DARAH tak cuma tumpah di Beijing. Juga di Buenos Aires dan kota-kota lain di Argentina. Perekonomian yang lama mengimpit di negeri itu menjadi bom kerusuhan yang meledak dua pekan lalu. Orang-orang turun ke jalan, menjarahi toko-toko, mengangkuti apa saja, terutama bahan makanan. Polisi dan milisi segera disebar ke seantero kota. Pemilik toko tak hanya menutup toko meski pembeli antre, melainkan juga mempersenjatai diri dengan senapan dan apa saja. Ratusan penjarah langsung diindekoskan di penjara, beberapa di antaranya tergeletak di jalan atau emperan toko, disergap peluru. Situasi runyam itu bermula di Minggu malam dua pekan lalu, ketika Presiden Raul Alfonsin mengumumkan rancangan kebijaksanaan baru di bidang ekonomi. Untuk meringankan beban utang dan inflasi, pemerintah terpaksa melakukan tiga hal, kata Alfonsin. Ketiga hal itu adalah mengetatkan anggaran belanja, menaikkan pajak, dan menerapkan sistem tunggal bagi bisnis valuta asing. "Mereka yang tak mendengarkan kami adalah unsur beracun dalam masyarakat Argentina," ujar Presiden memperingatkan. Tapi peringatan itu cuma dianggap angin lalu. Keesokan harinya, "racun" itu bahkan tak tinggal diam. Mereka bereaksi menyergap Buenos Aires. Sejumlah besar penduduk kawasan kumuh di ibu kota itu ramai-ramai menyerbu toko dan gudang-gudang makanan. Beberapa jam kemudian, peristiwa serupa meledak di Rosario, kota terbesar kedua di Argentina. Keesokan harinya, aksi penjarahan masal menular ke lebih dari 12 kota di negeri berpenduduk 32,6 juta itu. Pasar-pasar swalayan dijadikan restoran gratis oleh kaum ibu dan anak, sebelum membawa kabur barang-barang yang dijual. Apa boleh buat, Senin pekan lalu terpaksa undang-undang darurat diberlakukan selama 30 hari di seluruh negeri. Celaka ancaman itu tak meredakan kerusuhan. Justru penjarahan meluas. Rumah-rumah yang tampak kaya ikut jadi sasaran. Menurut kabar terakhir, 16 penjarah tewas diterjang peluru penembak gelap, ratusan luka-luka dihajar petugas keamanan, dan sekitar 1.600 orang dipenjarakan. Amarah penjarah, yang sebagian besar dari golongan miskin itu, di negeri berpendapatan per kepala sekitar US$ 2.300 ini bisa dipahami. Kebijaksanaan ekonomi pemerintah selama ini justru makin mengimpit karena biasanya para pedagang ikut menaikkan harga. Kini, lebih dari hanya menaikkan harga, sejak peraturan baru diumumkan para pedagang kehilangan kepercayaan terhadap nilai astral, mata uang Argentina. Banyak pedagang yang minta dibayar dengan dolar Amerika, yang menurut kurs resmi sedolar sama dengan 175 astral, tapi di pasaran gelap bisa mencapai 280. Itu semua tampaknya akibat warisan kebobrokan penguasa lama. Ketika dilantik menjadi presiden, Desember 1983, Alfonsin menerima warisan utang lebih dari US$ 43 milyar dan inflasi lebih dari 400%. Tindakan pertama Alfonsin mengerem inflasi dengan memperketat pengawasan terhadap harga kebutuhan pokok, dan meringankan beban pegawai dengan menaikkan gaji mereka 6% sampai 8%. Sayang, kebijaksanaan itu tak sanggup mengimbangi jumlah cicilan utang. Pada Maret 1984, hanya untuk membayar cicilan utang, Argentina terpaksa berutang lagi US$ 500 juta dari Pemerintah AS dan bank-bank komersial. Utang lebih membengkak lantaran ambisi Alfonsin untuk memodernisasikan dan memacu pertumbuhan ekonomi Argentina. Politik gali lubang tutup lubang terpaksa dijalankan. Agar utang baru tak kelewat memberatkan, dia mengajak para kreditor menjadwalkan kembali utang Argentina. Boleh dibilang usaha ini sukses. Yang kemudian merepotkan adalah permintaan Bank Dunia sebagai kreditor terbesar. Yakni, agar Pemerintah Argentina menjalankan kebijaksanaan ikat pinggang dan menaikkan pajak. Badan moneter internasional itu juga minta dibolehkan ikut mengawasi pemakaian kredit: benar-benar dipakai untuk membiayai proyek-proyek yang produktif atau tidak. Alfonsin lalu menurunkan kebijaksanaan ekonomi yang disebut Rencana Austral. Rencana itu tak cuma memotong anggaran belanja, dan menaikkan pajak. Tapi juga menswastakan 353 perusahaan pemerintah agar utang yang US$ 11 milyar bisa dialihkan kepada swasta, dan menaikkan gaji pegawai antara 18% dan 25%. Sebenarnya upaya itu tak ada buahnya, kecuali berhasil menekan inflasi dari 688% menjadi 385% pada 1985. Pada 1987 Rencana Austral disambung dengan perbaikan di sana-sini. Tapi inflasi terus melesat dan utang makin bertumpuk. Terakhir utang luar negeri Argentina mencapai US$ 60 milyar -- termasuk lima negara pengutang terbesar -- dan belum ada tanda-tanda mampu membayar cicilan US$ 4 milyar per tahun. Popularitas Alfonsin terus merosot, dan rakyat kembali menyanjung mendiang diktator Juan Peron. Dalam pemilu presiden bulan lalu, Alfonsin, 63 tahun, dikalahkan oleh Carlos Menem dari kubu Peronis. Bagi Alfonsin -- dan juga Menem nanti -- bukan cuma soal ekonomi yang mesti dicarikan jalan keluarnya. Tapi, bagaimana memulihkan keadaan Argentina yang menjadi seolah-olah negeri tanpa hukum ini.Prg
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini