Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Meninggal Dunia

Kh masjkur meninggal dunia pada tanggal 19 desember 1992. sekilas profil dan karier almarhum.

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GENERASI tua yang hidupnya bisa jadi panutan semakin habis. Seorang di antaranya Kiai Haji Masjkur. Tokoh yang sangat langka ini, dengan pikiran yang masih amat jernih tanpa penyakit tua yang berarti, telah berpulang ke 'Arasy Allah pada hari Sabtu 19 Desember dalam usia sangat sepuh: 94 tahun. Kiai Masjkur meninggalkan seorang istri, seorang anak, dan seorang cucu. Ia memang berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan karena almarhum menerima beberapa penghargaan seperti Bintang Gerilya, Bintang Perang Kemerdekaan, Bintang Gerakan Operasi Militer, Bintang Mahaputra. Tapi ia lebih suka dimakamkan di makam keluarga di kompleks Pesantren Bungkuk, Singosari, Malang. Satu hal yang tak banyak diketahui oleh khalayak, almarhum merupakan tokoh terakhir dari 62 angota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, cikal bakal DPRRI) yang meninggal. Pada tahun 1944, ketika terpilih sebagai anggota PPKI nomor 21, ia berusia 40 tahun. Dan perjuangan almarhum memang tak pernah lepas dari lembaga legislatif itu. Jabatannya terakhir ialah wakil ketua DPR-RI (1978-1983) Pada tahun 1956, dalam sidang Konstituante di Bandung, Masjkur yang menjadi ketua golongan Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Itu wajar, mengingat bahwa pada masa itu semua pihak berhak memperjuangkan aspirasi masingmasing. Bentuk negara yang diperjuangkan NU ketika itu ialah sebagaimana yang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Tafsir Asasnya, yaitu negara nasional berPancasila yang di dalamnya berlaku hukum-hukum Islam. Seperti diketahui, akhirnya Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena tidak mampu menghasilkan kesepakatan. Bung Karno kemudian meneken Dekrit 5 Juli 1959 yang menetapkan berlakunya kembali UUD 45. Dan itu juga berarti bahwa perjuangan Masjkur dkk sesungguhnya berhasil, sebab dekrit itu juga menyebutkan bahwa Piagam Jakarta -- menekankan berlakukan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya -- sebagai rangkaian yang tak terpisahkan. Begitu luas wilayah pengabdian almarhum, termasuk kedudukannya dalam lembaga eksekutif. Di antara para tokoh, barangkali Masjkurlah satusatunya yang sampai empat kali menjadi Menteri Agama. Itu sebabnya, sejak tahun 1950an ia juga sempat membentuk basisbasis departemen itu sampai terbentuk kantorkantor urusan agama (KUA) di seluruh Tanah Air. Ia pula yang kemudian berinisiatif mendirikan Pendidikan Tinggi Hakim Islam (PTHI), yang kemudian berkembang menjadi PGA dan IAIN. Barangkali berkat wawasan politiknya yang tajam namun moderat, ia sempat dua kali terpilih sebagai ketua umum PB Tanfidziyah PB NU. Dan itu bukannya secara kebetulan, sebab ketika itu suhu politik memang tengah naik menjelang pemilihan umum pertama tahun 1955. Dan ketika itu NU sendiri juga lagi mencari formatnya yang pas dalam kancah politik. Dalam muktamar di Palembang menjelang pemilu itu -- dan Masjkur terpilih sebagai ketua umum -- diputuskan NU keluar dari Masyumi. Belakangan NU membentuk Liga Muslimin bersama Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Perserikatan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Sejak keluar dari Masyumi itu, tampillah NU sebagai partai politik, dan belakangan menjadi satu di antara empat besar di samping PNI, Masyumi, dan PKI. Dan sejak itu pula Masjkur duduk di parlemen. Belasan tahun kemudian, tahun 1973, almarhum merupakan salah seorang penanda tangan deklarasi fusi empat partai Islam menjadi PPP. Kiai Masjkur juga punya peran yang tidak kecil ketika NU -- dalam muktamar Situbondo tahun 1984 -- menyatakan keluar dari PPP dan kembali ke Khithah 1926 sebagai organisasi sosialdakwah. Salah satu ''warna'' perjuangan Masjkur yang juga tak banyak diketahui ialah ketika ia angkat senjata di awal revolusi. Pada tahun 1943, ketika Jepang masih bercokol, ia bersama tokoh Islam lainnya seperti K.H. Wachid Hasjim, K.H. Zainul Arifin, Prawoto Mangkusasmito, membentuk Barisan Hizbullah (Tentara Allah) yang terdiri para pemuda Islam di sebuah gedung di Menteng, yang kini menjadi kantor imigrasi. Ketika itu ia menjadi salah seorang pimpinan Masyumi bagian pertahanan negara. Bahkan setahun kemudian ia menjadi pimpinan di Pusat Latihan Kemiliteran di Cibarusa, Bogor. Ketika revolusi meletus, dan arekarek Surabaya bergolak, Masjkur bersama para ulama Jawa Timur seperti K.H.A. Wahab Chasbullah, K.H. Hasjim Asj'ari, K.H. Bisri Sansuri membentuk Barisan Sabilillah (Jalan Allah) yang terdiri para ulama. Maka, Barisan Hizbullah dan Sabilillah itu pun bergerak ke Surabaya membantu Bung Tomo melawan pasukan Inggris. Belakangan, saat pertempuran Surabaya yang dahsyat itu diresmikan sebagai Hari Pahlawan. Dari pengalamanpengalaman itu, Kiai Masjkur menjadi Ketua III DPHN Angkatan 45 dan angota pleno PB Legiun Veteran RI. Seperti halnya para santri dan kiai yang lain, Masjkur memang dibesarkan dari pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain. Kesederhanaannya tampak dengan jelas di rumahnya. Rumah besar di kawasan Menteng di jantung Kota Jakarta itu biasabiasa saja. Tak tampak seperti rumah seorang pejabat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus