TAK ada calon ketua partai yang begitu populer seperti Megawati. Dukungan dari pelbagai pihak muncul, misalnya dari Nyonya Rakhmi Hatta. Bahkan orang yang ikut menjatuhkan ayahnya, Buyung Nasution, secara terbuka mendukung Megawati. Demikian juga ''lawan'' politiknya dari PPP dengan tegas mendukungnya, Sri Bintang Pamungkas. Lebih dari seratus cabang pernah menyatakan dukungannya secara langsung. Mengapa Megawati? Apa makna dari kehadirannya sebagai Ketua PDI? Saya menangkap ada dua hal yang utama dampak dari kehadiran Megawati sebagai ketua partai tersebut. Pertama, itu akan memperkuat proses realignment politik yang sudah mulai tejadi pada Pemilu 1992 yang lalu. Di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur Golkar kehilangan rata-rata 12% suara. Dan di beberapa daerah, PDI mengalami peningkatan yang kuat sekali, misalnya Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, Bali, NTB, NTT, dan Timor Timur. Di Jawa Timur, Golkar rata- rata kehilangan lima kursi di kabupaten dan kota madya, demikian juga di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hal itu merupakan hasil dari proses penyatuan kembali, realignment, dari para pemilih lama dan keluarganya yang sementara ini memilih Golkar karena sejumlah alasan. Dengan kehadiran Megawati, proses itu akan menjadi lebih kuat, karena ikatan emosional yang sudah lama ada diperbarui kembali, terutama dengan generasi tahun 1960-an ditambah dengan keluarga mereka. Si anak hilang akan kembali, yaitu para pendukung partai yang menyeberang ke Golkar. Kedua, kehadiran Megawati sebagai ketua PDI menemukan tempat yang sangat klop dengan para protest voter, sejumlah pemilih yang memilih PDI ataupun PPP bukan karena senang dengan kedua partai tersebut akan tetapi sebagai simbol protes mereka terhadap kemapanan Golkar. Mereka juga tidak senang dengan sejumlah kebijaksanaan ekonomi dan moneter Pemerintah dan berkaitan pula dengan sejumlah isu yang berhubungan dengan masalah monopoli, pemerataan pembangunan, dan keadilan sosial. Megawati akan merupakan simbol ''perlawanan'' bagi para pemilih muda, para pemilih di daerah perkotaan yang secara sosial ekonomis lebih mapan. Perlawanan terhadap kemapanan sudah sangat kuat. Seperti halnya mereka menemukan simbol perlawanan dari diri Sri Bintang Pamungkas di PPP. Bukan tidak mustahil, mereka yang selama ini ingin memberi ''pelajaran'' pada Golongan Karya akan menemukan tempatnya dalam PDI, paling tidak untuk sementara waktu. Gejala seperti itu dapat kita temukan di Filipina pada tahun 1985, ketika Cory Aquino muncul menantang Marcos. Karena itu, para peserta Kongres Luar Biasa (KLB) dan para pimpinan PDI, bukalah mata, telinga, dan hati Anda sekalian. Bacalah tanda-tanda zaman yang lagi populer sekarang ini. Berpikirlah untuk kepentingan partai, tinggalkanlah segala vested interest Anda demi partai. Adakanlah dialog dengan hati nurani Anda, besarkan nyali Anda, pertimbangkan plus-minusnya buat partai. Toh Anda tidak akan dirugikan sama sekali kalau memilih Megawati, kecuali menghadapi Kantor Sospol ataupun aparat yang galak-galak. Dan kalaupun itu terjadi, itu bertentangan dengan semangat demokrasi dan keterbukaan yang selama ini didengung-dengungkan. Akan tetapi masih ada satu pertanyaan yang masih sangat mengusik. Mungkinkah Megawati akan terpilih? Adakah peluang bagi dia untuk muncul menjadi orang pertama di PDI? Ada sedikit rasa kekhawatiran, dan bahkan saya sudah menyatakan di pelbagai kesempatan, peluang Megawati tampaknya sangat sedikit. Sejarah rekrutmen pemimpin partai dalam Pemerintah Orde Baru sangat diwarnai oleh dominannya campur tangan Pemerintah. Sekalipun Mendagri dan Pangab sudah menyatakan bahwa mereka tak berkeberatan dengan pencalonan Megawati, kenyataan di lapangan menunjukkan gejala yang lain. Sudah menjadi rahasia umum, dalam tiap proses politik lokal, Kantor Sospol sangat aktif menggarap siapa yang boleh dan siapa yang tak boleh menjadi ketua partai. Makyo Sumaryo, Ketua PDI Kota Madya Surakarta, yang begitu menggebu mendukung Megawati, kemudian harus minta maaf kepada Pangdam Jawa Tengah & Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan dia tak mendapat mandat untuk hadir mewakili daerahnya dalam KLB yang akan datang. Alangkah ironisnya, seorang ketua cabang tidak hadir mewakili daerahnya. Itulah kenyataan yang dihadapi oleh PDI. Rekrutmen politik dilakukan untuk mencari orang-orang yang harus selalu mendukung semua kebijaksanaan pemerintah. Kasus Hardi, S.H. pada waktu Kongres PNI di Semarang tahun 1969, demikian juga dengan kasus Partai Muslimin yang melakukan muktamar di Malang tahun 1968, bahkan Ketua dan Sekjen Parmusi dikup oleh Naro dan Kadir atas bantuan opsusnya Ali Murtopo. Naro kemudian bahkan tersingkir karena dia bukan lagi seorang yang manis terhadap Pemerintah. Demikian juga yang terjadi pada Soerjadi dengan kasus Kongres PDI yang kacau di Medan. Saya khawatir, Megawati dan orang-orang PDI akan menghadapi kenyataan pahit. Kecuali, para peserta KLB punya nyali dan membuka mata, telinga, dan hati mereka. Kecuali, mereka lebih mementingkan partai dengan memunculkan figur Megawati yang sangat populer. Bukannya mereka mengutamakan kepentingan jangka pendek di mana dapur harus berasap dulu, dan rezeki sementara harus dipertahankan ketimbang idealisme, menegakkan demokrasi, dan memperjuangkan nasib wong cilik seperti dikehendaki oleh Mega dalam platform politiknya. Bendera itu sudah dikibarkan, adakah angin dari peserta KLB agar bendera itu berkibar dengan lebih berderai-derai? PDI, bukalah mata, telinga, dan hatimu. Selamat ber-KLB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini