DESEMBER ini, Ariel Sharon sudah berangkat ke New York, Raja
Hussein bermuhibah ke Moskow-Beijing-Tokyo, Menlu George Shultz
berbincang-bincang dengan Presiden Husni Mubarak di Roma,
sementara Philip Habib mulai sibuk lagi dengan tour Timur
Tengahnya. Semua kegiatan itu dimaksudkan untuk menciptakan
stabilitas di Timur Tengah, namun belum ada kemajuan yang
berarti.
Yang jelas terlihat ialah Libanon panas lagi. Pekan silam
bentrokan bersenjata meletus di Tripoli, kota kedua terbesar di
utara Beirut. Sekali ini pasukan sukarela Muslim Alawite yang
dikenal juga sebagai Kestaria Arab telah adu kekuatan dengan
kelompok Sunni dari organisasi Perlawanan Populer. Dikabarkan 28
orang tewas, di antaranya 5 tentara Suriah, dan 94 lagi
luka-luka. Pertempuran berlanjut 4 hari dengan roket dan mortir.
Selama itu pula « juta penduduk Tripoli mendekam ketakutan dan
menutup pintu rumah mereka.
Kekerasan berdarah semacam itu sejak pertengahan Oktober sudah
lebih dulu berkecamuk di pebukitan Shouf di tenggara Beirut. Di
kawasan yang diduduki tentara Israel ini orang Islam Druse
terlibat tembak-menembak dengan pasukan sukarela Kristen.
Permusuhan itu mencapai puncaknya awal Desember, ketika ada
usaha membunuh Walid Jumblatt. Pemimpin Druse yang Muslim kiri
itu cedera berat tatkala sebuah bom meledak dalam sebuah garasi
bawah tanah. Ia selamat, 4 orang tewas, 15 luka-luka.
Khawatir melihat aksi kekerasan yang semakin meningkat, Presiden
Libanon Amin Gernayel telah menghimbau pemerintah AS, Prancis
dan Italia untuk melipatduakan tentara perdamaian mereka yang
kini baru berjumlah 3.800. Dengan kekuatan lebih besar, Gemayel
agaknya berhatap b.entrokan sesama Libanon bisa cepat dlatasi,
supaya penarikan mundur pasukan Suriah (30.000), PLO 8.000) dan
Israel (40.000 bisa pula segera terlaksana. Dan baru sesudah
itu, Libanon dapat dibangun kembali.
Tapi hal penarikan mundur itu pula yang kini merisaukan banyak
pihak, AS teruuma. Presiden Gemayel cenderung menghendaki aar
tentara Israel yang sudah berhasil mengusir PLO dari Beirut
Barat supaya lebih dulu angkat kaki dari Libanon. Tapi Israel
malah bermaksud tinggal 6 bulan sampai 1 tahun lagi di Libanon.
Begin mengulur waktu selama mungkin, sementara pemukiman Yahudi
di Tepi Barat semakin dipacu.
Memang kegiatan pemukiman itu bertentangan dengan rencana
perdamaian Reagan, namun Israel tidak peduli. Sampai tahun 1985
Organisasi ionis Sedunia akan memboyong 100.000 cucu Nabi Daud
e negeri orang Arab Palestina yang mereka duduki itu. Daerah
pemu kiman Israel diperbanyak sampai 103 buah, lengkap dengan
jalan raya yang mulus dan perumahan yang lumayan. Kepada warga
Israel, pemu kiman di Tepi Barat itu ditawarkan secara
menggiurkan. Daerah pegunungan yang indah itu hanya 40 menit
perjalanan dari Tel Aviv. Aha! Andaikata tawaran itu sukses,
akan ada 100.000 Israel di tengah 800.000 Arab Palestina di Tepi
Barat. Fakta ini diperhitungkan dapat memperkuat kartu Israel
nanti dalam perundingan yang menyangkut hak otonomi bagi bangsa
Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Untuk hak otonomi itu pula Raja Hussein mengadakan muhibah ke
Moskow, Beijing, Tokyo. Dari pemimpin di sana Hussein mendapat
dukungan untuk rencana Perdamaian Liga Arab sementara mereka
tidak pula menutup pengakuan atas eksistensi Israel.
Yasser Arafat yang semula nampak rukun dengan Hussein --
sehubungan pembentukan negara Palestina merdeka belakangan ini
tegas menolak usul perdamaian Reagan. Kelompok radikal PLO
mungkin telah memojokkan Arafat, padahal pemimpin ini sebelumnya
tidak sekaku itu. Raja Maroko Hassan 11 sementara itu
bersiap-siap ke London mencari dukungan untuk rencana perdamaian
Fez seraya menunggu bagaimana sikap AS terhadap perluasan
pemukiman Israel di Tepi Barat. Dalam hal ini Washington
terbukti bisa luwes. Sembari tetap pro Israel di PBB,
pemerinuhan Reagan baru-baru ini menolak rencana tambahan
bantuan sebesar US$ 475 juta untuk Israel, walaupun Komite dalam
Senat menyetujuinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini