DI Somalia hantu kematian dan peperangan bukan musuh terakhir. Setelah pasukan Amerika datang dengan misi Operasi Pemulihan Harapan dan berhasil melucuti semua pihak yang terlibat perang saudara itu -- ditaksir akan selesai dalam empat sampai enam bulan sejak Desember 1992 -- muncul inti masalah: bagaimana memulihkan kembali bangsa Somalia, bangsa yang dicabik-cabik perang saudara yang hampir-hampir tanpa motivasi, yang mengubah Republik Demokrasi Somalia menjadi suatu wilayah tanpa pemerintahan, tanpa polisi, tanpa hukum, tanpa pendidikan, dan sekaligus tanpa perekonomian. Taruhlah dua pemimpin kelompok besar yang bertikai, Mohammed Farah Aideed dan Ali Mahdi Mohammed, siap bertemu untuk suatu tujuan rekonsiliasi nasional Januari ini. Dua tokoh itulah yang bertanggung jawab mendongkel Presiden Mohammad Siad Barre di awal tahun 1991. Dulu, begitu tujuan tercapai, mereka berdua bentrok sendiri karena Aideed menganggap Mahdi tak adil membagi hasil kekuasaan. Ia pun segera mengobarkan perang. Dan perang itu makin ramai karena presiden terguling, Siad Barre, mencoba merebut kekuasaan kembali lewat menantunya, Mohammad Siad Hersi Morgan yang mendapat dukungan dari Kenya. Setelah itu sebuah pekerjaan besar tetap dibutuhkan di Somalia. Pertama, membangun kembali fondasi yang melahirkan bangsa Somalia. Itulah yang disebut ikatan tradisi yang membuat suku-suku bersatu membentuk satu bangsa. Ikatan ini di masa tradisi nomaden demikian kukuhnya. Lalu pelan-pelan, setelah Somalia menjadi republik, ikatan itu mengendur karena arus urbanisasi yang menyebabkan guncangan nilai-nilai membuat orang Somalia mencari pegangan termudah dan terpercaya: ikatan suku. Inilah mengapa begitu berkobar perang segera terbentuk kelompok bersenjata berdasarkan kesukuan. Dan di luar kelompok besar Aideed dan Mahdi, perang itu menurut wartawan Raymond Bonner yang menulis di majalah Time adalah perang tanpa sebab besar, ''tidak karena komunisme atau Islam, tidak untuk kemerdekaan atau demokrasi'', tapi sekadar semangat untuk merampas, mempertahankan diri, dan membalas dendam. Padahal dibandingkan dengan negara-negara Afrika lainnya, Somalia punya risiko perang saudara yang lebih kecil. Bangsa Somalia menggunakan satu bahasa nasional dan mayoritasnya adalah pemeluk Islam (Suni). Tapi dua hal itu rupanya belum bisa menggantikan ikatan tradisi itu. Ditambah dengan dampak perang dan kelaparan, orang makin tak berani membayangkan Somalia masa depan. Dua juta dari tujuh juta orang Somalia terserang kelaparan, ratusan ribu yang lain tewas karena perut kosong dan peluru perang saudara. Orang-orang dewasa barangkali akan segera bisa mengatasi bayangan hantu kelaparan. Mereka pun mungkin cukup tabah menanggung teror perang saudara. Tapi anak-anak di bawah lima tahun, kata para pekerja sosial Barat yang terjun ke sana, akan memikul keterbelakangan mental yang akan mereka tanggung seumur hidup. Sedangkan anak-anak di atas lima tahun terancam buta karena kekurangan vitamin A. Dan yang wanita terancam kesulitan melahirkan karena pinggul yang tidak berkembang normal. ''Somalia akan punya generasi yang terbelakang,'' kata Michael D'Adamo, salah seorang pekerja sosial itu. Memang belum ada contoh dampak kelaparan dan kematian masal itu. Tetangga Somalia, Ethiopia, memang pernah mengalami bencana kelaparan. Tapi itu hanya kelaparan, tanpa teror perang. Mungkin kasus Somalia dekat ke Kamboja. Kebiadaban rezim Khmer Merah mengakibatkan sejumlah orang menjadi buta. Dan itu bukan karena penyakit, tapi karena guncangan psikologis. Orang-orang itu, kata para ahli, mencoba menolak yang mereka saksikan dengan mata kepala sendiri karena yang dilihatnya itu demikian biadabnya, dan penolakan itu sedemikian kuat sehingga mempengaruhi saraf di otak. Somalia, negeri seluas hampir 630.500 km2 (kira-kira seluas Pulau Kalimantan seutuhnya) di pantai timur Afrika ini, di abad ke-19 terbagi dua: sebagian dikuasai Italia, sebagian dikuasai Inggris. Tahun 1960 dua bagian disatukan dan mendapatkan kemerdekaannya. Sebelum sempat menjadi negara yang kukuh, tahun 1969 Siad Barre mengkudeta penguasa. Barre ganti dikudeta 22 tahun kemudian, yakni Januari 1991. Ada yang bilang, Somalia yang tetap agraris dan miskin (pendapatan per kepala sekitar US$ 300 sebelum datang bencana) itu tak akan sampai mengalami bencana kelaparan yang parah seandainya Perang Dingin masih berlangsung. Soviet atau Amerika akan berlomba membantunya. Hampir dua tahun dilanda kelaparan, kematian, dan perang saudara dan praktis tak ada bantuan pangan yang cukup, mungkin baru dialami oleh Somalia. Sejauh ini belum ada contoh bagaimana memulihkan harapan itu. Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini