Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Horta di Kursi Xanana

Ramos Horta terpilih menjadi presiden. Kemungkinan besar dia akan berduet dengan Xanana untuk menggerakkan roda pemerintahan Timor Leste.

14 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Parabens, Senhor Presizenti…!” Ramos Horta terkejut ketika puluhan wartawan serempak mengucapkan selamat dalam bahasa Portugis—juga Inggris dan Tetum—saat ia keluar dari ruang rapat di Palacio Das Cinzas (Istana Debu) di Kaikoli, Dili. ”Saya belum resmi menjadi presiden,” ujarnya kepada para juru warta yang meriung di depan istana itu pada Kamis pekan lalu.

Tapi senyumnya terkembang setelah beberapa wartawan menyodorkan hasil penghitungan sementara Komisi Pemilihan Umum (CNE). Ia meraih 273.685 suara (73 persen), sedangkan pesaingnya, Francisco ”Lu Olo” Guterres, 55 tahun, meraup 101.374 (27 persen) suara. Jumat pekan lalu, CNE mengumumkan kemenangan telak Horta terhadap lawannya. Dia menjadi presiden kedua Timor Leste, setelah Xanana Gusmao—yang resmi memimpin negeri itu sejak Mei 2002.

Naiknya Horta, 58 tahun, ke kursi presiden diperkirakan akan segera disusul oleh sobat lamanya, Xanana, ke kursi perdana menteri. Banyak pihak meramalkan Komisi Nasional untuk Rekonstruksi Timor Leste (CNRT), partai pimpinan Xanana, akan mengalahkan 13 partai lain dalam pemilu parlemen, 30 Juni mendatang. Dia disebut-sebut sebagai calon terkuat mengisi pos perdana menteri.

Francisco da Costa Guterres, peneliti senior dari Timor Institute Development Studies, menilai pasangan Horta-Xanana sangatlah ideal—bila CNRT berhasil menggulung semua lawannya kelak. Toh, prakteknya tak semudah membalik telapak tangan.

Tantangan yang dihadapi Horta amat berat. Terutama korupsi dan pengangguran. ”Korupsi di sini sekarang lebih parah ketimbang zaman Indonesia,” kata Christopher Samson, Ketua Labeh, lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pemberantasan korupsi. ”Angka kriminal meningkat,” ujar Francisco Soares, Wakil Ketua Partai Sosial Demokrat Timor Leste.

Hal penting lain yang harus dipecahkan presiden baru adalah warisan krisis politik 2006, yaitu kasus Mayor Alfredo Reinado. ”Kalau Horta mengajak semua pihak bekerja sama, mereka pasti bisa memerintah lebih dari sepuluh tahun,” kata Alfredo Benevides Correia Barros, pengacara Reinado. Horta menyambut imbauan tersebut. ”Sebagai pendiri Fretilin, saya mempersembahkan kemenangan ini juga untuk Fretilin,” katanya kepada Tempo.

Ia juga memastikan akan tetap membina hubungan baik dengan Indonesia dan Australia. ”Saya tidak meragukan niat baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri John Howard untuk mendukung negara kami,” katanya.

Senhor Horta juga diharapkan segera melorotkan jumlah penganggur di Timor Leste. ”Saya akan berusaha keras menggaet investasi asing ke sini,” katanya. Agenda penting lain adalah mengganti bahasa resmi Timor Leste dari bahasa Portugis ke bahasa Tetum, yang lebih dimengerti masyarakat. Bahasa Indonesia dan Inggris akan menjadi bahasa kedua. Bahasa Indonesia memang amat penting lantaran sebagian besar rakyat negeri itu menguasainya.

Kemampuan Horta sebagai pelobi amat terlihat selama kampanye. Pendiri Fretilin ini mampu memikat rakyatnya—90 persen lebih penduduk Timor Leste adalah pemeluk Katolik yang taat—melalui pendekatan yang ”tepat”. Mingguan The Economist melaporkan, tim sukses Horta giat menyebarkan foto-foto dia bersama Paus Benediktus XVI.

Dalam salah satu pertemuan dengan warga setelah kemenangannya, dia berkata, ”Kemenangan ini adalah tugas besar yang hampir seberat memikul salib Kristus.” Upaya Horta merebut hati warganya agaknya tidak sia-sia.

Dari jalanan Dili, seorang sopir taksi bernama Sandro, 34 tahun, berkata, ”Kami cuma percaya tiga orang di negeri ini: Xanana, Horta, Uskup Belo.” Tapi bukan berarti tidak ada yang waswas. ”Kebiasaan Horta ngomong ceplas-ceplos sebaiknya direm agar masyarakat tak gelisah,” kata Francisco Soares, Wakil Ketua Partai Sosial Demokrat Timor Leste.

Menanggapi kemenangan Horta, kubu Fretilin belum putus harap. Mengutip Antero Benedito da Silva, anggota Kelompok Studi Maubere: ”Kami masih berpeluang dalam pemilu parlemen.”

Faisal Assegaf (Jakarta), Alexandre Assis, Salvador Ximenes Belo (Dili)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus