MEREKA dataNg lagi. Satu setengah tahuN setelah membajak
keretaapi di Beilen dan menduduki gedung Konsulat Ri di
Amsterdam. Senin pagi 23 Mei jaun 09.00, gerombolan pemuda
Maluku Selatan di Belanda melontarkan lagi aksi radikalnya di
dua tempat: membajak kereta-api antar kota Assen-Groningen dan
menduduki gedung sekolah dasar di Bovensmilde. Cuaca yang hangat
dengan bersinarnya matahari di musim panas di negeri kodok ini,
tidak berarti. Kampanye pemilihan umum tanggal 25 Mei, terhenti
sejenak. Dan penduduk Belanda yang jumlahnya 9,5 juta orang itu
terhenyak dan sadar, bahwa buah kolonialisme hasil tanaman nenek
moyang semakin menjadi pahit rasanya.
Ketika kereta-api dari Den Haag ke Groningen berada di antara
desa Vries (di Drente) dan Glimmen (di Groningen), sepasang
muda-mudi berkulit coklat tiba-tiba menarik rem bahaya. Jam
waktu itu menunjukkan pukul 09.10 pagi. Cepat mereka
mengeluarkan senjata api dari tas plastik dan barulah penumpang
sadar bahwa kereta-api dibajak. Beberapa pemuda bertopeng cepat
bertindak di wagon penumpang lainnya. 42 orang penumpang yang
bisa bergerak eepat langsung meloncat keluar. Juga kondektur dan
kontrolir. Tapi sekitar 45 - 50 orang penumpang sebagian besar
anak sekolah dan para pekerja yang menuju kantor tidak sempat
menyelamatkan diri.
Bovensmilde adalah kota kecil berpenduduk 2000 orang. 750 orang
di antaranya, orang-orang Maluku Selatam Perkampungan kulit
putih (Belanda) dan kulit coklat (Maluku), terpisah. Sebuah
sekolah dasar yang punya ruang kelas 6 buah, berada di antara
dua perkampungan itu.
Pagi itu, salah sebuah kelas sedang merayakan hari ulang tahun
salah seorang murid. Ketika sorak hip hip hoera meledak. ada
ledakan lain terdengar. Banyak yang menyangka itu suara lampu
blitz si tukang potret di pesta ulang tahun. Beberapa menit
kemudian, barulah mereka sadar. Ada sesuatu yang tak beres telah
berlangsung. Gedung sekolah telah diduduki pemuda Maluku Selatan
- dan mereka jadi sandera. Murid-murid yang mendapat pelajaran
olahraga di luar, selamat. Bisa menghindar.
Siang harinya, 15 murid berasal dari Maluku Selatan dilepas.
Tinggal 105 murid dan 5 orang guru. Menjelang malam, banyak
orangtua yang mengira anak-anak yang umurnya 6 - 11 tahun itu
akan dilepas. Harapan ini menjadi hampa. Di negeri di mana
menyiksa binatang saja bisa diadukan polisi, tindakan sandera di
sekolah dasar ini mendapat protes keras.
Keesokan harinya, jendela sekolah - yang biasanya dijadikan
tempat menempel gambar karya murid-murid ditutup dengan koran.
Menteri Kehakiman Belanda van Agt mencoba mengajak para teroris
untuk sembahyang bersama. Siapa tahu, Kitab Suci dapat
mencairkan kekerasan hati para teroris. Hasilnya nihil. Yang
keluar adalah tuntutan: pertama, bebaskan dari penjara. 21 orang
Maluku. Mereka adalah orang-orang yang disangka mengadakan
percobaan untuk menculik Ratu Yuliana dan 14 orang lainnya, yang
terlibat dalam peristiwa Beilen dan gedung Konsulat RI di
Amsterdam, Desember 1975.
Kedua, sediakan bis untuk mengangkut teroris dan para sandera ke
lapangan terbang setempat di Eelde, untuk kemudian terbang ke
Schiphol. Di lapangan terbang internasional itu harus tersedia
sebuah Bocing 747 untuk mereka dan ke-21 pemuda Maluku yang kini
meringkuk dalam penjara. Ketiga, stop bantuan Belanda kepada
Indonesia lewat IGGI - "tuntutan yang telah lama sekali kami
minta".
Ketika batas waktu tuntutan itu berakhir di hari ketiga, ancaman
berupa pembunuhan kepada para sandera ternyata tidak mereka
lakukan. Pemerintah Belanda tetap menolak berunding kalau
anak-anak belum mereka lepas. Sementara itu, sebuah bom api
telah meledak di Marem, di salah satu rumah orang Maluku
Selatan, 5 km sebelah selatan Groningen, sebagai tindakan balas
dendam orang Belanda. Teroris tidak meminta siapapun untuk
dijadikan perantara. Tidak juga Pendeta Metiari yang kali ini
mengatakan: "Itu tanggung jawab mereka sendiri". Pihak Belanda
mencoba mengajukan Theo Kuhuwael (guru, kemudian pegawai P&K dan
sudah jadi warga negara Belanda) tapi ditolak.
Hari kelima, Jum'at dinihari, semua murid mereka lepas.
Anak-anak itu sebagian besar menderita sakit perut dan mencret.
Ini merupakan sukses pertama pemerintah Belanda, yang - menuruti
nasehat para psikolog -- tidak bersedia berunding sebelum
pembebasan anak-anak itu. Para psikolog menempuh jalan ini
setelah para pembajak menolak pihak penengah -- yang dalam teror
terdahulu telah menyebabkan kekalahan mereka. Ada yang
mengatakan anak-anak itu sengaja dibikin sakit perut -- yang
tidak berbahaya -- melalui makanan yang dikirim kepada mereka,
supaya mereka sengaja dilepas. Tinggal para guru saja kini. Di
kereta-api, para sandera yang umurnya berkisar 17 - 57 tahun
tidak banyak diketahui dari luar. Kereta yang letaknya di tengah
ladang luas itu sulit didekati. Dengan jendela-jendela yang
tertutup rapat oleh kertas koran, bisa dibayangkan panas di
dalam di atas 30øC di siang hari. Malam hari cuaca pasti menjadi
lebih dingin di daerah bilangan Drente ini.
Suasana di perkampungan Maluku di Belanda jadi dipenuhi
keserbatakutan. Kalau-kalau ada pembalasan. Banyak orangtua yang
melarang anak mereka keluar rumah. Sementara protes berjalan
terus. Juga dari kalangan diplomat. Duta Besar RI untuk Belanda,
Sutopo Yuwono, berkata kepada Kompas: "Sangat sukar diterima,
kesengajaan menymdera anak-anak". Seperti ir. Manusalua yang di
bulan Januari 1976 pernah herkata: "Ini merugikan perjoangan
kami dan mencoret kening sendiri dengan arang".
Setiap tahunnya orang-orang Maluku Selatan di Belanda merayakan
apa yang mereka namakan "hari kemerdekaan", jatuh pada tanggal
25 April -- dan tahun ini mereka peringati untuk tahun yang
ke-27. Nostalgia hidup di perantauan, hidup antara realita dan
impian, telah membuahkan pergeseran pendapat antara ir.
Manusama, "Presiden RMS" yang oleh golongan muda dicap terlalu
lunak, dengan Pendeta S. Metiari yang lebih radikal dan populer
di kalangan muda. Konflik tentang arah "Republik" dan disiplin
berpolitik dalam kepemimpinan ganda ini kian meruncing.
Tapi Manusama -- yang dianggap sebab keterlambatan perjoangan
masyarakat Maluku di Belanda, dan yang tidak revolusioner -
biarpun tampak mengalami kegoyahan kursi kepresidenannya, toh
bisa memenangkan suara dalam kongres di "hari kemerdekaan"
ke-27. Sementara suara golongan muda semakin berapi. Misalnya
Otto Matulessy (anak Pendeta Matulessy) mengancam dengan
tindakan-tindakan yang melanggar hukum, karena belum tampak
sebuah republik secara nyata atas usaha pemimpin-pemimpin selama
27 tahun.
Setelah kejadian Beilen dan Amsterdam, bulan Januari 1976
dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari 10 orang, perpaduan
tokoh-tokoh Belanda dan Maluku. Belanda mengakui bahwa peristiwa
pembajakan Desember 1975 peristiwa politik. Tapi bukarl berarti
RMS diakui sebagai organisasi politik. Ini juga disadari
orang-orang Maluku Selatan: bahwa RMS secara politis belum
diakui Pemerintah Belanda. Kon1isi 10 orang juga dianggap tidak
menghasilkan apa-apa atau belum bisa mellghasilkan. Laporan dari
komisi ini seyogyanya akan keluar bulan depan, berbarengan
dengan telah terbentuknya kabinet baru Belanda.
HASIL komisi nol. Ditambah lagi adanya beberapa tindakan baru
dari Belanda. Dibubarkannya ICCAN (Badan Kontak Antar Gereja
Ambon Belanda) tanggal 1 Januari yang lalu, dianggap merugikan
masyarakat Maluku Selatan. Dan Menteri CRM van Doorn dianggap
terlalu mendengarkan pihak pegawainya sendiri. Ada kemudian
dibentuk inspraak-organ, badan yang menetapkan atau menasehatkan
apa-apa tentang masalah masyarakat Maluku, tapi ini dianggap
sebagai instansi kolonial.
"Ada yang menjadi sebab dilakukannya aksi-aksi teror ini", kata
Prof. Dr. H. Baudet, guru besar ekonomi dari Groningen. "Bahwa
pemerintah Belanda bukannya membantu pemuda-pemuda Maluku,
bahkan menambah ketegangan". Baudet kemudian mengambil contoh
pembajakan Desember 1975. Ini sebagai akibat pembicaraan van
Doorn dengan pihak Pemerintah Indonesia: bahwa orang Maluku
Selatan boleh memilih jadi warganegara Belanda (dan tinggal
baik-baik) atau kembali ke Indonesia jadi warganegara Indonesia.
Yang bisa kembali ke Indonesia ternyata cuma beberapa orang
saja, yaitu yang memenuhi syarat hukum di Indonesia (antara lain
bukan orang yang telah kehilangan kewarganegaraan). "Ini
membuktikan", kata Baudet, "Pemerintah Belanda tidak berhasil
menyelesaikan problematik pengakuan politik terhadap RMS".
Juga adanya diskriminasi bagi orang Maluku Selatan yang masuk
warganegara Belanda. Misalnya: mereka tidak mendapat hak pilih
dan hak milisi. Bentuk perbedaan lainnya: paspor mereka. Sewaktu
mereka tanpa kewarganegaraan (stateless), pemerintah Belanda
memberi mereka sebuah paspor berwarna merah. Artinya: tidak
mempunyai kewarganegaraan. Kini mereka mendapat paspor warna
sama dengan orang Belanda, tapi di bawah kolom "kebangsaan" ada
kalimat khusus untuk mereka ini: wordt als Nederlander
behandeld. Diperlakukan seperti orang Belanda. Berarti mereka
bukan orang Belanda. Untuk paspor macam ini sudah ada tiga
negara yang menolak memberikan visa: Italia, Jerman Barat dan
Indonesia.
Ketidakpuasan sudah selangit, dan tetap berkecamuk. Terutama
pada mereka yang berjiwa radikal, biarpun golongan ini kecil
saja. Dalam hal begini mudah dimengerti kalau ada yang lantas
mengangkat senjata simpanan (yang lolos dari razia polisi
Belanda yang makin kerap belakangan ini). Lantas, dari pihak
mana datangnya inisiatif dan kepala-kepala panas yang membajak
kereta api Assen-Groningen dan SD Bovensmilde?
Manusama - seperti biasanya -- mengutuk tindakan kekerasan ini.
Dan sebaliknya menuduh Metiari mendalangi pembajakan ini bersama
pendukung pendukungnya di 'Pemuda Masyarakat', seperti dalam
kasus Beilen dan Amsterdam. Namun Metiari dan Eti Aponno, ketua
Pemuda Masyarakat yang sesungguhnya sudah harus pensiun karena
umurnya sudah melewati 30 tahun menyangkal. Elias Rinsampessy,
sosiolog muda dari Nijmegen yang menjadi salah satu otak Gerakan
Pattimura, juga mencela tindakan itu. Selain Pemuda Masyarakat
yang dalam bahasa Belanda lebih dikenal sebagai Vrije
Zuidmolukse Jongeren (Pemuda Maluku Selatan yang Merdeka),
organisasi Christelijke Molukse Jongeren (Pemuda Maluku Kristen)
juga menyangkal sangkut-paut mereka dengan aksi teror akhir Mei
itu.
Yang belum kedengaran pro atau kontranya terhadap aksi tersebut
adalah organisasi pemuda radikal yang menyebut dirinya Front
Pembebasan Maluku Selatan Zuidmolukse Bevrijdingsfront). Namun
menurut sumber koran Katolik de Volkskrant, 24 Mei lalu, pelaku
pembajakan di kereta api dan SD itu mungkin termasuk anak-anak
muda yang telah memisahkan diri dari Pemuda Masyarakat karena
tidak puas dengan kepemimpinan Aponno muda yang segan melakukan
tindakan kekerasan.
Memang, Pemuda Masyarakat yang dulunya mempakan "wadah
pemersatu" generasi muda yang pro-RMS, sesudah pembajakan kereta
api dekat Beilen dan Konsulat RI di Amsterdam mulai pecah jadi
beberapa bagian. Kepemimpinan Eti Aponno terancam oleh munculnya
menantu Metiari, Passareron. Apa tujuan Passareron dan Metiari,
sampai sekarang belum jelas. Tapi mungkin saja merekalah sponsor
utama berdirinya Front Pembebasan Maluku Selatan yang namanya
sungguh mirip dengan Gerakan Pembebasan Maluku Selatan yang
didirikan Metiari untuk menyenangkan hati Hanoi.
Sementara itu, edisi luar negeri NRC Handelsblad - sebagaimana
dikutip San Pers, September 1976 - memberitakan bahwa sebagian
anggota Pemuda Masyarakat yang radikal telah mengadakan
pendekatan dengan 'Gerakan Pattimura'. Dalam sebuah pertemuan
terbuka di Bovensmilde guna "menyambut" HUT Proklamasi RI, sayap
radikal Pemuda Masyarakat dan Gerakan Pattimura sepakat untuk
memindahkan gerakan RMS dari Nederland ke Indonesia",
bekerjasama dengan gerakan Fretilin di Timor Timur dan 'Republik
Papua Barat' dari "Brigjen" Seth Jafet Rumkoren di perbatasan
Irian Jaya-PNG.
Makanya makin sulit ditelusuri siapa-siapa sebenarnya pendukung
- dan dalang - aksi pembajakan kereta api yang kedua oleh RMS di
Belanda itu. Namun dari pihak lain ada dugaan: itu sekedar
tindakan pembalasan terhadap pengadilan pelaku-pelaku pembajakan
di Beilen tempo hari. Sebab menurut sumber TEMPO, beberapa
pembajak di kereta api dekat Assen itu adalah abang dari
beberapa pembajak kereta api dekat Beilen. Tapi celakanya, kalau
setiap pengadilan terhadap teroris RMS melahirkan aksi terorisme
baru untuk membebaskan mereka yang dipenjarakan, kapan habisnya
gangguan itu?
Sesungguhnya, pemuda-pemuda RMS yang berdarah panas itu bukanlah
teroris profesionil. Buktinya ketika membajak Konsulat RI di
Amsterdam akhir 1975, ada yang menangis ketika seorang sandera -
Saka Datuk - jatuh sakit dan terpaksa digotong ke rumah sakit.
Juga anak anak sekolah yang dibebaskan di SD Bovensmilde itu,
dikabarkan melambai-lambaikan tangannya pada "abang-abang
pembajak" yang masih menahan guru-guru mereka di bangunan
sekolah itu. Penembakan masinis dan dua penumpang kereta api
dekat Beilen itu juga lebih dapat dilihat sebagai tembakan
panik. Dan bukan tembakan dengan darah dingin karena tuntutan
para teroris cengeng itu tidak dipenuhi Pemerintah Belanda (dan
Indonesia).
Anak-anak muda Maluku Selatan-yang hidup dalam iklim kebebasan
mimbar yang optimal di Belanda dan dibombardir tiap hari dengan
laporan terorisme Palestina, Irlandi dan perjuangan pembebasan
Afrika Hitam - toh belum memiliki fanatisme, disiplin dan
kerelaan mengorbankan diri seperti pahlawan-pahlawan dinding
kamar tidur mereka itu. Juga kalau dibanding
gerilyawan-gerilyawan komunis di semenanjung Indo Cina,
sanjungan mereka yang baru.
Berbeda dengan IRA, OPM atau Fretilin, anak-anak muda itu
bergerak di negeri orang lain dengan 36 ribu masyarakat Maluku
sebagai bulan-bulanan balas dendam rakyat Belanda. Faktor-faktor
sosial-politis itu jelas memperlunak agresi pemuda-pemuda Ambon
yang juga doyan nyanyi, pesta, gengsot dan foya-foya. Namun di
samping faktor-faktor pelunak itu, kehadiran Nyonya Soumokil
--janda "Presiden RMS" kedua - di Assen, menyebabkan api
pemberontakan tetap menyala di perkampungan-perkampungan imigran
dari Ambon, Haruku, Saparua, Nusa Laut dan Seram itu.
Sang janda ini memegang surat wasiat Dr Soumokil -- yang
ditembak mati di Pulau Onrust di Kepulauan Seribu bulan April
1966, ketika banyak tahanan politik zaman Soekarno justru
dibebaskan termasuk bekas-bekas pemberontak PRRI dan Permesta.
Menurut mingguan Meuwe Revu, 29 April lalu, dalam pertemuannya
yang terakhir dengan isterinya, 11 April 1966, ahli hukum yang
dipakai Soekarno untuk menterjemahkan kitab-kitab hukum Belanda
itu berpesan. supaya gerakan RMS -- yang sudah padam di Maluku
-- dilanjutkan lagi dari Belanda. Sampai saatnya matang bagi
para eks-KNIL dan turunannya untuk pulang ke kampung halaman di
bawah pimpinan bekas Kapten Baret Merah KNIL, Raymond
Westerling, pendukung pemberontakan "Negeri Pasundan" dan Andi
Azis di Sulawesi Selatan.
Radikalisasi gerakan pemuda-pemuda RMS itu juga merupakan reaksi
terhadap politik Pemerintah Belanda yang Inencoba melarutkan
minoritas kulit coklat itu dalam larutan kulit putih. Antara
lain dengan membubarkan perkampungan-perkampungan Maluku yang
ekslusif dan memaksa mereka tingal terpecah-pecah di
tengah-tengah daerah pemukiman orang Belanda -- sementara paspor
mereka tidak persis sama. Di samping itu masih ada faktor
politik anti- RMS yang dijalankan dengan gigih oleh bekas Dubes
Alamsyah dengan APl-Malukunya. Penahanan dan pengadilan
'sisa-sisa RMS' di Ambon --yang bocor ke Belanda melalui
turis-turis Maluku dari Belanda dan surat-menyurat antara sanak
keluarga -- ikut membakar keyakinan anak-anak muda itu, bahwa
"RMS" masih hidup di Maluku. Dan tak kalah pentingnya:
ayunan-ayunan politik domestik Belanda, di mana isyu "RMS" silih
berganti jadi bola kaki golongan kanan dan kiri di sana.
Mungkin menyadari betapa opini publik di Negeri Belanda -- juga
sebelum penyanderaan anak-anak SD di Bovensmilde - makin tidak
menguntungkan aksi anak-anak muda "RMS" di sana para pimpinan
tua "RMS" mulai sibuk mencari 'lapangan bermain' yang baru.
Hendrik Owel mencoba menyentil Rusia. Manusama sendiri berusaha
membonceng OPM di Senegal. Dan Metiari dikabarkan berunding
dengan Vietnam -- yang juga mendukung Fretilin dan
berkepentingan dengan pembebasan tahanan-tahanan komunis di
Pulau Buru yang juga diklaim "RMS" sebagai wilayah mereka.
Sayang sekali, respons negeri-negeri itu tidak sehangat seperti
yang pernah diterima "OPM" atau Fretilin. Sehingga lahirlah
tindakan nekad membajak anak-anak kecil, yang serta-merta
melahirkan cap "teroris pengecut" dari seorang diplomat Irak.
Juga Yaman Selatan menganggap ulah pemuda-pemuda "RMS" itu
"perbuatan kriminil biasa".
Sedang Somalia, yang di Indonesia pernah diisyukan sebagai
tempat latihan teroris-teroris "RMS", "OPM" dan Fretilin, pada
koran berhaluan kanan De Telegaaf 26 Mei menyatakan bahwa
"teroris manapun tidak welcome di Somalia". Senada dengan
pernyataan diplomat Yaman Selatan, Haji Said El-Alsi yang
menyatakan negerinya "tidak sudi jadi keranjang sampah Eropa
Barat".
Nah, kalau negeri-negeri yang terkenal cukup getol mendukung
pejuang-pejuang kemerdekaan yang terpaksa menggunakan cara-cara
terorisme internasional saja tampak kurang semangat menampung
mereka, lantas ke mana pesawat Jumbo Jet yang mereka minta mau
diterbangkan? Benin (d/h Dahomey), itu negeri mini pendukung
"RMS", "OPM" dan Fretilin di jantung Afrika, terlalu jauh dan
talc dapat didarati Boeing 747. Libia, Aljazair dan Vietnam, tak
memberi jawaban.
Kalau begitu, memang tidak ada jalan lain bagi teroris-teroris
muda ini kecuali mengikuti jejak adik dan rekanrekan mereka
terdahulu: lewat sidang kriminil biasa, akhirnya mendekam
beberapa tahun di penjara Belanda. Tapi sesudah itu, apa?
Sebab Pemerintah Belanda toh tidak mengambil tindakan lebih
tegas terhadap anak-anak muda Maluku Selatan yang jumlahnya
cukup kecil untuk diawasi. Ketika TEMPO mengajukan pertanyaan
ini kepada seorang pegawai tinggi salah satu Kementerian
Belanda, jawabnya: "Negeri ini negeri hukum. Kalau kami awasi
mereka dengan ketat, yang tak bersalah bisa ikut terpenjara.
Untuk tetap menjaga agar jangan kami menginjak hak asasi manusia
atas nama keamanan, kami pilih jalan panjang dan kesabaran.
Kalau dihitung-hitung, kerugian yang ditimbulkan dengan menempuh
jalan ini toh akhirnya lebih sedikit dari kejahatan main
tindas".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini