TENTARA Israel membangkang perintah ausan? Tak persis demikian.
Tapi Selasa 13 Juli yang lalu, 122 cadangan pada AD Israel
menuduh secara terbuka bahwa pemerintah Begin menjalankan
perang yang "agresif" dan "tak dapat dihalalkan" ke Libanon.
Mereka -- di antaranya 17 perwira -- meminta agar tak ditugaskan
di negeri di utara itu.
Seorang sersan menceritakan bagaimana kesatuannya, di hari
pertama perang, menghancurkan sebagian besar lapangan kota
Sidon, Libanon. "Saya kira tak ada seorang pun dalam kesatuan
kami yang merasa bangga dengan tindakan itu," ujar Yehuda
Melter, seorang sersan cadangan lain yang juga profesor
filsafat pada Universitas Tel Aviv.
Dalam sejarah Israel, hal ini baru pertama kali terjadi secara
menyolok: suara membangkang ketika perang. Tak heran bila terasa
kerisauan di negeri yang mencoba tetap mempertahankan kebebasan
bersuara para warganya itu. Di Tel Aviv, gerakan "Damai
Sekarang" muncul dengan rapat umum yang mengesankan. Awal Juli
menurut perkiraan, 70.000 orang pendukungnya kasih unjuk rasa di
lapangan kotapraja. Dan gemanya pun menjalar.
Di Yerusalem kemudian sekitar 1. 000 orang melakukan hal yang
sama. Satu kelompok lain, terdiri dari 50 ibu yang kehilangan
anaknya di perang di Libanon, tak mau ketinggalan. Berikutnya,
sekitar 200 pemrotes muncul di depan kantor Perdana Menteri
Begin. Mereka membacakan sepucuk surat seorang ayah yang anaknya
gugur. Isi surat untuk Begin itu, antara lain, "Anda tak dapat
mengembalikan anakku Yaron . . . tapi jangan pergunakan mayat
kami untuk membangun sebuah rezim baru di Libanon."
Menachem Begin, seperti bisa diduga tak beranjak dari
pendiriannya. Dalam sebuah rapat kabinet ia konon mengatakan tak
ada yang menggoyahkan keputusannya "untuk melakukan apa yang
harus dilakukan di Libanon." Apalagi, memang, dia tak sendirian.
Sekitar 600 orang muncul di depan Gedung Knesset (Parlemen)
untuk mendukung tindakannya, setelah terjadinya demonstrasi
antiperang. Di koran-koran Israel, para pendukung perang di
Libanon memasang iklan satu halaman penuh. Isinya menganjurkan
pemerintahan Begin agar tetap teguh.
Yang lebih meyakinkan Begin ialah hasil pol pendapat umum yang
diselenggarakan koran independen The Jerusalem Post. Sebagai
akibat perang di Libanon, popularitas Begin bahkan naik, dari
40% di bulan Mei menjadi 51%. Lebih menang lagi orang yang
disebut si "gemuk gila": Ariel Sharon bahkan melebihi
popularitas Begin, 56%.
Sampai sejauh kini, gerakan antiperang memang cuma menyangkut
kelompok kecil. Termasuk kalangan cendekiawan -- dengan suara
yang keras. Bekas guru besar kimia di Universitas Ibrani,
Yeshayahu Leihowitz, 79 tahun, misalnya, menuduh garis
pemerintah di Libanon sebagai "Judeo-Nazi". Dia menghimbau para
prajurit Israel agar tak mau bertempur di luar batas Israel.
Yang paling kontroversial tentulah tindakan wartawan Uri Avnery,
penulis buku Israel Without Zionists. Ia berangkat ke Beirut
Barat dan menjumpai Ketua PLO Yasser Arafat untuk sebuah
wawancara. Meskipun pandangan Avnery sudah banyak diketahui di
Israel, sebagai orang yang punya kontak dengan PLO, tak ayal
menteri kehakiman negara itu mempertimbangkan untuk mengadilinya
sebagai "berkhianat" (lihat "Saya Pastilah Seorang Zionis").
Memang ada rasa cemas di kalangan pemerintah menghadapi
suara-suara yang menyimpang itu. Menteri Luar Negeri Yitzhak
Samir, yang selalu berwajah masam, mengecam mereka sebagai
sesuatu yang merusak. "Tiap suara, meskipun terpisah dan tak
penting," ujarnya, "bergema 1.000 kali lebih keras di luar
negeri." Itu, kata Samir, membantu "musuh di front propaganda."
Dalam hal propaganda nampaknya Israel memang tengah menghadapi
bahaya longsornya simpati. Selama ini dikenal sebagai negeri
dari sebuah bangsa yang menderita oleh Hitler, Israel menduduki
tempat yang baik di hati orang Amerika dan Eropa. Negeri ini
juga -- dengan pengalaman pahit itu -- dianggap sangat
memperhatikan hak-hak asasi warganya, satu contoh sistem
demokrasi Barat yang tak ada duanya di Timur Tengah kini. Dan
tak dapat diabaikan ialah peran lobby Israel yang sangat
mempengaruhi banyak keputusan politik dan pendapat umum,
terutama di Washington.
Namun nampaknya suatu perubahan telah terjadi. Seymour Martin
Lipset, guru besar terkemuka dari Universitas Stanford,
California, dalam satu ceramah awal Juli yang lalu di
Universitas Ibrani, Yerusalem, menyebutkan, bahwa sejak
inisiatif perdamaian yang dilancarkan Presiden Sadat dari Mesir,
pendapat orang di Amerika mulai berubah, terutama tentang
wilayah Arab yang diduduki Israel. Dan ketika serbuan ke Libanon
terjadi, perubahan kian nampak.
Prof. Lipset mengutip satu hasil pol di saat awal invasi Israel
ke Libanon. Dari sana terlihat, bahwa 54% responden tak
menyetujui tindakan itu, dibanding 32% yang setuju dan 14% yang
tak pasti. Bahkan 46% responden menyetujui bila bantuan AS ke
Israel diputuskan sampai pasukan Israel ditarik dari Libanon,
sementara 43% yang menyatakan tak setuju.
Yang tak kurang penting ialah pendapat Lipset tentang
kemungkinan politik AS terhadap Israel setelah ini, terutama
dengan George Shultz menjadi menteri luar negeri. Bahayanya bagi
Israel bukanlah karena Shultz punya kaitan dengan perusahaan
Bechtel yang punya bisnis jutaan dollar dengan dunia Arab.
Israel akan mengalami soal besar dengan Shultz, kata Lipset
(yang juga tetangga dari menteri luar negeri itu), karena Shultz
adalah "orang Kristen yang gemar berbuat baik" dengan simpati
kepada pihak yang tertindas.
Dan agaknya tak sulit dikatakan, bahwa kini yang tertindas
bukanlah Israel di bawah Begin dan Sharon. Mungkin itulah
sebabnya begitu selesai dikukuhkan Senat untuk jabatannya yang
baru, pekan lalu Shultz menyebut niatnya memperbaiki hubungan
dengan dunia Arab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini