PENDUDUK njamena bersorak sorai ketika empat pesawat jet tempur
Jaguar melayang-layang di atas kota itu, Ahad lalu. Agaknya tak
terpikir oleh mereka, tontonan udara ini justru isyarat makin
berkobarnya perang yang mencabik-cabik Chad dalam beberapa bulan
terakhir.
Presiden Prancis Francois Mitterrand mengutus Roland Dumas,
pengacara dan teman baiknya, menemui Kolonel Qaddafi di Tripoli.
Melalui misi tak resmi ini, Mitterrand berharap bisa merayu
Qaddafi, yang disebut-sebut membantu pemberontakan Goukouni
Oueddei, duduk di meja perundingan.
Tapi Qaddafi tetap membantah keterlibatan Libya dalam geger
Chad. Bahkan ketika pasukan Hissene Habre mempertontonkan Mayor
Abdel Salam Sharfadine, pilot Libya yang tertembak jatuh itu,
Qaddafi sama sekali tidak beranjak. "Itu pilot yang mereka
tangkap tiga tahun lalu," katanya.
Kini, Prancis tidak saja mendatangkan empat Jaguar untuk
membantu Habre yang tidak mempunyai angkatan udara. Mitterrand
bahkan sudah menunjuk Brigadir Jenderal Jean Poli, 54 tahun,
veteran Perang Aljazair dan spesialis Afrika mengantikan
Kolonel Bernard Messana sebagai komandan lebih dari seribu
tentara Prancis di Chad. Opsir marinir yang sangat berpengalaman
inilah yang akan meneruskan Operasi Manta -- aksi unjuk kekuatan
bersenjata Prancis terbesar selama 20 tahun terakhir.
Perang saudara di Chad memang bisa membingungkan. Dua tokoh yang
baku sikat, Hissene Habre dan Goukouni Oueddei, sama-sama
beragama Islam, dan berasal dari suku Toubu. Keduanya bekas
gerilyawan dan pernah jadi presiden. Pernah bersekutu dan
bermusuhan dengan Libya sama-sama pernah menerima bantuan
Prancis dan mengutuk negeri itu.
Lalu apa yang jadi pokok seteru? Sebagian besar pengamat tetap
melihat permusuhan mereka sebagai sekadar persaingan
kepemimpinan.
Sampai sekarang Chad dianggap salah satu negeri paling miskin di
dunia. Angka buta huruf sekitar 82%. Dua atau tiga anak
meninggal setiap hari lantaran kurang makan. Padahal, dengan
luas setara dengan Inggris, penduduk negeri itu hanya 4,5 juta
jiwa.
Sebelum Goukouni dan Habre bersengketa, 1979, angka GNP
menunjukkan Rp 120 ribu per orang. Setelah itu, keadaan ekonomi
terus menerus merosot. Produksi gandum anjlok sepertiga.
Produksi kapas, yang memasukkan 75% pendapatan ekspor negeri
itu, anjlok 42%.
Betulkah negeri itu sungguh-sungguh miskin? Agaknya tidak.
Belakangan ini makin santer cerita, Qaddafi berselera melihat
Chad bukan sekadar memuaskan ambisi untuk memimpin Afrika. Di
Aozou Strip, wilayah dengan lebar sekitar 80 km yang dikuasai
Libya sejak 1973, konon terpendam uranium yang patut
diperhitungkan. Minyak bumi juga ternyata banyak sehingga Bank
Dunia sudah menganjurkan pembangunan kilang minyak di negeri
itu. Hanya karena perang masih berlarut-larut maka rencana itu
masih terbengkalai.
Di Mayo Kebbi terdapat emas, di kawasan Guera terkandung
uranium, besi, dan bauksit. Di pantai Telaga Chad terdapat
natron yang kini dalam jumlah terbatas sudah dimanfaatkan. Chad
adalah produsen kapas terbesar di zona franc (CFA). Produksi
kapas negeri ini sepenuhnya dikuasai Cotontchad yang dikontrol
Maskapai Prancis untuk Pengembangan Tekstil. Dalam masa
1971-1978, Cotontchad mengeduk keuntungan tidak kurang dari Rp
44,6 milyar.
Kini belasan ribu pasukan Prancis dan Libya berhadap-hadapan di
negeri yang sengsara itu. Juga masih ada ratusan tentara Zaire
di samping sekitar 4.000 tentara Chad yang kurang terlatih.
Amerika Serikat mendrop sumbangan militer Rp 25 milyar.
Sementara itu Qaddafi tak henti-hentinya mengaum. Ia bahkan
menggertak lawan dengan "banjir darah" jika konflik ini membuat
keamanan Libya terancam. "Bila Prancis dan Amerika Serikat
terlibat lebih jauh, akan kita saksikan bencana yang lebih
dahsyat daripada Vietnam, Kamboja, atau Pearl Harbour," kata
Qaddafi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini