ALEXANDER Meigs Haig Jr ingin menciptakan 'konsensus strategis'
di Timur Tengah dalam menghadapi ancaman Soviet. Menlu AS itu
pekan lalu gagal. Ia ternyata tidak berhasil meyakinkan Yordania
dan Arab Saudi bahwa Uni Soviet merupakan ancaman utama bagi
keamanan di kawasan itu. Buat Yordania, sikap kepala batu Israel
dalam menghadapi masalah Palestina justru mengganggu stabilitas
keamanan di Timur Tengah.
Memang misi Haig ke Mesir, Israel, Yordania dan Arab Saudi
terbilang pelik. Karena ia harus berhadapan dengan 2 kubu yang
saling bertentangan, khususnya dalam masalah persetujuan Camp
David. Di Israel, ia tak luput dari kecaman, terutama tentang
rencana penjualan pesawat AWACS dan F-15 ke Arab Saudi (TEMPO,
21 Maret).
Namun ia sekali lagi memberikan jaminan bahwa AS tidak akan
mengubah dukungannya terhadap Israel. Dalam satu pertemuan
dengan PM Menachem Begin, Haig bahkan menyebut Israel sebagai
sekutu AS, meskipun belum ada perjanjian pertahanan bersama
antara kedua negara itu.
Jaminan serupa itu rupanya belum cukup. Dalam wawancara radio
Tel Aviv, bekas Menlu Abba Eban mengatakan, "adalah suatu
dilemma bahwa teman anda itu musuh kami." Pernyataan Eban ini
tentu saja ditujukan terhadap hubungan AS dengan Yordania dan
Arab Saudi.
Jihad
Yordania secara resmi masih dalam keadaan perang dengan Israel.
Sedang Saudi masih dalam keadaan 'jihad' untuk membebaskan kota
suci Jerusalem. Haig sangat menyadari posisi AS dalam menghadapi
kedua kubu ini. Sebelum meninggalkan Tel Aviv, ia mengulangi
jaminannya. "Seorang teman yang gagal memegang komitmennya
adalah lebih buruk daripada musuh," kata Haig.
Tapi terlepas dari perbedaan mereka menghadapi negara Arab yang
menolak persetujuan Camp David, Haig menemukan suatu persamaan
persepsi dengan Israel mengenai ancaman Soviet. Hal ini juga
ditemukan Haig ketika berkunjung ke Mesir.
Presiden Anwar Sadat dalam pidatonya menyambut Haig mengatakan,
"Adalah waktunya bagi AS memulai lagi tanggung jawabnya sebagai
super power untuk seluruh dunia." Bahkan seorang pejabat tinggi
di Kairo mengatakan Mesir dan AS sependapat bahwa Sudan di
selatan Mesir -- akan jadi sasaran berikutnya dari subversi
Soviet.
Sikap Mesir dan Israel tentu saja melegakan Haig. Tujuan utama
misinya memang menjajakan 'bahaya ancaman Soviet', seperti jelas
dikemukakannya ketika tiba di Lapangan Terbang Ben Gurion, Tel
Aviv, 5 April. "Tujuan perjalanan saya ke mari adalah
mendiskusikan bagaimana kita menghadapi ancaman Soviet dan
bonekanya di kawasan ini," kata Haig. Menlu Yithak Shamir
langsung menyebutkan perlunya suatu pandangan strategis bersama.
Mengenai persetujuan Camp David, Haig mengulangi janji
pemerintahan Reagan untuk meneruskan perundingan perdamaian
Mesir-Israel yang dulu disponsori AS aman Presiden Jimmy
Carter. Namun Haig tidak mendesak Mesir untuk menerima usul
Israel mengenai penempatan 1.000 orang tentara AS di Sinai. Usul
ini lahir karena adanya kekhawatiran bahwa Soviet akan memveto
bila PBB diminta membentuk pasukan perdamaian yang mengawasi
peralihan kekuasaan di Sinai, April 1982.
Mesir memang menolak kehadiran tentara AS itu. Karena itu hanya
membenarkan tuduhan akan adanya campur tangan super power di
Mesir. Sejak pertemuan Camp David, Mesir sulit membebaskan diri
dari tuduhan 'agen AS' di Timur Tengah. Atas pertimbangan itu
pula Haig juga tidak membujuk Mesir untuk secara tertulis
mengiinkan AS memakai pangkalan militer di Ras 13anas. Kongres
AS sudah diminta mengeluarkan biaya sebesar US$ 106 juta bagi
perbaikan pangkalan itu.
"Amerika tahu bahwa kami tidak bisa memberi fasilitas pangkalan
militer secara terang-terangan ataupun tersembunyi," kata sumber
yang dekat dengan Sadat. Namun kedua pihak setuju 'memelihara
kontak' dalam masalah itu. Sumber itu juga menyatakan Mesir
gembira bahwa Haig tidak membicarakan kemungkinan AS memakai 2
pangkalan militer bekas Israel di Sinai.
Tapi Haig mengatakan pertemuannya dengan Sadat 'sangat berguna'
dan lebih terbuka ketimbang dengan Begin. Ia sempat mengeluh
dalam menghadapi Begin.
Di Yordania, kampanye Haig menentang 'ancaman Soviet' tak dapat
tanggapan. Raja Hussein menganggap bahwa Israel adalah ancaman
terhadap stabilitas keamanan di kawasan itu. Baik Yordania
maupun Arab Saudi rupanya begitu kecewa dengan cara AS yang
menempatkan masalah strategis sebagai prioritas utama dalam
agenda Timur Tengah.
Tapi kekecewaan itu sama sekali tidak mengganggu Haig. Sejam
sebelum ia tiba di Riyadh, pemerintah Saudi mengumumkan
pemutusan hubungan diplomatik dengan Afghanistan. Tindakan Saudi
ini jelas menunjukkan sikap menolak intervensi Soviet di
Afghanistan. Namun itu bukanlah suatu isyarat bahwa Arab Saudi
siap menerima ajakan AS untuk melahirkan 'konsensus strategis'
dalam menghadapi Soviet.
Sama dengan Yordania, Arab Saudi pun melihat bahwa masalah
Palestina perlu diselesaikan dalam menciptakan perdamaian di
kawasan itu. "Tidak ada keadilan dan perdamaian abadi yang bisa
dicapai di Timur Tengah sebelum hak rakyat Palestina diakui dan
mundurnya Israel dari wilayah Arab," ujar Pangeran Fahd dalam
suatu pernyataan pemerintahnya sesudah Haig bertemu dengan Raja
Khalid.
Arab Saudi sekali lagi menolak kehadiran militer Barat di negara
Teluk, seperti yang selalu diusulkan AS. Bagi AS, kehadiran
militer Barat perlu sekali untuk melindungi wilayah ladang
minyak dari kemungkinan gangguan Soviet. Dengan penolakan Saudi
ini langkah AS mengerahkan pemimpin Arab menghadapi Soviet dapat
dikatakan gagal.
Koran Al Nadou yang terbit di Riyadh mengulas rencana Haig itu
sebagai 'strategi yang tidak realistis'. Koran Al Medina malah
menyebut 'konsesus strategis' itu semata-mata demi kepentingan
Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini