Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari masih gelap ketika ratusan pendukung pemerintah yang menamakan diri Aliansi Demokratik Melawan Kediktatoran (DAAD)—Nor Por Kor dalam bahasa Thai—berangkat dari markas mereka di Sanam Luang. Pada Selasa pagi buta pekan lalu itu, mereka menerobos garis polisi, lalu langsung berhadap-hadapan dengan pengawal Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) di dekat Jembatan Makkhawan Rangsan.
Wisma Negara yang letaknya tak jauh dari jembatan itu selama dua pekan belakangan diduduki sekitar 4.000 pendukung PAD. Kelompok DAAD ingin mengakhirinya.
Kedua pihak memakai helm, membawa tongkat, pentungan, dan pipa besi. Awalnya mereka hanya saling memaki, tak lama kemudian hujan batu, botol, dan kayu pun terjadi. Bentrokan meletus. Seorang lelaki tua dipukuli beramai-ramai. Seorang pria lain sudah tergeletak di aspal dalam keadaan pingsan, tapi pukulan dan tendangan masih mendarat di tubuhnya.
Terdengar bunyi tembakan enam kali, tapi tak jelas dari arah mana. Seorang pria terjerembap di aspal yang dingin. Dadanya bersimbah darah diterjang peluru dan bekas pukulan di kepalanya.
Jarak Sanam Luang ke Jembatan Makkhawan Rangsan hanya 4-5 kilometer. Polisi sejatinya bisa menghambat massa DAAD bergerak ke kerumunan pendukung PAD. Tapi tak ada polisi, tak ada tentara. Bentrokan itu berlangsung selama setengah jam, ketika sekitar 500 polisi yang kemudian dibantu tentara memisahkan dua kelompok itu. Satu orang tewas dan 40 cedera dalam tawuran sadis tersebut. Beberapa di antaranya cedera berat.
Malam itu Perdana Menteri Samak hanya tidur sekejap. Mendengar bentrokan ini, ia bergegas memanggil Komandan Angkatan Darat Jenderal Anupong dan menyampaikan maksudnya untuk menyatakan negara dalam keadaan darurat. Percakapan di antara keduanya berlangsung hingga pukul lima pagi. Seorang sumber mengatakan Anupong ogah-ogahan terlibat dalam rencana permainan Samak. Ia masih ngotot akan bekerja sama dengan komandan polisi nasional, Patcharawat Wongsuwan, untuk menangani situasi dengan cara damai.
Toh, Samak akhirnya mengumumkan keadaan darurat untuk Kota Bangkok sekitar pukul 7 pagi. Tujuannya untuk menghalau pemrotes yang menduduki Wisma Negara. ”Kami harus melakukan sesuatu melawan orang-orang yang melakukan sesuatu di Wisma Negara itu,” kata Samak.
Samak menunjuk Jenderal Anupong Paochinda sebagai pelaksana keadaan darurat dan Komandan Polisi Nasional Jenderal Patcharawat Wongsuwan sebagai wakilnya. Dekrit itu melarang lebih dari lima orang berkumpul dan dapat menggunakan paksaan untuk membubarkan protes PAD atau menahan mereka. Media massa yang menyerukan protes disensor.
Juru bicara Aliansi pendukung Samak secepatnya mengumumkan akan mengakhiri aksi. ”Kami akan mematuhi hukum dan pulang,” kata pemimpinnya.
Tapi lawannya tidak demikian. Massa PAD justru terus berdatangan ke Wisma Negara. Musik tidak berhenti, orasi di panggung terus berlanjut. Suriyasai Takasila, anggota PAD, mengatakan keadaan darurat berarti militer bertanggung jawab terhadap situasi. ”Ini bagus, karena kita tidak dapat percaya kepada polisi,” katanya kepada massa. Pengamat menduga situasi kacau inilah yang diinginkan PAD, yang pada gilirannya akan mengundang militer menggelar kudeta.
Apakah Jenderal Anupong tergiur menggelar kudeta? Untuk kesekian kali, sang Jenderal menyatakan tak akan menggelar kudeta. ”Kudeta militer akan menciptakan lebih banyak masalah. Pintu untuk kudeta sudah dikunci,” ujar Anupong.
Anupong justru menyatakan mekanisme parlemen dan upaya politik harus digunakan untuk menyelesaikan krisis. Ia percaya ketika pemerintah dan lembaga peradilan gagal mengakhiri konflik, badan legislatif adalah kesempatan terakhir. ”Parlemen harus bertanggung jawab mengakhiri masalah ini,” katanya. ”Jika masalah tidak dapat diselesaikan, negeri ini tidak dapat diselamatkan.”
Selain itu, Anupong menyatakan tak akan menggunakan kekerasan membubarkan massa PAD dari Wisma Negara. Padahal Perdana Menteri Samak memberi mandat kepadanya untuk segera menggusur PAD dengan cara apa pun dan menangkap sembilan pemimpinnya sesuai dengan perintah pengadilan.
Sejauh ini tak ada penggusuran, tak ada penangkapan. Bahkan Anupong pun tak memberlakukan jam malam. Sikap Anupong jelas, ia tak mau menari dengan gendang yang ditabuh Samak. Akibatnya, pernyataan keadaan darurat yang diteken Samak menjadi macan kertas. ”Negosiasi akan digunakan untuk mengakhiri masalah ini, tak sesederhana menggunakan hukum (keadaan darurat),” ujar Anupong.
Bagi pengamat, pernyataan Anupong ini merupakan pesan implisit bahwa Samak harus mundur atau membubarkan parlemen untuk membuka jalan perdamaian dikembalikan. Tak mengherankan sikap Anupong membuat PAD di atas angin. Mereka makin kencang menuntut Samak mundur untuk membuka jalan bagi parlemen guna membentuk pemerintah nasional dengan orang luar sebagai perdana menteri.
Di parlemen, dalam pertemuan bersama Senat dengan Dewan Perwakilan, Abhisit Vejjajiva, pemimpin Partai Demokrat, mengusulkan Samak membubarkan parlemen sebagai jalan keluar krisis politik. Tapi Samak ngotot bertahan. ”Saya tak pernah berpikir akan mundur,” katanya. ”Negeri ini butuh pemimpin dan dunia memelototi kita.”
Ia juga menolak seruan membubarkan parlemen, karena secara otomatis akan mengarah ke pemilihan umum baru. Saya akan bertahan untuk melindungi demokrasi dan melindungi kerajaan,” katanya.
Situasi politik buntu: Anupong menolak kudeta tapi ogah menggunakan kekuatan militer untuk menegakkan keadaan darurat, Samak menolak mundur, dan PAD menolak beringsut barang sejengkal dari Wisma Negara. Tapi, diam-diam, Komisi Pemilihan Umum setuju merekomendasikan pembubaran Partai Kekuatan Rakyat (PPP), partai yang dipimpin Samak, kepada kantor Kejaksaan Agung, Selasa pekan lalu. Rekomendasi ini merupakan konsekuensi keputusan Mahkamah Agung, yang menyatakan bekas Wakil Ketua PPP Yongyuth Tiyapairat terbukti melakukan praktek beli suara pada pemilu yang lalu.
Jika pengadilan akhirnya memutuskan PPP bersalah melakukan kecu-rangan dalam pemilu, partai ini akan senasib dengan pendahulunya, Partai Thai Rak Thai, yang dibubarkan dan pemimpinnya dilarang berpolitik selama lima tahun. Akibatnya, tanpa kudeta, kabinet Samak pun harus bubar.
Raihul Fadjri (The Nation, AP, Bangkok Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo