Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan gaun merah panjang yang memperlihatkan bahu, dan sarung tangan hingga siku, si jelita Larissa Abramova tampil di depan perjamuan kenegaraan di Sharm el-Sheik, Mesir. Tampak para petinggi Iran dan Amerika Serikat, termasuk Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, yang baru saja selesai menikmati makan malam.
Tiba-tiba saja, Menteri Luar Negeri Iran Manochehr Mottaki meninggalkan ruang. Ia tampak risi melihat pemain biola yang cantik itu mengenakan gaun dengan pundak terbuka.
Sikap aneh Mottaki menjadi gunjingan para tamu. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Sean McCormack, sampai bercanda, ”Yang menyebabkan dia keluar itu si cantik bergaun merah atau menteri luar negeri kami?” Memang, Condoleezza Rice selalu memakai rok di atas lutut dalam pertemuan resmi dengan rekan negara lain.
Tingkah Mottaki itu agaknya cerminan dari konsistensinya terhadap sikap negaranya mengenai etiket berpakaian. Sejak pertengahan April lalu, polisi Iran merazia mereka yang dianggap berpakaian tak pantas. Menurut Wakil Kepala Kepolisian Teheran Hossein Sadjedi-Nia, perempuan yang memakai baju seperti peragawati dengan mantos atau mantel yang terlalu pendek, berbaju ketat, ataupun mengenakan kerudung yang tak menutup seluruh rambut dapat ditahan.
”Mereka yang ditahan akan dibawa ke tempat penampungan. Harus membuat perjanjian tertulis untuk tidak mengulangi pelanggaran itu,” katanya. Ratusan perempuan Iran ditahan minggu lalu karena memakai hijab yang tidak tepat. Banyak dari mereka yang ditahan berjam-jam di kantor polisi, merasa diejek polisi, dianggap wanita tak bermoral. Sebagian diadili karena ngotot tak mau membuat surat perjanjian. ”Saya percaya pakaian itu seharusnya pilihan pribadi dan orang harus bebas memakai yang dia mau,” ujar warga Iran, Zahra Ansari, 36 tahun, ibu dari dua anak.
Perempuan Iran kini diharuskan undang-undang Republik Islam Iran menutup kepala mereka dengan jilbab dan berpakaian gamis atau baju terusan yang tak menunjukkan lekukan. Hal yang sama berlaku bagi warga negara asing dan penganut agama lain.
Seorang mahasiswi asal Indonesia bernama Dina Sulaeman menulis pengalamannya di dalam situs kantor berita IRIB. Ia belajar bahasa Parsi di International University of Imam Khomeini. Di situ mahasiswa asing, apa pun agama dan mazhabnya, wajib ber-chadur—kain hitam yang diselubungkan di seluruh tubuh kecuali muka. Baru sebulan belajar, beberapa mahasiswa Kristen asal Afrika memelopori surat protes atas kewajiban itu. ”Akhirnya, kami dibebaskan dari chadur,” tulis Dina.
Lulus pendidikan bahasa Parsi, Dina pindah ke Tehran University. Semua mahasiswi teologi tempatnya belajar wajib ber-chadur. Sebagian mahasiswi Iran dengan patuh mengenakannya di lingkungan kampus. Tapi, di luar kampus, chadur-nya dilepas dan dimasukkan ke tas.
Chadur memang tidak diwajibkan oleh pemerintah Iran. Yang wajib adalah berjilbab. Semua perempuan di atas sembilan tahun, apa pun agamanya, apa pun warga negaranya, yang berada di Iran harus mengenakan jilbab bila ke luar rumah.
Namun, belakangan, aturan itu tak dipatuhi oleh banyak perempuan Iran, terutama di Ibu Kota Teheran. ”Sebagian dari mereka lebih suka mengenakan jilbab atau kerudung. Artinya, sebagian rambutnya tetap terlihat,” papar Dina. Mode baju yang semakin ketat juga mulai tampak di banyak tempat publik.
Seiring dengan konfrontasi Iran-AS, selain menangkapi perempuan yang tak berjilbab, pemerintah merazia ke toko-toko baju dan menyita baju yang dianggap tak sesuai dengan syariat. Lelaki yang mengenakan dasi, baik dasi panjang maupun kupu-kupu, dan kemeja lengan pendek pun kena jaring.
Pada permulaan masa revolusi 1979, mengenakan dasi adalah simbol kemerosotan moral Barat. Tapi belakangan mereka melonggarkan peraturan itu. Menurut laporan surat kabar Etemad, polisi juga menyebarkan pengumuman ke tempat potong rambut pria dan wanita, memerintahkan mereka tidak melayani pelanggan berdasi—jika mereka tak mau, usahanya ditutup atau izinnya dicabut.
Polisi juga melarang kaum pria mengenakan riasan muka. Anak laki-laki juga dilarang bergaya rambut trendi dengan bagian tengah kepalanya dicukur. ”Kami juga mengincar laki-laki yang memakai baju yang mengenakan rantai dengan lambang tertentu,” kata Kepala Informasi Kepolisian Teheran Mehdi Ahmadi. Dan jalan-jalan di semua kota di Iran akan tertutup oleh lautan jilbab dan pakaian gamis.
Ahmad Taufik (BBC, AP, IRIB)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo