Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kepercayaan setelah ketegangan

Tanggapan beberapa tokoh islam terhadap rencana pengukuhan "kepercayaan" lewat gbhn, al: hamka, abdurahman wahid, ki moesa'l mahfoeld. tarekat di dalam islam merupakan mistik.(ag)

21 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAIMANA bila kepercayaan jadi dapat pengukuhan lewat GBHN? Bagaimana bila tak dapat? Masalah Ini nampaknya mendesak untuk difikirkan, melihat panasnya suasana yang bisa tidak sehat buat siapa pun. Sidang Badan Pekerja MPR 20 Januari ini, dalam hal pembahasan kepercayaan. tidak akan disertai Fraksi Persatuan Pembangwmn. P3 dari semula menolak materi tersebut. Majlis Ulama Indonesia pun memperkuat penolakan mereka sebelumnya. Tapi selain menolak, sembilan orang dari Dewan Pimpinan Majlis itu juga minta Pemerintah mengambil kebijaksanaan yang tinggi untuk tidak menimbulkan perpecahan bangsa. Mereka juga menyatakan bahwa Majlis Ulama sedia berkonsultasi dengan aliran kepercayaan. Maksud: mengembalikan aliran kepercayaan kepada induk agamanya masing-masing." Dan mengembalikan mereka kepada induk agamanya masing-masing agaknya juga salah-satu butir penegasan Presiden Soeharto di depan kongres Perkumpulan SUBUD di tahun 1971. Ini diulangi kembali oleh Wakil Ketua DPA Mayjen Alamsyah pada hari yang sama, pertengahun Januari kemarin. Selesai bertemu dengan Presiden selama satu lain, Alamsyah mengingatkan anjuran Presiden agar aliran-aliran tersebut mendorong anggotanya untuk taat kepada ajaran agama yang mereka peluk. Namun mungkinkah itu. ketika purbasangka telah timbul? Mungkinkah penganut kepercayaan taat kepada agama yang mereka peluk, sementara mereka mungkin justru ingin bebas dari agama itu karena dianggap kurang sesual di hati? Memang ada dugaan, bahwa kemauan menyatakan identitas sendiri di kalangan kepercayaan adalah akibat di bangkit-bangkitkan oleh lapisan atas untuk tujuan yang hanya sepersekiannya saja bersifat kerohanian. Namun mungkin juga kalangan kepercayaan memang perlu perlindungan. Sejak trauma G-30-S, orang yang tidak menyatakan diri beragama takut dituduh PKI. Agama menjadi penting sebagai semacam cap dan penyembuhan. Seorang tahanan G-30-S yang beragama Hindu Bali misalnya terpaksa dicap Budha, karena di dalam penjara kebetulan tak ata pelajaran Hindu-Bali. Pokoknya: asal memeluk agama sajalah .... Barangkali untuk berlindung dari arus yang agak dipaksakan itulah - berbareng dengan saat Golkar mencari suara kalangsn penganut kepercayaan jadi menonjol di masa terakhir ini. Meskipun diduga jumlahnya tidak besar. Setelah selama ini merasa ditekan oleh lembaya-lembaga semacam Pakem dari Kejaksaan, dan karena itu pula makin berbulat hati untuk memerdekakan diri, mereka sekarang melakukan klaim ke dua jurusan. Ke luar, mereka ingin memasukkan agama-agama suku atau kepercayaan animis (toh dengan nama kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa) di seluruh Nusantara. Ke dalam, mereka mengklaim seluruh orang Jawa kecuali yang benar-benar santri. Dengan itu hendak ditampilkan, bahwa Jawa lain dari Islam atau tidak dengan sendirinya sama. Bisa dilihat bahwa tuntutan kalangan kepercayaan sekarang jauh lebih besar skalanya dari tuntutan tahun 1950-an. zaman KRMT Wongsonagoro dengan BKKI-nya (Badan Kongres Kebatinan Indonesia). Bahwa orang Jawa cenderung kepada mistik, sudah diketahui. Bahkan para pencatat sejarah masuknya Islam ke Nusantara menerakan faktor penunjang penyebaran Islam di sini adalah kecenderungan mistik penduduk (istimewa Jawa), sementara Islam sendiri datang dalam warna mistik yang pekat. Zaman tokoh-tokoh yang disebut Wali Sanga adalah zaman tarekat yakni mistik yang membentuk diri dalam berbagai ordo. Memang bukan tidak ada "penertiban". Dalam dongeng misalnya disebut bahwa Seh Siti Jenar dibunuh oleh para wali lain. Ini bisa ditafsirkan sebagai pembersihan terhadap ordo-ordo yang dinilai menyimpang: Faham Al-Hallaj. Suhrawardi. Abu Yaid Al-Busthami dan semacamnya. Bearti pembersihan oleh tarekat kepada tarekat. Tetapi "pembersihan yang lebih berarti dimulai bibitnya pada abad-abad 17-18: masuknya arus pemurnian agama yang bersandar pada syara" (daerah hukum). Dan di akhir abad 19 dan awal abad kini. Kaum syara' - terdiri dari para kyai seperti yang akhirnya mendirikan Nahdratul Ulama - praktis menyapu tarekat-tarekat "menyimpang yang rupanya terus timbul-tenggelam dan muncul. Lalu datang ulama syara 'Muhammadiyah dan yang sejenis. Mereka membawa pemurnian lebih lanjut dan sekaligus menutup bayang-bayang ulama syara' sebelumnya. Berikutnya datang buku-buku. penuh fikiran keislaman "modern". yang menjadikan Islam seakan makin lama makin memberat ke arah otak. Lalu orang pun berkata: Islam sudah menjadi anti-mistik. Dan bila Islam sudah "anti mistik" dan bila "orang Jawa" dikatakan tetap tinggal pada kecenderungan mistik, antara keduannya jarak pun cenderung terbentang. Masalahnya bagi Islam: apakah jarak itu akan dibiarkan terbentang? Perumusan sikap untuk menjawab itu nampaknya belum sempat dilakukan, meskipun percikan fikiran sudah nampak di sana-sini. Dua tahun lalu misalnya Prof. Hamka menulis surat kepada Presiden Soeharto. Mengambarkan dengan cukup tajam keresahan di kalangan pemimpin keagamaan Islam dalam Majlis Ulama dalam masalah 'kepercayaan'. Hamka tak lupa menulis dari sejarah Jawa: tindakan raja-raja Jawa yang bijaksana yang pandai mengasun baik kalangan santri maupun kejawen. "tetapi tidak mempertemukan." Kaum kyai dibiarkan hidup dalam pemeliharaan mesjid diberi badan Yogaswara, bahkan Sunan Solo X mendirikan Pesantren Mambaul Ulum. Hamka yang juga menyiratkan dengan agak pedih kemungkinan bangkitnya semangat kesukuan, juga menyinggung gerakan yang didirikan Voltaire dan kawan-kawannya di Perancis. Yakni satu faham yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa tanpa mengakui nabi dan wahyu. Pemerintah Perancis, menurut Hamka tidaklah merasa perlu memberi wadah mereka menjadi kepercayaan misalnya. Yah itu sekedar filsafat silakan. Leten (Pur.) H. Sudirman tokoh Pendidikan Tinggi Dawah Islam (PTDI) dan anggota Majlis Ulama Pusat. sehubungan dengan sikap kepada kalangan kepercayaan ada menyebutkan surat instruksi Majlis Ulama kepala daerah-daerah: agar mendekati kalangan kebatinan secara baik-baik. dan berdialog dengan mereka. Seorang ulama muballigh besar di Pekalongan, Ustaz Abdul Ghaffar Ismail, dikabarkan menganjurkan agar aliran kebatinan jangan hendaknya dihadapi dengan konfrontasi. Hendaklah disublimir, istilahnya, mistik mereka itu dengan mistik kita. Sebab kita sama-sama mempunyai pengalaman mistik. Haji Bendoro Pangeran Haryo Prabuningrat, Rektor Universitas Islam Indonesia dan anggota Majlis Ulama Yogyakarta, bertutur kepada Susanto Pudjosumarto dari TEMPO: Saya sering bertanya: sebelum Nabi s.a.w. mendapat wahyu shalat lima waktu, dan masih sering bersamadi di Gua Hira, yang dilakukannya itu apa? Beliau berusaha berhubungan langsung dengan Tuhan. Tapi yang dilakukan beliau itu dinamakan apa? ulah mistik. Pengikut kepercayaan juga melakukan samadi kepada Tuhan. Shalat juga berhubungan langsung dengan Tuhan. Bedanya yang satu bergerak, yang lain diam. Ini tinjauan secara nuchte dan realistis, kataBapak Prabu, yang mengaku hallya orang Islam biasa - tidak masuk aliran kebatinan atau organisasi sosial apapun. Maksudnya barangkali: jangan sampai menyangka tata cara ibadat lain misalnya sebagai biadab, meskipun jelas tidak setuju. Ki Moesa'l Mahfoeld, bekas dosen agama di UGM dan IAIN Sunan Kalijaga dan kini di AKABRI Udarat dan Institut Kartini, Yogya, menyatakan bahwa aliran kepercayaan seharusnya dilayani, bukan diberantas. Kalau tidak ada perobahan sikap, dan masih akan memberantas terus, persoalan ini akan berlarut-larut, katanya. Mistik dalam Islam memang masih hidup. Ketiga tokoh di atas adalah para mistikus atau diketahui dekat dengan mistik. Betapapun gambaran bahwa Islam adalah anti-mistik nampaknya lebih merupakan gambaran dari golongan Islam yang berada di garis depan perbenturan masa kini. Di garis belakang, kenyataan mistik di kalangan Islam -- dalam kedudukan sejajar dengan temperamen mistik Jawa--bisa ditunjukkan oleh masih larisnya pengajian tasauf. Pengajian Kyai Mangli di Magelang misalnya, dipadati ribuan murid lari berbagai kota setiap minggu. Abah Anom (KH Shahibul Wafa Tajul Arifin, pemimpin pesantren tarekat Surialaya, Tasikmalaya) bahkan punya 200-300 orang khalifah di berbagai kota. NU sendiri mempunyai wadah berbagai macam tarekat. Karena itu pula Abdurrahman Wahid Sekretaris Pondok Tebuireng Jombang yang banyak menulis masalah Islam, berani memastikan bahwa tarekat tidak akan pernah lenyap. Kyai syara (hukum) itu ada di lapisan atas, sementara kecenderungan tarekat di bawah sebenarnya besar sekali. Beberapa kenyataan bisa ditunjukkan Abdurrahrnan. Pembersihan di abad 20 oleh para pendiri dan sesepuh NU (misalnya Kyai Asy ari, Kyai Bisjri Sjamsuri, Kyai Machrus) adalah pembersihan syara terhadap tarekat yang dinilai menyimpang. Untuk waktu yang cukup lama kaum syara pun selalu di atas. Merekalah yang pegang buku teks, mereka pula yang berhak menafsiri ajaran. Meski begitu, di tahun-tahun 1959-1960 terasa kontrol mereka mulai mengendor juga. Berbagai tarekat menyimpang yakni campuran tarekat-tarekat yang dulu masuk ke mari lewat Trengganu dan Negeri Sembilan, dan menemukan pengalaman yang sama dalam hal misalnya manunggaling kawula gusti dengan kebatinan Jawa yang kemudian membekas waktu itu toh bisa muncul kembali. Ini memaksa kaum syara di awal 60-an itu mensiirikan Jam'iyah Thariqat Mu'tabarah, himpunan tarekat sah, dengan berpedoman kepada mistik Al-Ghazali yang bersih sebagai kriteria. Tetapi adakah ini memenuhi kebutuhan sebagian jemaat? Tak seluruhnya. Bahkan muncul gerakan-gerakan yang mengganti nama tarekat tangan nama 'amalan'. Apalagi ketika kemudian Thariqat Mu'tabarah sendiri pecah akibat pemilu yang lalu: KH Musta'in Romli, ketua umumnya, Ikut Golkar, sehingga ia dikucilkan dari ulama NU. Dan wajur saju yung dikucilkan kemudian mencari persekutuan dengan kalangan luar. Kyai Musta'in sendiri misalnya sekarang menamakan tempat majlis tarokatnya bukan funduq atau zawiah, melainkan padepokan. Dan nama itu ditulis besar-besar. Apakah dengan demikian akan ada pendekatan antara padepokan semacam itu dengan kalangan kopercayaan? Abdurrahman Wahid berani memastikan aliansi momang sepantasnya terjadi antara golongan yang sama-sama disisihkan. Dan siapa tahu ini akan ikut mewarnai kehidupan Islam di masa mendatang. Sementara itu peranan kyai syara sendiri sebenarnya bisa dijejaki sebagai tak lagi sekuat dulu. Sebab kehidupan, yang makin majemuk dan aneh-aneh, terasa tak cukup lagi bisa diterangkan hanya dengan fiqh yang jadi tumpuan syara. Mereka, kaum syara dalam NU dan Muhsmmadiyah, banyak menghadapi problem dalam mengendalikan generasi yang lebih muda sebab memang tak ata nilai-nilai lain di luar syara yang bisa membuat mereka menenggang kenyataan-kenyataan keras di luar. Selama orientasi agama ditumpukan hampir melulu pada masalah dosa dan pahala (syara), dan bukan mencari ketenteraman dan pengetahuan sejati tentang Tuhan (tasauf), orang memang bisa jadi agamawan yang sangat tegang menghadapi keadaan sekitar. Barangkali memang, seperti diharapkan Abdurrachman Wahld, perlu naiknya kembali warna mistik dalam Islam. Tidak untuk mengalahkan syara, sebab itu tak mungkin dan juga berbahaya. Melainkan untuk membuat kehidupan beragama lebih plural dan lebih lapang. Mungkin agama Islam perlu tampak tak terlalu kering dan formalistis satu hal yang menimbulkan keengganan kalangan kejawen terhadap mereka. Prof. Rasjiti sendiri misalnya, seperti juga Prof. Djojotiuno dulu, ada mengemukakan sebab penting mengapa orang mencari aliran kebatinan: karena warna kehidupan Islam yang formalistis itu. Tapi mungkin Juga soalnya menyangkut sikap para pemimpin Islam dalam menghadapi kebudayaan setempat. IAI, misalnya, membuka fakultas sastra Arab tapi tak punya pengkajian sastra dan budaya masing-masing daerah, baik Jawa ataupun Aceh. Pustaka Jawa yang sarat hubungannya dengan kebatinan (juga dengan kebatinan Islam) juga baru dibahas bila dianggap menyeleweng, dengan lebih dulu meletakkannya sebagai tertuduh. Padahal sejauh jauh penyelewengan Ronggowarsito atau Ki Yosodipuro, mereka toh bisa dibicarakan bersama para mistikus Islam lain, yang juga menyeleweng seperti Fansuri atau lainnya. Memang tidak mudah mengganti kebiasaan - kultur, dan bukan agama. Mutahkah membiasakan diri menabuh gamelan di depun langgar, seperti memainkan prabu di tempat itu juga Prabu ningrat menuturkan bahwa sikap kalangan muslimin kepada budaya lokal umumnya sekarang sudah lebih baik. Hanya, dikisahkannya, beberapa tahun lalu ada diusulkan (oleh kalangan Idam yang tidak suka gamelan maupun rebana) agar gamelan sekati pada perayaan Sekaten jangan dibunyikan di depan Mesjid Agung. Akibatnya, semua orang pergi ke Sitihinggil di mana gamelan ditabuh. Belakangan pihak Mesjid meminta kepada Kraton, agar gamelan ditempatkan lagi di Mesjid . . . "Islam hendaknya lebih toleran kepada bentuk kebudayaan setempat", BPH Prabu berkata. Seperti sikap para wali dulu. Ki Moesa'l Mahfoeld menceritakan hasil pembacaannya pada naskah-naskah kuno yang terdapat di Mosjld Asono, Tuban, tahun 1938 - yang diperkirakannya sebagai notulen rapat para wali sebelum jatuhnya Majapahit. Dalam rapat itu Maulana Ishak dari Blambangan mengusulkan agar semua kebudayaan yang mengotori Islam diberantas saja. Tidak ada catatan tentang pembicaraan. Hanya ada keputusan: bahwa tugas para wali sebetulnya adalah Tut Wuri Hangiseni (menuruti kemauan, memberi isi). Meski begitu sebenarnya tak layak pula pengiraan bahwa hubungan kalangan Islam dan kejawen sekarang harus tegang. Sebetulnya antara Islam santri dan Islam abangan tidak ada apa-apa kata BPH Prabuningrat. Politik pemerintahlah yang membuat mereka terpecah. Pemerintah seolah memberi angin kepada aliran kepercayaan untuk menandingi Islam. Jadi kalau umat Islam memberi reaksi, itu wajar .... Itu satu kenyataan. Di samping bahwa, seperti diharapkannya, umat muslimin janganlah sampai mempunyai religious arrogancy, kesombongan keagamaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus