APA yang selama ini ditakutkan penduduk Libanon kini
benar-benar terjadi. "Kami hidup bagaikan di ujung pisau," kata
seorang di Beirut kepada Helena Cobban dari majalah The Middle
East. Selama 6 tahun terakhir ini konflik bersenjata terus
berlangsung. Malah ada kelompok yang didukung negara aslng.
"Setiap waktu Israel bisa saja menyerang," tambahnya. Dan benar,
suatu serbuan mendadak oleh Israel yang tergolong paling besar
tahun ini terjadi pekan lalu. Kamis malam itu Beirut dihujani
peluru, terutama di wilayah yang memisahkan penduduk Islam dan
Kristen. Gencatan senjata antara milisi Phalangist dan tentara
Suriah, yang sudah berlangsung 36 jam, mendadak buyar setelah
serbuan Israel itu.
Bersamaan dengan pertempuran di Beirut, Israel menyerang tempat
latihan gerilya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO di Libanon
bagian selatan. Pesawat pengebom Israel juga merusak wilayah
yang didiami Palestina di pantai Laut Tengah. PM Menachem Begin
memperingatkan bahwa serangan serupa akan terus dilanjutkan
"untuk melindungi rakyat dari ancaman para pembunuh."
Menurut seorang perwira Israel, serangan ke kamp Nabatiyet
dilakukan karena PLO telah menjadikannya suatu tempat latihan
permanen. Di situ tersedia lengkap fasilitas latihan, di samping
tempat perlindungan dan gudang amunisi. Dengan penyerbuan itu,
semua fasilitas yang ada di situ hancur berantakan. Termasuk 50
rumah yang didiami oleh keluarga gerilya Al-Fatah, kelompok
bersenjata PLO.
Sejak pecahnya pertempuran antara milisi Phalangist dan tentara
Suriah, awal April, kalangan diplomatik di Beirut sudah menduga
bahwa Israel akan ikut melibatkan diri. Selama ini Phalangist,
kelompok bersenjata dari Partai Kristen Phalange, mendapat
bantuan Israel. Bahkan PM Begin telah mengumumkan Israel akan
melindungi kepentingan kelompok minoritas Kristen Libanon.
Alasan ini pula yang membuat israel berperan dalam setiap
kerusuhan di negara itu.
Israel punya tujuan melumpuhkan kekuatan militer PLO yang selama
ini bergerak di Libanon. Dan Israel secara terang-terangan
mendukung Republik Libanon Merdeka yang dipimpin Saad Haddad
untuk menghancurkan PLO. Tak heran kalau pasukan Phalangist
yang menjadi inti kekuatan republik itu mampu memiliki 40 tank
super modern Chieftain.
Sebuah laporan rahasia yang pernah dibeberkan The Middle East
(Februari menyebutkan bahwa rangkaian pertempuran akhir-akhir
ini adalah bagian dari suatu siasat untuk menyelesaikan konflik
Arab-lsrael. Hasil akhirnya akan berupa peta baru Timur Tengah.
Sebelum terjadi serangan Israel, sumber di Beirut mengemukakan
pertempuran kecil-kecilan antara Phalangist dan tentara Suriah
adalah bagian permulaan dari pelaksanaan rencana itu. Bahkan
skema rencana itu konon pernah terpampang di dinding Operation
Room Phalangist. Bukan rahasia lagi bahwa pemimpin Phalangist,
Bechir Gemayel, seorang tokoh yang getol untuk melaksanakan
rencana itu.
Rencana membebaskan Libanon dari pengaruh PLO dan Suriah memang
tak mudah. Tapi Gemayel yang memimpin 70.000 gerilyawan
Phalangist menganggap itulah jalan menyelesaikan konflik di
Libanon. Ayahnya, Pierre Gemayel, yang mendirikan Partai Kristen
Phalange, sebenarnya menolak rencana ini. Ia terutama khawatir
akan pembalasan negara Arab.
Phalangist sudah lama menunggu intervensi militer Israel untuk
meratakan jalan bagi terbentuknya negara Kristen yang meliputi
wilayah Libanon bagian selatan dan daerah yang bisa direbut
dengan bantuan Israel. Mereka menyadari bahwa intervensi Israel
akan melahirkan konflik antara Suriah dan penduduk IsIam
Libanon. Serta antara Suriah dan pengungsi Palestina. Kesempatan
ini diduga akan memecah Libanon menjadi 2 bagian.
Memang terlibatnya tentara Suriah dalam pertempuran ini
menimbulkan semacam rasa tidak senang di kalangan sebagian
penduduk Libanon. Suriah mengirimkan tentaranya pertama kali ke
Libanon tahun 1976, sebagai pasukan penyangga untuk melindungi
kaum minoritas Kristen dari serangan kelompok Islam, sayap kiri
dan gerilya Palestina. Kehadiran Suriah ini atas permintaan Liga
Arab setelah perang saudara berakhir di negara itu. Tapi
lama-kelamaan Suriah memperbesar pengaruhnya di Libanon.
Israel pernah memperingatkan Suriah (tahun 1978) agar tidak
menempatkan pasukan di dekat perbatasannya. Kemudian Israel
menyerbu ke wilayah perbatasan. Sejak itu sebagian dari wilayah
perbatasan Libanon, berada di bawah kekuasaan Israel. Ini
membuka peluang bagi Phalangist mempererat hubungannya dengan
Israel. Pada tahun yang sama tentara Suriah dan Phalangist
berkelahi di Beirut selama sebulan penuh.
Bentrokan ini ternyata berakibat buruk bagi Suriah. Sebagian
wilayah yang selama ini di bawah pengawasannya terlepas kepada
Phalangist. Sejak itu Phalangist menjadi lebih kuat, bahkan
sekarang mengembangkan wilayahnya ke Zahle, sekitar 45 km di
timur Beirut. Buat Suriah, pengaruh Phalangist ini suatu
tantangan.
Dan kali ini Suriah melibatkan langsung 25.000 orang tentaranya
yang berada di Libanon. "Perang ini demi kelangsungan hidup
kami," kata juru bicara Phalangist, Naoum Farrah. "Tentara
Suriah harus keluar dari Libanon."
Pertempuran ini belum mencapai seluruh wilayah Libanon, tapi
Phalangist sudah menyatakan perang total. Menlu AS, Alexander
Haig, yang pekan lalu berkunjung ke empat negara Timur Tengah
menuduh Suriah yang menyerang Zahle bertindak 'brutal'.
Menlu Suriah, Abdel Hakim Khaddam, menangkis tuduhan Haig.
"Seharusnya Haig ingat bahwa Israel dengan bantuan senjata AS
telah memaksa ratusan ribu, penduduk Libanon meninggalkan
kampung halamannya." Khaddam waktu itu baru saja kembali dari
pembicaraan dengan Presiden Libanon, Elias Sarkis.
Walaupun dalam perang ini sekitar 300 orang mati dan 600 lainnya
luka-luka, popularitas Presiden Suriah Assad di kalangan negara
Arab semakin menonjol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini