Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH peraturan penting tengah ramai digodok di Kabupaten Ma-nokwari, Papua Barat, pekan-pekan ini. Rancangan sembilan halaman itu berjudul Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kabupaten Manokwari tentang Penetapan Kampung-Kampung Sebagai Perkampungan Penginjilan/ Pembinaan Mental Spiritual. Konsepnya diusulkan oleh sejumlah kalangan gereja dan cendekiawan Kristen di sana.
Para penggagas beleid daerah berbasis agama ini siap tancap gas. Mereka sudah menyerahkan rancangan peraturan daerah itu ke pemerintah daerah setempat pada 7 Maret lalu. Dalam perbincangan sehari-hari, rancangan itu disebut Raperda Kota Injil.
Usul ini pertama kali tercetus dalam Sinode Gereja Kristen Injil (GKI) ke-15 di Wamena, Februari tahun lalu. Para pendeta dan cendekiawan yang hadir dalam acara tersebut—antara lain beberapa pengajar Sekolah Tinggi Teologi GKI Is Kijne dan dosen Universitas Cenderawasih di Jayapura—menyatakan perlu melestarikan jejak sejarah di Manokwari sebagai kota kelahiran Kristen di Papua.
Sejarahnya memang ada. Pada 5 Februari 1855, dua orang penginjil Jerman, Carl Wilhelm Ottow dan Johan Gottlob Geissler, tercatat tiba di Pulau Mansinam, lepas pantai Manokwari. ”Ini sejarah penting saat Papua terbuka bagi dunia karena Injil,” kata Pendeta Karl Philip Errari, pekan lalu.
Sinode itu disusul dengan semiloka yang dihadiri tokoh-tokoh GKI, cendekiawan Papua, dan pejabat daerah di ibu kota Provinsi Papua Barat tersebut. Setelah tiga hari berdiskusi, semiloka sepakat menyusun beberapa kesimpulan. Di antaranya disiapkan ”semacam” draf rancangan aturan khusus tadi.
Peraturan ini diharapkan akan mengukuhkan sejarah penyebaran Kristen di Manokwari. Sebelumnya, Bupati Manokwari Dominggus Mandacani sudah menetapkan sebutan Kota Injil bagi daerahnya sejak 1999. Majelis Rakyat Papua bahkan sudah menyatakan kota di daerah yang terletak di ”Kepala Burung” pulau Papua itu sebagai Kota Injil. Ia berdampingan dengan Merauke sebagai situs kota Katolik dan Fakfak sebagai kota Islam.
Menurut Pendeta Wiliem Rumsarwir, Wakil Ketua Kelompok Kerja Agama MRP, rancangan peraturan daerah itu adalah wujud panggilan etika dan moral rakyat yang dicoba dioperasionalkan. ”Injil itu membebaskan, maka nilai-nilai itulah yang dominan dalam rancangan tersebut. Tidak akan ada pelarangan atau fanatisme,” katanya kepada Tempo pekan lalu. Wiliem menambahkan bahwa beleid ini dibikin untuk mencegah agar perilaku buruk masyarakat seperti mabuk-mabukan dan mengganggu orang lain bisa dihindari.
Rancangan peraturan daerah itu berisi 8 bab dan 27 pasal. Salah satunya mengatur soal tanggung jawab kepala kampung dalam pembinaan mental-spiritual warganya. Ada juga pelarangan kegiatan publik pada hari Minggu kecuali untuk kegiatan pembinaan mental spiritual. Izin pendirian rumah ibadat oleh orang atau gereja luar daerah tersebut juga diatur. Sanksi pengucilan masyarakat bagi para pelanggar dan pembongkaran rumah ibadat jika tak memenuhi ketentuan juga dicantumkan.
Tapi Wakil Ketua DPRD Manokwari Amos H. May berpendapat lain. Usul ini, bagi dia, cuma sumbangan pikiran gereja dan sejumlah pakar. ‘’Bentuknya baru berupa pokok pikiran, bukan rancangan peraturan daerah, karena tidak diusulkan oleh eksekutif dan legislatif,’’ ujar Amos. Ia mengakui ada sejumlah pasal yang kontroversial, bahkan bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi, terutama terkait dengan cara peribadatan. ”Hal bertentangan ini perlu dikaji, sehingga jika diberlakukan tidak menimbulkan konflik,’’ kata Amos.
Menurut Amos, rancangan peraturan itu akan disusun agar tidak menimbulkan guncangan seperti penerapan peraturan daerah antimaksiat di daerah-daerah lain yang berbasis Islam. ”Tidak akan menimbulkan perpecahan karena pada dasarnya setiap orang menginginkan kotanya baik,” katanya.
Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Manokwari bersuara keras. Mereka menilai usul itu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. ”Kami khawatir hal itu merugikan umat Islam karena tidak jelas,” kata La Dama Sholehuddin, Wakil Ketua MUI Manokwari. Kekhawatiran ini sudah disampaikan tim kajian Islam dari MUI setempat kepada Bupati Manokwari Dominggus Mandacan, awal April lalu. Bagaimana, Pak Bupati?
Arif A. Kuswardono, Cunding Levi (Manokwari)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo