Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Apa Yang Sudah Dilakukan?

Pemerintah Indonesia memberi kesempatan memperpanjang paspor & mendapat kewarganegaraan bagi orang Maluku Selatan di Belanda. Pemerintah Belanda mengintegrasikan mereka dan memberi persamaan hak.

4 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP kali ada aksi "RMS", pertanyaan terlantun: apa yang kurang dilakukan buat memperbaiki keadaan mereka? Di bawah ini laporan pembantu TEMPO Jusfiq Hadjar tentang tindakan pemerintah Belanda dan Indonesia ke arah itu: Bagi pemerintah Indonesia persoalannya jelas: persoalan orang Maluku Selatan di Negeri Belanda adalah persoalan dalam negeri Belanda. Hanya pemerintah Belanda yang paling berkewajiban mengatasinya. Namun sebab secara historis dan kulturil nama Indonesia terkait, pemerintah Indonesia bersedia mengulurkan tangan. Lagi pula, setiap kali ada anak-anak muda Maluku Selatan yang berbuat ulah, kemesraan antara kedua pemerintahan bisa saja terusik. Demikianlah, antara lain, KBRI membuka jalan lebar-lebar bagi orang yang berasal dari Maluku Selatan di sana untuk menengok kampung halaman mereka, agar dengan mata kepala sendiri, mereka bisa melihat kenyataan yang ada di sana. Di samping itu Kementerian Kehakiman kita telah memperlapang jalan bagi mereka yang selama terputusnya hubungan diplomatik dulu dengan Den Haag tidak sempat memperpanjang paspor -- sehingga terhapus namanya dari daftar orang Indonesia yang berada di Negeri Belanda. Mereka dapat memperoleh perpanjangan paspor. Di samping itu bagi mereka yang karena alasan lain dianggap sebagai orang yang tidak berwarganegara (stateless), dengan undang-undang no.3 tahun 1976, diberi kesempatan memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya. Menurut statistik KBRI, hingga sekarang sudah 2.000 yang mendapat perpanjangan paspor dan 5.000 yang mendapat kewarga-negaraan RI kembali. Kalau kepada jumlah ini ditambahkan mereka yang sejak dulu tetap menjadi warga-negara RI, maka sekarang ini ada 12.000 yang terdaftar sebagai WNI di KBRI. Dan kalau dari sisanya ada 30-40% yang sudah menjadi warga negara Belanda, maka hanya tinggal beberapa ribulah yang masih berstatus stateless. Pemerintah Belanda pun tidak ketinggalan. Usaha mengintegrasikan masyarakat Maluku Selatan di sana diperbanyak. Dalam perumahan misalnya, bagi mereka yang ingin keluar dari tangsi dan tinggal di rumah seperti orang Belanda lainnya, kementerian CRM (Kulturil, Rekreasi dan Sosial) memberi pertolongan. Bagi mereka yang ingin tinggal dekat dengan sanak keluarga dan sahabat lain dibangunkan perumahan khusus. Hingga saat ini yang masih berkeras hati untuk tinggal di tangsi hanya kira-kira 1.000 orang masing-masing di Lunetten (600-650 jiwa) dan Vaassen (300-350 jiwa). Di tempat yang terakhir ini bermukim 'jenderal Tamaela' yang eksentrik itu. Di samping itu. bagi mereka yang masih ingin berstatus stateless. pemerintah Belanda memberikan kesempatan untuk 'dipersamakan haknya dengan orang Belanda'. Mereka diberi paspor untuk bisa bepergian dengan bebas. Mereka juga dapat jaminan sosial seperti orang Belanda yang lain. Ini berarti bahwa kalau tidak bekerja mereka dapat tunjangan yang lumayan. Bedanya dengan orang Belanda hanyalah mereka tidak diberi hak pilih, tapi juga tidak usah ikut wajib militer. Persoalan tentunya tidak habis dengan kebijaksanaan itu saja. Pemerintah Belanda, setelah kejadian di Wijster dan Amsterdam tahun 1975 membentuk dua wadah. Yang pertama bernama Inspraakorgaan (Badan untuk bermufakat) yang terdiri dari wakil-wakil organisasi orang Maluku Selatan yang representatif dan yang sekarang ini berjumlah 9 serta beberapa pegawai tinggi kementerian CRM. Yang kedua, adalah Overleg Orgaan (Badan Permusyawarahan) yang dibentuk oleh beberapa menteri yang bersangkutan, antara lain Perdana Menteri sendiri, dan wakil-wakil RMS. Wadah yang pertama untuk memecahkan persoalan teknis administrasi yang timbul, seperti soal perumahan. soal pembayaran pensiun dll. Wadah kedua lebih bersifat politis, berusaha memecahkan persoalan yang timbul antara pemerintah Belanda dan Masyarakat Maluku Selatan. Pendeknya cukup ada usaha kedua pemerintah untuk mengatasi persoalan yang pelik ini. Maklumlah, di samping segi kemanusiaannya, kedua pemerintahan berkepentingan untuk memperlancar hubungan ekonomi mereka. Lalu kenapa masih ada saja peristiwa pembajakan seperti yang terjadi di hari Senin yang cerah tanggal 22 Mei yang lalu? Apakah ini hanyalah 'Rebel with out a cause seperti yang dituturkan oleh pejabat KBRI di Den Haag. Lukito Santoso kepada TEMPO? Entahlah. Yang terang, yang berbuat ulah - sekurangnya secara langsung - bukanlah anak kolong RMS: tapi keturunannya. RMS sudah keriputan, dan hidup dari pensiun menunggu ajal, seperti ir. Manusama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus