapa sumber di Jakarta, gerombolan OPM yang ditaksir berjumlah ratusan orang itu turun dari bukit di belakang Kota Abepura sekitar pukul 04.30. Mereka terbagi dalam tiga rombongan dan bersenjata api pistol, senapan Mauser, serta parang, tombak, panah dan jubi (sejenis tombak untuk mencari ikan). Gagal membebaskan para tahanan di LP tersebut karena tidak bisa masuk ke ruang tahanan, mereka memecahkan kaca pintu dan jendela serta mengobrak-abrik dua rumah pegawai LP yang letaknya bersebelahan. Menjelang pukul 05.30 gerombolan itu kembali naik bukit. Mereka sempat juga merusak beberapa rumah, antara lain rumah seorang pegawai Dinas Lalu Lintas, Angkutan dan Jalan Raya yang dikira anggota ABRI. Sepeda motor dinas sang pegawai dibakar. Sedang sebuah truk yang diparkir di seberang rumah tersebut dihancurkan kacanya. Konon sekembali dari penyerbuannya, gerombolan itu mengibarkan bendera OPM berwarna merah dengan garis dan bintang di puncak bukit, kemudian bernyanyi mengelilingi bendera sembari menarikan sejenis tari perang dari Wamena. Mereka baru bubar setelah ada tembakan mortir dari pihak keamanan. Aksi GPL tersebut ternyata belum usai. Rabu pekan lalu gerombolan yang sama menyerbu lokasi penimbunan kayu milik PT Hanurata di Holtekang, berupa barak karyawan, traktor serta perlengkapan lain. Sekurang-kurangnya lima barak dibakar sedang beberapa karyawan, termasuk warga negara Malaysia dan Hongkong yang menjadi partner usaha PT Hanurata, disandera. Kecolongan Esoknya terjadi kontak senjata dengan pihak keamanan. Kabarnya belasan anggota gerombolan tersebut tertembak mati. Sekitar tiga puluhan anggota GPL tertangkap dan sejumlah senjata disita. Beberapa di antara pengacau itu ternyata mahasiswa dan guru di Jayapura. Serangan tersebut, menurut beberapa warga Irian Jaya di Jakarta, sebetulnya sudah bisa diduga. "Pihak keamanan di sana kecolongan," ujar seorang di antaranya. Menurut dia, tanda-tanda yang mengarah pada kemungkinan kerusuhan sudah lama kelihatan. Sejak akhir September lalu terjadi beberapa kali "insiden". Antara lain penembakan pada mobil milik RRI Jayapur? serta mobil tangki yang mengangkut avtur. Terjadi juga penembakan pada helikopter serta pesawat helikopter yang akan mendarat di lapangan terbang Sentani. Pihak Laksusda Irian Jaya telah mengambil beberapa tindakan untuk mengatasi aksi GPL tersebut. Jalan antara Sentani-Abepura- ayapura kini tampak dipatroli pasukan ABRI yang bersenjata lengkap. Namun pihak keamanan setempat rupanya menganggap beberapa serangan GPL tersebut sebagai "aksi anak-anak nakal", karena aksi itu dianggap lebih dilatar belakangi motif ketidakpuasan sosial dan bukan bertujuan politis. Karena itulah Laksusda Irian Jaya sejak 1978 menjalankan "kebijaksanaan senyum", artinya melakukan pendekatan kemanusiaan guna menyadarkan para anggota GPL tersebut dan mengajak mereka kembali dan bersama membangun Irian Jaya. Hasil pendekatan senyum tersebut dianggap berhasil, antara lain dengan kembalinya Marthin Tabu, "Presiden Republik Papua Barat" merangkap "jenderal pasukan pembebasan nasional", ke pangkuan ibu pertiwi pada 16 April 1980. Marthin Tabu telah 20 tahun masuk hutan dan dialah tokoh di belakang penyanderaan beberapa pejabat pemerintah pada akhir 1978 (TEMPO 10 Mei 1980). Hadiah Trikora Ketidakpuasan serta frustrasi di sebagian masyarakat Irian Jaya hingga muneul tindakan teror kriminal itu, tampaknya terutama disebabkan kurangnya kesempatan kerja bagi "putra daerah". "Gejala ketidakpuasan akibat tidak adanya lowongan kerja maupun dipersulitnya putra daerah untuk mendapat pekerjaan, harus segera dihilangkan dengan memperbanyak kesempatan kerja," ujar Yakob Mano. Menurut anggota Komisi VI DPR ini, Gubernur Busiri sekarang sudah banyak memberi kesempatan pada putra daerah. Misalnya dari sembilan kabupaten di Irian Jaya, lima bupati serta seorang walikota dipegang oleh putra daerah. Selain itu beberapa jabatan teras di Pemda juga dijabat putra Irian. Dari sembian anggota DPR wakil Irian Jaya, lima di antaranya putra daerah. Menurut sumber lain, selain sikap kurang simpatik para pendatang "hadiah Trikora"" yang diberikan oleh pemerintah pada para pegawai negeri yang bertugas di Irian Jaya sebelum 1969 juga merupakan sumber ketidakpuasan. Banyak yang iri karena mereka juga merasa ikut berjuang pada masa Trikora, tapi sampai saat ini tidak mendapat hadiah yang sama. Sudarko Prawiroyudo, anggota F-KP DPR yang mewakili Irian Jaya menganggap smiling policy yang dilakukan pemerintah sekarang sudah tepat. "Namun saya ingin agar operasi senyum itu bisa dimengerti masyarakat luas, bukan oleh kalangan ABRI saja. Jadi harus dimengerti dan dijabarkan secara luas. Dengan demikian tanggung jawab tidak hanya di pundak ABRI saja, tapi di pundak semua warga masyarakat," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus