Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gadis Quetta Menuju Angkasa

Saba Khan dan sembilan wanita menerobos dominasi pria di dirgantara Pakistan. Mereka mencatatkan diri sebagai pilot pesawat tempur pertama di negeri itu.

16 Mei 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di antara deretan pria tinggi tegap berdada bidang, sebentuk wajah rupawan menyembul dari balik topi tentara. Milik Saba Khan, wajah itu menjadi penanda bergesernya dominasi pria dalam Angkatan Udara Pakistan sejak republik itu tegak pada 55 tahun. Mulai pekan lalu, nona Khan dan sembilan gadis Pakistan lainnya "mulai dikenalkan" kepada publik sebelum resmi mengangkasa sebagai pilot AU dalam waktu dekat. Sepuluh wanita ini adalah pilot wanita pertama dalam jajaran Angkatan Udara Pakistan. "Mereka tampil lebih dari bagus yang diharapkan," ujar Direktur Akademi Angkatan Udara Pakistan Marsekal Inam Ullah.

Kehadiran 10 wanita ini di dalam jajaran Angkatan Udara memang menarik perhatian, terutama karena tradisi dan budaya setempat masih sedikit membuka kesempatan bagi wanita untuk berkarier di bidang-bidang yang secara tradisional didominasi kaum lelaki. Bayangkan, dalam urusan busana saja sudah repot. Wanita Pakistan biasanya tampil dalam baju muslim tertutup rapat dan kerudung melilit kepala. Tapi tengoklah Saba Khan atau Saman Ahmed. Tubuh mereka yang tinggi semampai dibungkus setelan baju tentara. Rambut panjang dan lebat? Cukup disunggi di belakang kepala, lalu ditutupi helm pilot.

Karier nona Khan di dunia penerbangan bermula dari keluarga. Lahir di Quetta, Provinsi Baluchistan, Saba Khan dibesarkan dalam sebuah keluarga muslim moderat. Orang tuanya membiarkan dia berdiskusi berjam-jam dengan pamannya, seorang pilot. Si paman pula yang membulatkan niat Saba untuk masuk Angkatan Udara. Pendidikan Akademi yang keras tak melunturkan niat Saba dan kawan-kawannya. Mereka diperlakukan sama persis seperti para taruna pria. "Kami tak ingin dikasihani," ujar Saman Ahmed. Bangun subuh, mengolah fisik, memukul, menendang, dan melumpuhkan musuh dengan tangan kosong, hingga latihan terbang habis-habisan menjadi rutinitas hidup mereka.

Pihak Akademi pada awalnya sempat waswas menerima penerbang hawa. Angkatan Udara dan Kepolisian Pakistan merekrut anggota wanita empat tahun silam. Kebetulan, Presiden Pervez Musharraf yang naik ke kursi presiden pada 1999 menyetujuinya. Tapi pilot pesawat tempur di Angkatan Udara? Tunggu dulu! Maju-mundur beberapa kali, Akademi Angkatan Udara Pakistan akhirnya memasang iklan mencari calon penerbang wanita. "Seperti mimpi melihat iklan itu keluar di koran," tutur Saba Khan.

Dia mengaku menyimpan cita-cita menjadi pilot tempur sejak kanak-kanak. "Saya tak ingin dinikahi pilot, tapi jadi pilot," ujar Saba. "Dengan perkenan Allah dan restu orang tua, saya bisa mencapai niat ini." Akademi tempat Saba belajar menetapkan level mutu setara bagi taruna pria maupun wanita. Tapi, menurut Inam Ullah, dalam beberapa hal tetap ada perbedaan, misalnya kadet pria dan wanita dipisahkan pada latihan-latihan tertentu. "Hal itu penting mengingat kami ini masyarakat muslim," ujar Shazia Ahmed, pemimpin skuadron.

Rata-rata pilot wanita mengaku bahwa tantangan terberat bukan dari materi pendidikan, tapi pandangan "meremehkan" dari kalangan tertentu di negeri itu. Bahkan rekan-rekan taruna pria mereka sendiri turut mencemooh. Sekali waktu, Saman Ahmed berang betul ketika ada kadet pria mengejeknya sebagai perengek. Kontan saja Saman menantang rekannya adu menembak. Dan, jeb! Laksana sniper, peluru Saman nyungsep persis di mata target—gambar sapi jantan. Si taruna pria melengos kalah.

Ambreen Gill, kadet wanita lainnya, tak peduli dengan semua ejekan orang. Dia bahkan mematok target menerbangkan F-16, pesawat Amerika Serikat yang embargonya ke Pakistan telah dicabut.

Saba, Saman, Ambreen, dan kawan-kawannya mencatatkan jejak baru sejarah dirgantara Pakistan—sebuah prestasi yang telah dipatrikan para penerbang wanita di Indonesia sejak bertahun-tahun silam.

Eduardus Karel Dewanto (BBC/USAToday/FoxNews/turks-online)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus