BEIJING akhirnya berdarah. Mula-mula tentara itu hanya menembak-nembak ke udara untuk mengusir massa yang menghalangi mereka masuk ke Lapangan Tiananmen. Para penghalang nekat bertahan. Mereka membentuk rantai dengan cara bergandengan tangan. Mungkin mereka percaya bahwa tentara akan segera meninggalkan tempat itu, seperti yang terjadi di minggu-minggu belakangan ini. Tapi di Minggu dini hari pekan ini itu ternyata lain. Sekitar 20 ribu anggota Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) yang didukung tank-tank dan kendaraan militer lainnya, yang mendekat ke Tiananmen pada sekitar pukul 4.00 waktu Beijing itu, kemudian menjawab dengan peluru. Mereka menembak langsung dengan senjata-senjata AK-47 versi Cina ke arah kerumunan massa. Darah pun tumpah, korban pertama dari gerakan mahasiswa sejak pertengahan April lalu pun mulai jatuh. Tentara rakyat tak lagi enggan menembaki rakyat. Menurut berita resmi, pada insiden pertama itu sekitar sepuluh orang tewas dan 100 yang lain luka-luka. Rintangan pertama akhirnya jebol. Segera terdengar deru tank-tank bergerak maju mendahului pasukan tentara, menerjang dan menggilas bis-bis kota dan kendaraan lain yang di hari sebelumnya dipasang oleh mahasiswa sebagai barikade. Suasana pun pecah, hiruk-pikuk tak keruan. Mereka yang tak sempat menghindar, di pagi yang masih remang-remang itu, ya Allah, langsung digerus kendaraan baja tersebut. Setidaknya dilaporkan seorang mahasiswi berusia 18 tahun remuk diterjang tank. Mahasiswa tak tinggal diam. Mereka melemparkan bom-bom molotov dan membakari barikade-barikade -- tampaknya mereka sudah membekali diri dengan minyak bakar -- agar laju para penyerbu terhalang. Tapi sebelum barikade yang membakal itu sempurna terbentuk, bom gas air mata yang dilemparkan tentara membuat mahasiswa kocar-kacir. Ketika itulah tentara mengejar mereka. Perkelahian jarak dekat pun terjadi. Dengan pentungan dan kopel rim tentara menghajar mahasiswa. Korban jatuh di kedua belah pihak Beberapa serdadu mati dikeroyok. Pakaian seragam mereka dilucuti, orangnya disiram minyak lalu api pun membakar. Rupanya, mahasiswa tetap nekat. Mulailah tembakan gencar ke arah kumpulan sekitar 30 ribu mahasiswa yang berkemah di tengah Tiananmen. Tubuh-tubuh berjatuhan. Tak jelas jumlah korban. Ada yang memperkirakan berkisar 2.000 tewas, dan 5.000 luka-luka. Para diplomat Barat di Beijing, berdasarkan laporan resmi pemerintah, menaksir 5.000 sampai 7.000 orang mati di tengah Tiananmen. Sedangkan yang luka-luka diduga mencapai 10 ribu -- kebanyakan mahasiswa dan buruh. Rumah-rumah sakit Beijing penuh dengan korban-korban, baik yang luka maupun meninggal. Sebenarnya, segera setelah insiden awal di Jianguomenwai -- wilayah tempat tinggal orang-orang asing, 2 km dari Tiananmen --arah berawalnya tentara menyerbu mahasiswa, telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Para pemimpin mahasiswa berhasil menemui komandan penyerbuan, dan diperoleh persetujuan bahwa mahasiswa akan meninggalkan Tiananmen dan mereka diberi waktu sampai pukul 7 pagi. Tapi, tak jelas diketahui penyebabnya, dua jam sebelum batas waktu, tembakan terdengar. Kemudian pembantaian pun berlangsung tanpa ampun. Beijing kini tak cuma guncang, tapi pun berbau darah dan mesiu. Di Minggu itu juga diberlakukan jam malam. Laporan radio yang dimonitor di Hong Kong memberitakan bahwa bentrokan antara tentara dan massa belum reda. Setelah Tiananmen dikuasai tentara, suara-suara tembakan masih terdengar sekali-sekali di sudut-sudut Ibu Kota. Rupanya, dari luar Beijing sejumlah tentara bantuan bergerak masuk. Sejumlah mahasiswa dan penduduk tetap mencoba menghalangi mereka dengan cara memasang penghalang di jalan-jalan -- walaupun itu sia-sia. Di sekitar Tiananmen telah diparkir tak kurang dari 140 tank dan beberapa puluh pengangkut personel berlapis baja. Pasukan antiserangan udara yang dipersenjatai oleh roket-roket juga sudah siaga menjaga segala kemungkinan. Penguasa militer memerintahkan mengosongkan semua hotel yang ada di sekitar Tiananmen untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Esoknya, Senin pekan ini, ketegangan di Beijing menjalar ke kota-kota lain. Sebuah sumber di Jepang mengatakan, hari itu di 30 kota Cina berlangsung pemogokan umum, sebagai protes atas pembantaian di Tiananmen. Di Nanjing -- kota yang dibantai tentara pendudukan Jepang di tahun 1930-an -- sejumlah tentara dikerahkan untuk membubarkan aksi mahasiswa dan massa rakyat. Sementara itu, di Shanghai 100 sampai 200 ribu mahasiswa dan penduduk memasang barikade-barikade di beberapa perempatan jalan. Dan sejak pagi seluruh pengangkutan umum tak berjalan. Dari Shanghai juga terdengar berita bahwa mahasiswa menduduki stasiun kereta api. Dinding beberapa gedung pemerintah penuh dengan tulisan "Bunuh Li, Bunuh Deng". Belum ada tentara tampak bergerak di Shanghai, tapi bau kerusuhan sudah tercium. Gerakan yang sama dilaporkan dari Tangshan dan Guangzhou (Kanton). Bila aksi itu merambat ke seluruh Cina, keadaannya akan mirip situasi pada 1968-1969 semasa Revolusi Kebudayaan. Sementara itu, di Senin malam pecah kabar terjadi bentrokan antara tentara sendiri di lapangan udara militer Nan Yuan. Konon antara pasukan yang pro keadaan darurat dan yang menentangnya. Belum diketahui bagaimana kesudahan insiden ini. Perkembangan suasana itulah tampaknya yang membuat tentara yang menguasai Tiananmen jadi sibuk. Segera enam tank dan 40 kendaraan militer bergerak menjaga kawasan Zhongnanhai, lokasi perkantoran dan perumahan para pejabat tingkat atas, yang tak jauh dari Tiananmen. Menurut sebuah sumber, kendaraan-kendaraan militer sibuk mengungsikan para keluarga pejabat 3 keluar dari kompleks tersebut. Sebuah isyarat bahwa keadaan makin meruncing. Sebenarnya, kekerasan itu sudah bisa diduga sejak PM Li Peng mengumumkan keadaan darurat perang untuk beberapa bagian wilayah Beijing, dan memberikan ultimatum bahwa tindakan keras akan diambil, Sabtu tiga pekan lalu. Beberapa peristiwa -- antara lain baru saja adanya kunjungan Mikhail Gorbachev yang menandai berakhirnya permusuhan antara kedua negara komunis raksasa -- mencegah pemerintah melakukan kekerasan. Selain itu, pasukan pertama yang diperintahkan merebut Lapangan Tiananmen dari tangan para mahasiswa ternyata enggan bertindak. Ini yang menyebabkan orang berpikir bahwa militer Cina terpecah dalam menghadapi para penunjuk rasa yang menuntut diberikannya hak-hak demokrasi itu. Muncul kabar bahwa Menteri Pertahanan Jenderal Qin Jiwei, bekas komandan wilayah militer Beijing, dikenai tahanan rumah karena bersimpati kepada para mahasiswa. Dan dalam pertemuan para jenderal yang diadakan oleh Presiden Yang Shangkun, konon, sejumlah jenderal menolak hadir. Semua itu menguatkan dugaan bahwa tentara tak akan bertindak dengan kekerasan. Tapi, sebenarnya, penggunaan kekuatan militer untuk memulihkan keamanan dan ketertiban, bukan sesuatu yang baru di Cina. Pada 1969, ketika kekacauan Revolusi Kebudayaan tak dapat lagi dibendung, Mao Zedong terpaksa menyandarkan diri pada tentara untuk menertibkan keadaan. Kini, banyak yang mengatakan bahwa di belakang perintah menindak mahasiswa dengan keras adalah pesekongkolan antara orang kuat Deng Xiaoping dan Presiden Yang Shangkun. Kedua tokoh itu punya pengaruh yang tertanam dalam di kalangan tentara. Setelah perintah pertama mereka tak dilaksanakan oleh tentara, rupanya mereka dapat meyakinkan pihak militer bahwa negara ada dalam bahaya, dan bahwa para mahasiswa itu merupakan golongan kontrarevolusioner yang mengancam kedudukan partai dan negara. Memang, dalam beberapa hari terakhir ini propaganda pemerintah menyatakan bahwa ada "segelintir" kaum kontrarevolusioner yang menghasut mahasiswa untuk memberontak. Media resmi pemerintah, yang toh masih pula disensor, menulis bahwa para penghasut itu takkan dibiarkan terus menjalankan perannya. Tapi kenyataan bahwa divisi yang kemudian diterjunkan di Beijing bukan divisi yang pertama dikirimkan dulu, menyiratkan adanya pertarungan di tempat lain, yakni di tingkat atas pimpinan partai yang mempengaruhi pula perpecahan di kalangan militer. Yaitu antara kelompok "reformis-radikal" dan "reformis konservatif". Banjir darah yang kemudian terjadi menunjukkan bahwa pergulatan kekuasaan dimenangkan oleh golongan yang disebutkan belakangan. Yang lebih menarik, di kubu pemenang itu pun kabarnya ada perpecahan. Demonstrasi mahasiswa yang kemudian mendapat dukungan petani dan buruh itu mengundang para jago tua yang dulu dipaksapensiunkan oleh Deng Xiaoping untuk "turun gunung". Para pejabat yang sudah mengundurkan diri dari percaturan politik itu antara lain ekonom Chen Yun, ideolog Yu Qiuli, dan adminstrator partai Hu Qiaomu yang berusia antara 70-an dan 80-an tahun. Ketiga mereka langsung mengirimkan jurus-jurus serangan terhadap Zhao Ziyang, yang dianggap pimpinan kelompok "reformis radikal" yang pro mahasiswa. Beberapa hari kemudian muncul pula Peng Zhen, bekas Ketua Kongres Rakyat Nasional. Jurus Peng agak aneh. Mestinya ia,yang berada di kubu ortodoks, menyerang Zao. Tapi ternyata angin serangannya pun menuju ke arah Deng Xiaoping. Pernyataan Peng sedikit membela mahasiswa. Para pengamat lalu menarik kesimpulan hahwa keluarnya para jago tua dari peristirahatan mereka yang kemudian berdiri di belakang Presiden Yang Shangkun antara lain berniat juga membalas dendam kepada Deng. Mereka yang selama ini berada di luar percaturan politik itu disingkirkan karena mengkritik reformasi ekonomi Deng. Para jago tua itu memang pemeluk komunisme ortodoks. Bila analisa itu benar, tampaknya tak jauh meleset pula dugaan sementara ahli Cina bahwa Yang Shangkun merupakan pemeran utama dalam peristiwa yang berdarah ini. Presiden yang selama ini hanya dianggap sebagai simbol, rupanya, berambisi pindah ke kursi ketua komite militer yang diduduki Deng Xiaoping, yang pada kenyataannya merupakan penguasa tertinggi di RRC. Tapi bagaimana ceritanya bila semula tentara enggan melakukan kekerasan tiba-tiba berbalik menumpahkan darah? Pasal 93 UUD RRC menyebutkan bahwa Komisi Militer Pusat memimpin angkatan bersenjata. Artinya, Deng Xiaopinglah satu-satunya orang yang perintahnya, secara formal, pasti ditaati oleh pihak militer. Tapi di balik segala macam peraturan dan undang-undang, kesetiaan kelompok atas pemimpin mereka masih juga berperanan besar. Dalam kemiliteran pun ciri ini masih membekas dengan kuat. Tradisi itu sudah ada sejak dulu dan menjadi seperti melembaga pada akhir abad ke-19, ketika Cina membentuk tentara modern yang dinamai Tentara Baru (Xin Jun) di bawah pimpinan Yuan Shikai. Dengan tentaranya itu Yuan berhasil mencuri kekuasaan dari presiden terpilih Sun Yatsen, dan berniat mendirikan dinasti baru. Untunglah, usia Yuan tak panjang. Celakanya, tentara yang kehilangan induk itu berubah menjadi tentara-tentara pribadi yang hanya setia kepada komandannya.Zaman itulah yang dalam sejarah Cina dikenal sebagai zaman warlord atau Dujun. Bisa jadi mengingat adanya tradisi itu pihak Deng dan Yang Shangkun lalu menggantikan pasukan yang enggan menghadapi mahasiswa dengan pasukan lain. Sebuah sumber dari Tokyo mengungkapkan bahwa pasukan inti yang digunakan untuk melakukan pembantaian di Tiananmen adalah Divisi 27 yang bermarkas di Mongolia Dalam, yang sedang ditempatkan di Chengdu, ibu kota Provinsi Hebei. Divisi ini berada di bawah komando keponakan Presiden Yang Shangkun. Faktor hubungan darah antara komandan pasukan ini dan Yang Shangkun inilah yang agaknya menentukan enggan tidaknya tentara bertindak. Selain itu, sebagian besar anggota divisi ini terdiri atas orang-orang Mongol. Suku ini dikenal sangat anti bangsa Han -- mayoritas penduduk Cina karena pernah dijajah oleh bangsa Han. Dan bila Yang Shangkun, kini 82 tahun, bisa menjangkau divisi itu, selain jabatannya sebagai Wakil Ketua Komite Militer Pusat, sejumlah jabatan kunci di TPR diduduki oleh keluarganya atau orang-orang yang setia kepadanya. Umpamanya Kepala Departemen Politik Umum TPR adalah Yang Baibing, yang tak lain adalah adiknya sendiri. Ada yang mengatakan, duduknya keluarga atau sobat dekat Yang di militer merupakan hasil kompromi antara dia dan Deng Xiaoping. Deng boleh duduk sebagai Ketua Komisi Militer Pusat, tapi ia harus memberikan posisi salah satu wakil ketua Komisi Militer kepada Yang dan beberapa posisi kunci kepada sanak saudara dan pengikut-pengikutnya. Sementara itu, sumber-sumber mahasiswa dan intelektual mengatakan, kerja sama Deng dengan Yang untuk memberantas para pengunjuk rasa Tiananmen hanyalah taktik sementara saja dari Yang. Setelah menggasak mahasiswa, sasaran Yang selanjutnya adalah Deng Xiaoping sendiri. "Pada saat si tua Deng menyadari apa yang sedang terjadi, segalanya sudah akan terlambat," demikian kata sumber-sumber tersebut. Dugaan itu ada dasarnya. Bukankah Deng kini kehilangan pendukung yang sangat pro reformasi -- yakni Zhao Ziyang dkk, -- sementara Yang Shangkun mendapat angin dengan munculnya para bekas pejabat yang dulu disingkirkan oleh Deng? Meski Zhao cs, tak begitu segagasan dengan Deng, dukungan mereka bisa diharapkan muncul bila Deng terancam oleh kelompok yang cenderung mengembalikan komunisme ortodoks di Cina. Tapi, benar tidaknya analisa di atas tidaklah begitu penting. Yang jelas, siapa pun yang berkuasa nanti setelah keadaan normal kembali, ia harus berkoalisi dengan TPR dan memberi konsesi kepada para penyandang bedil itu. Soalnya kini, TPR sendiri tampaknya terpecah. Buktinya, pecahnya bentrok bersenjata antara Divisi 27 dan unit lain. Kalau berita itu benar, Republik Rakyat Cina kini menghadapi dua ancaman yang berkaitan: perang saudara dan pertentangan antar-elite dalam berebut kekuasaan. Itu berarti kemelut dan bentrokan di sana masih akan panjang.A. Dahana (Jakarta), Yusril Djalinus (AS),& seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini