SETIAP kali ada aksi "RMS", pertanyaan terlantun: apa yang
kurang dilakukan buat memperbaiki keadaan mereka? Di bawah ini
laporan pembantu TEMPO Jusfiq Hadjar tentang tindakan pemerintah
Belanda dan Indonesia ke arah itu:
Bagi pemerintah Indonesia persoalannya jelas: persoalan orang
Maluku Selatan di Negeri Belanda adalah persoalan dalam negeri
Belanda. Hanya pemerintah Belanda yang paling berkewajiban
mengatasinya. Namun sebab secara historis dan kulturil nama
Indonesia terkait, pemerintah Indonesia bersedia mengulurkan
tangan. Lagi pula, setiap kali ada anak-anak muda Maluku Selatan
yang berbuat ulah, kemesraan antara kedua pemerintahan bisa saja
terusik.
Demikianlah, antara lain, KBRI membuka jalan lebar-lebar bagi
orang yang berasal dari Maluku Selatan di sana untuk menengok
kampung halaman mereka, agar dengan mata kepala sendiri, mereka
bisa melihat kenyataan yang ada di sana.
Di samping itu Kementerian Kehakiman kita telah memperlapang
jalan bagi mereka yang selama terputusnya hubungan diplomatik
dulu dengan Den Haag tidak sempat memperpanjang paspor --
sehingga terhapus namanya dari daftar orang Indonesia yang
berada di Negeri Belanda. Mereka dapat memperoleh perpanjangan
paspor. Di samping itu bagi mereka yang karena alasan lain
dianggap sebagai orang yang tidak berwarganegara (stateless),
dengan undang-undang no.3 tahun 1976, diberi kesempatan
memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya.
Menurut statistik KBRI, hingga sekarang sudah 2.000 yang
mendapat perpanjangan paspor dan 5.000 yang mendapat
kewarga-negaraan RI kembali. Kalau kepada jumlah ini ditambahkan
mereka yang sejak dulu tetap menjadi warga-negara RI, maka
sekarang ini ada 12.000 yang terdaftar sebagai WNI di KBRI. Dan
kalau dari sisanya ada 30-40% yang sudah menjadi warga negara
Belanda, maka hanya tinggal beberapa ribulah yang masih
berstatus stateless.
Pemerintah Belanda pun tidak ketinggalan. Usaha mengintegrasikan
masyarakat Maluku Selatan di sana diperbanyak. Dalam perumahan
misalnya, bagi mereka yang ingin keluar dari tangsi dan tinggal
di rumah seperti orang Belanda lainnya, kementerian CRM
(Kulturil, Rekreasi dan Sosial) memberi pertolongan. Bagi mereka
yang ingin tinggal dekat dengan sanak keluarga dan sahabat lain
dibangunkan perumahan khusus. Hingga saat ini yang masih
berkeras hati untuk tinggal di tangsi hanya kira-kira 1.000
orang masing-masing di Lunetten (600-650 jiwa) dan Vaassen
(300-350 jiwa). Di tempat yang terakhir ini bermukim 'jenderal
Tamaela' yang eksentrik itu.
Di samping itu. bagi mereka yang masih ingin berstatus
stateless. pemerintah Belanda memberikan kesempatan untuk
'dipersamakan haknya dengan orang Belanda'. Mereka diberi paspor
untuk bisa bepergian dengan bebas. Mereka juga dapat jaminan
sosial seperti orang Belanda yang lain. Ini berarti bahwa kalau
tidak bekerja mereka dapat tunjangan yang lumayan. Bedanya
dengan orang Belanda hanyalah mereka tidak diberi hak pilih,
tapi juga tidak usah ikut wajib militer.
Persoalan tentunya tidak habis dengan kebijaksanaan itu saja.
Pemerintah Belanda, setelah kejadian di Wijster dan Amsterdam
tahun 1975 membentuk dua wadah. Yang pertama bernama
Inspraakorgaan (Badan untuk bermufakat) yang terdiri dari
wakil-wakil organisasi orang Maluku Selatan yang representatif
dan yang sekarang ini berjumlah 9 serta beberapa pegawai tinggi
kementerian CRM. Yang kedua, adalah Overleg Orgaan (Badan
Permusyawarahan) yang dibentuk oleh beberapa menteri yang
bersangkutan, antara lain Perdana Menteri sendiri, dan
wakil-wakil RMS.
Wadah yang pertama untuk memecahkan persoalan teknis
administrasi yang timbul, seperti soal perumahan. soal
pembayaran pensiun dll. Wadah kedua lebih bersifat politis,
berusaha memecahkan persoalan yang timbul antara pemerintah
Belanda dan Masyarakat Maluku Selatan.
Pendeknya cukup ada usaha kedua pemerintah untuk mengatasi
persoalan yang pelik ini. Maklumlah, di samping segi
kemanusiaannya, kedua pemerintahan berkepentingan untuk
memperlancar hubungan ekonomi mereka.
Lalu kenapa masih ada saja peristiwa pembajakan seperti yang
terjadi di hari Senin yang cerah tanggal 22 Mei yang lalu?
Apakah ini hanyalah 'Rebel with out a cause seperti yang
dituturkan oleh pejabat KBRI di Den Haag. Lukito Santoso kepada
TEMPO? Entahlah. Yang terang, yang berbuat ulah - sekurangnya
secara langsung - bukanlah anak kolong RMS: tapi keturunannya.
RMS sudah keriputan, dan hidup dari pensiun menunggu ajal,
seperti ir. Manusama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini