Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gagal Menangkis 'Kudeta'

Dilma Rousseff resmi terjungkal dari kursi Presiden Brasil. Tak bisa membendung serangan lawan politik.

12 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAKHIR sudah karier politik Dilma Rousseff. Sebanyak 61 dari 81 senator Brasil sepakat melengserkannya. Pentolan Partai Pekerja ini dituding memanipulasi anggaran pemerintah untuk memenangi pemilihan umum pada 2014. Rousseff pun resmi berstatus "mantan presiden". Posisinya diisi oleh bekas wakilnya, Michel Temer.

Hingga Rabu dua pekan lalu, dalam sesi pamungkas sidang pemakzulan di Senat, gelora perlawanan Rousseff masih membara. Ia membantah tudingan dan konsisten menyebut upaya pelengserannya sebagai "kudeta". "Ini kudeta kedua yang saya hadapi dalam hidup saya," katanya saat membacakan pidato pembelaan.

Kudeta pertama terjadi pada 1964. Saat itu Angkatan Darat Brasil, yang didukung Amerika Serikat, menggulingkan rezim Presiden João Goulart. Kudeta itu, Rousseff menuturkan, berlangsung dengan kekerasan senjata, represi, dan penyiksaan. "Peristiwa itu mempengaruhi saya ketika saya masih sebagai aktivis muda," ucapnya.

Sekarang giliran Rousseff yang dihantam "kudeta". Dimotori para wakil rakyat, pelengseran Rousseff tidak berdarah-darah seperti aksi makar oleh tentara. Bekas gerilyawan Marxis ini bahkan menganggap pemakzulannya adalah sandiwara politik. "Sebanyak 61 senator menggantikan 54,5 juta pemilih. Ini sama saja penipuan," kata Rousseff, yang berencana menggugat keputusan Senat ke Mahkamah Agung.

Gerakan menjungkalkan Rousseff sebenarnya sumir sejak awal. Rousseff telah berkali-kali menuding Michel Temer, 75 tahun, pemimpin Partai Pergerakan Demokrasi Brasil (PMDB), bekas sekutu utama Partai Pekerja, sebagai otak pemakzulan. Namun, di parlemen yang dikuasai para politikus PMDB, tuduhan itu praktis tak bergaung. "Mereka hanya ingin menyingkirkan saya," ujar Rousseff, menilai pemakzulannya sangat politis.

Belakangan, kecurigaannya itu benar belaka. Pada akhir Juni lalu, laporan tiga auditor independen menunjukkan ia tak terbukti memanipulasi anggaran. Namun, nahas bagi Rousseff, Senat tidak menggubris laporan setebal 223 halaman itu.

Wajar bila Rousseff meradang. Para penentang Rousseff sebenarnya lebih bermasalah. Transparency Brazil mencatat sekitar 60 persen dari 594 anggota Kongres "tidak bersih". "Mereka terlibat penyuapan, kecurangan pemilu, deforestasi, penculikan, dan pembunuhan," tulis lembaga pegiat antikorupsi Brasil itu dalam The New York Times.

Ketua Senat dan salah seorang pentolan PMDB, Eduardo Cunha, misalnya, terbelit kasus dugaan korupsi. Cunha, 57 tahun, adalah inisiator pelengseran Rousseff. Pada saat menggulirkan pemakzulan, Cunha justru sedang diselidiki jaksa federal atas tuduhan menerima suap dan melakukan pencucian uang. Temer, dan banyak legislator lain dari berbagai partai, bahkan ditengarai terseret dalam skandal megakorupsi yang melibatkan perusahaan minyak negara, Petrobras.

Namun hal itu tak mengerem upaya pemakzulan Rousseff, yang popularitasnya anjlok akibat resesi. "Lawan politik dengan cerdik menuduh pemerintah Rousseff sangat korup dan salah mengelola ekonomi," demikian dilaporkan BBC.

Pada Selasa pekan lalu, Rousseff melangkah keluar dari Istana Kepresidenan Alvorada di Ibu Kota Brasilia. Berpakaian merah dan berkacamata hitam, ia berjalan diiringi sejumlah bekas menteri dan anggota Kongres dari Partai Pekerja. Perempuan 68 tahun ini melempar senyum ke kerumunan pendukungnya, yang telah menanti di luar gerbang.

"Saya sangat sedih. Saya merasa negara ini seperti ditinggalkan orang tuanya," kata Cecilia Monteiro, 56 tahun. Bersama puluhan pendukung Rousseff lainnya, Monteiro datang membawa mawar, balon merah, dan cendera mata sebagai tanda perpisahan.

Rousseff sejenak menghampiri para pendukungnya. Ia bertukar peluk dan cium pipi dengan ibu-ibu. Kepada Rousseff, para perempuan itu mengucapkan selamat tinggal sembari mengulurkan satu-dua tangkai mawar. Rousseff menggamit mawar itu, membalas dengan senyuman, sebelum memasuki mobil dan pergi dari kompleks Istana.

Mahardika Satria Hadi (BBC, The Economist, People's World, Globo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus