ADA konperensi naslonal yang menjengkelkan Presiden Ferdinand
Marcos. Dua profesor wanita dari Universitas Filipina (Victoria
Bautista dan Eleanor Nicolas) dalam makalah mereka menyatakan
negara itu setiap tahun kehilangan sekitar 10% dari GNP
Filipina. Hilang begitu saja karena tindakan korupsi. Kalau
diuangkan, ada sekitar 10 milyar pesos atau sekitar Rp 845
milyar. Semua itu masuk kantung para birokrat sebagai "uang
pelumas", "uang rokok" dan juga untuk wanita simpanan. Makalah
itu yang dimuat di harian Times Journal pekan lalu juga
memperinci hal yang melemahkan moral pegawai negeri.
Seminggu sebelum seminar tersebut, Ketua Kelompok Bantuan Hukum
Jose Diokno berkata di Hongkong, "Situasi politik Filipina
semakin buruk. Apalagi di tahun-tahun mendatang." Diokno sedang
mengajak Amnesty International cabang Hongkong berkampanye
mencela kesewenangan Marcos. Sementara itu hubungan Marcos
dengan pihak gereja belum bisa pulih. Salah seorang menterinya
bahkan memanggil Uskup Besar Jaime Cardinal Sin dengan sebutan
"si Filipino Khomeini".
Memperingati Hari Hak Asasi, 10 Desember, sekitar 2.000 orang --
kebanyakan berbaju hitam atau mengenakan pita hitam di lengan
baju tanda duka-berbaris di salah satu jalan raya dekat
Camp Crame, Manila pinggiran. Poster mereka a.l. berbunyi:
"Bebaskan Tahanan Kaum Gereja dan Pimpinan Buruh," "Kembalikan
Kebebasan Pers!" Demonstrasi itu dibubarkan oleh polisi
huru-hara, tetapi gerakan protes merembet ke Kota Bacolod, di
hari yang sama.
Di Cebu,--kota kedua terbesar setelah Manila -- terjadi
demonstrasi hari Minggu dalam jumlah yang lebih besar. Sekitar
5.000 pendeta, biarawati dan kaum Katolik lainnya serta para
wartawan, turun ke jalan raya di Cebu, dalam gelombang
antipemerintah.
Dari semua berita Filipina yang menentang Marcos, ada satu yang
paling menggegerkan. Yaitu ditangkapnya sejumlah orang pers,
dengan tuduhan subvasif dan berniat membuat makar.
:ditor Jose Burgos, 41 tahun, dari We Forum, yang terbit 3 kali
seminggu ditangkap. Juga 9 wartawan dan kolumnis kini memenuhi
Benteng Bonifacio. We Forum ditutup demikian pula harian
berbahasa Filipino, Malaya dilarang terbit (lihat Media).
Joaquin J. Roces, penerbit Manila Times--koran terbesar di
Filipina yang sudah dibreidel tahun 1972 -- ditangkap juga.
Roces yang selama ini dikenakan tahanan rumah konon
dipersalahkan karena telah membolehkan We Forum terbit lewat
percetakannya.
Seorang bekas senator yang juga mendapat tahanan rumah, Eva
Estrada Kalaw, juga ditangkap. Sungguh penangkapan bermusim lagi
di Filipina. Sementara itu masih ada 4 pastor Jesuit yang tengah
diuber-uber karena dianggap menjadi otak perlawanan.
"Ini membuktikan bahwa pencabutan UU Darurat cuma berlaku di
atas kertas saja," ujar Salvador Laurel dari Unido (Organisasi
Demokratik Persatuan Nasional). Bekas Senator Kalaw juga anggota
eksekutif Unido, organi sasi yang bersikap lunak dan memilih
jalan damai untuk mengganyang Marcos.
"Penguasa di satu tangan masih saja bercokol," tutur Laurel,
meskipun Ferdinand Marcos sudah mencabut UU Darurat menjelang
Pemilu Juni 1981. Pemilu itu oleh musuh Marcos disebut "lelucon
terbesar 1981". Marcos mendapat suara mayoritas 88%.
Dalam usianya yang kini sudah 65 tahun,-kursi kepresidenan sudah
dijalaninya selama 16 tahun. Dalam sejarah mutakhir Filipina,
kekuasaan Marcos yang mutlak dan lama itu memang belum ada yang
menandingi. Tetapi di saat dia terpilih lagi untuk masa
kepresidenan 6 tahun, stabilitas di republik itu semakin
guncang.
Artinya lawan Marcos semakin banyak. NPA (Tentara Pembaharuan
Rakyat), yang terkenal bergaris Marxis, tetap melancarkan
gerilya kekerasan, bahkan bergabung dengan kelompok Teologi
Pembebasan dan MNLF (Front Pembebasan Nasional Moro). Kelompok
Katolik kini kian hari kian militan, hampir menyamai gerakan
Sandinista di Nikaragua. Mereka memang berbeda ideologi tetapi
menciptakan kerangka operasional secara nasional, dan berbagi
wilayah gerilya pula. Ancaman untuk Marcos meluas, mulai dari
Luzon sampai Mindanao.
Musuh Marcos yang lain ialah kaum politisi, kebanyakan bekas
senator. Sebagian besar mereka orang kaya--misalnya Gerardo
Roxas, pendiri Unido --yang tentu saja tidak bisa masuk hutan.
Karena itu banyak yang "mengungsi" ke AS dan mengendalikan
urusan bisnis dari sana. Salah seorang dari mereka bahkan
pemilik bir San Miguel yang terkenal itu. Karena kekuatan
ekonomi mereka, sulit bagi Marcos mengatasinya, meskipun
sebagian pengusaha akrab denganlstana Malacanang. Lumayan umlah
pengusaha nasional yang mendapat fasilitas asalkan mendukung
Marcos.
Tetapi Marcos menjadi galak sementara kocar-kacir masalah
ekonomi. Penghasilan ekspor (kayu, gula, minyak kelapa) Filipina
turun sekitar 4%. Apa mau dikata, harga komoditi itu memang
sedang jatuh di pasaran internasional. Sebaliknya, impor tetap
sama besar dengan tahun 1981 (US$ 6,99 milyar). Walhasil,
defisit mungkin tahun ini mencapai US$ 1,5 milyar--atau hampir
tiga kali tahun sebelumnya.
"Apa boleh buat," kata Cesar Virata Perdana Menteri merangkap
Menteri Keuangan. "Selama dua tahun ini kami tidak bisa lagi
mempertahankannya." Kambing hitam ialah resesi dunia. Virata
menjelaskan kesukaran pemerintahnya di depan kalangan bisnis
dalam suatu jamuan makan siang minggu lalu.
Beberapa jam kemudian, Presiden Marcos memerintahkan penghematan
di hampir semua bidang. Tidak ada lagi penerimaan pegawai negeri
baru, kecuali tenaga ahli. Program pemerintah yang besar
dipotong sampai 28%. Proyek infrastruktur dikurangi 25%. Belanja
negara, turun 18%. "Dan setop impor barang mewah!" seru Marcos.
Beberapa proyek besar bersama asing, kabarnya, ditunda dulu.
Bonus untuk hari Natal kali ini cuma sejumlah gaji seminggu.
Pemerintah Filipina tengah berusaha mendapat kredit US$ 340 juta
dari lMF dan Bank Dunia. ?'Kredit mudah-mudahan menstabilkan
ekonomi kami kembali," kata Virata. Belum jelas kapan hredit ini
akan didapat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini