Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Sarko Menumbangkan Sego

Kemenangan Nicolas Sarkozy sebagai presiden baru Prancis disambut dengan kerusuhan. Pengangguran dan problem imigran bakal menghadangnya pagi-pagi.

14 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua cahaya api menyiram Paris pada malam kemenangan Sarkozy. Di jantung ibu kota, para penyokongnya meledakkan kembang api tanda sukacita lalu beradu gelas sampanye. Di wilayah pinggiran, terutama di kantong-kantong imigran, anak-anak muda membakar ban-ban di jalanan. Bara api meletik ke udara sembari mereka memekikkan sumpah-serapah.

Anak-anak muda belum lupa betapa Sarkozy mencerca mereka dengan sebutan ”sampah” ketika Paris dilanda unjuk rasa berdarah para imigran, terutama warga muslim dan kulit hitam Afrika, pada November 2005. Ahad pekan lalu, beberapa saat setelah Sarkozy menumbangkan Segolene Royal, lawannya dari Partai Sosial, titik-titik api berkobar di banyak ruas jalanan ibu kota.

Sekitar 365 kendaraan bermotor dan 730 mobil dipanggang. Keesokannya, lebih dari 200 mobil menjadi bangkai besi. Di Bastille, salah satu distrik di Paris yang di masa silam terkenal dengan keangkeran penjaranya, Bastille Saint Antoine, ratusan pendemo meremukkan kaca-kaca pertokoan, menjarah isinya, dan meledakkan mobil-mobil. ”Sarko fasis!” teriak mereka berulang-ulang dengan amarah berkobar.

Sukacita dan amarah menyambut datangnya Presiden baru. Dengan dukungan 53 persen suara, Sarko tidak menang gilang-gemilang, tapi dia berhasil memecahkan sejumlah rekor. Di antaranya, dia Presiden Prancis pertama yang nonpribumi. Ayahnya imigran Hungaria yang kawin dengan perempuan Prancis. Dia juga pemimpin Prancis pertama yang lahir setelah Perang Dunia II. Dia bukan lulusan Ecole Nationale Administration yang tersohor di Paris sebagai kampus sejumlah presiden.

Selepas kemenangannya, Sarko harus menghadapi dua persoalan besar yang tengah melilit Prancis. Pengangguran dan imigran. Prancis mencatat angka pengangguran tertinggi di seluruh Benua Putih. Urusan penganggur ini pula yang membikin keok Bu Sego Royal. Janjinya untuk menciptakan 500 ribu lapangan pekerjaan baru bagi generasi muda Prancis dianggap terlalu mengada-ada. Pemilih lebih terkesan pada tekad Sarkozy untuk memangkas 3 persen angka pengangguran.

Tanda-tanda kemenangan Sarko atas Sego—dua nama populer mereka di kalangan pemilih—sebetulnya tak begitu meyakinkan jika dilihat dari hasil putaran pertama pada 22 April (lihat Hasil Pemilu 2007). Ketika itu Sarko hanya unggul enam persen suara. Sedangkan masih ada 18,5 persen suara lain yang diraih kandidat ketiga Francois Bayrou dari UDF (Union pour la Democratie Francaise) yang beraliran tengah dengan ”ideologi” Kristen-Demokrat.

Artinya, kemenangan bisa saja jatuh ke tangan Sego di putaran kedua. Apalagi, Bayrou sempat mengisyaratkan dia tak akan menganjurkan kubunya memilih Sarko. Di luar perolehan suara mereka bertiga, masih ada 24,55 persen yang terbagi oleh 10 kandidat minoritas.

Tapi rupanya, di saat-saat akhir, kiprah Sarko sebagai bekas Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan dianggap lebih meyakinkan dibandingkan Sego yang mantan Menteri Lingkungan. ”Saya memutuskan untuk memilih Sarko karena rencana ekonominya yang berorientasi pasar. Dia bisa mengubah Prancis,” kata Anne Combermale, pengangguran berusia 43 tahun yang mencoblos di TPS kawasan bergengsi Champs-Elysees.

Selain program-program ekonominya yang dianggap lebih realistis, gaya pemerintahan Jacques Chirac selama 12 tahun yang mengedepankan etatisme membuat peran negara terlalu dominan. Birokrasi yang beranak-pinak dan tak efektif membuat Prancis selama tahun-tahun terakhir terpuruk menjadi salah satu negara dengan jumlah pengangguran terbesar di kalangan negara-negara maju.

Kerikil tajam lain yang bakal mengganjal sepatu Sarko adalah hubungannya yang retak dengan kalangan imigran. Dia termasuk yang menganjurkan pemerintah mengambil ”tindakan tegas” terhadap imigran perusuh ketika huru-hara besar melanda Prancis pada Oktober 2005. Sampai-sampai dia diledek dengan pepatah ”kacang melupakan lanjaran”. Sindiran itu muncul karena Sarko dianggap tak mengingat asal-usulnya. Dia juga nonpri alias keturunan imigran—ia hanya ”lebih beruntung” karena berkulit putih.

Yang membuat dia terus bertahan antara lain etos kerja kerasnya. ”Sarkozy memang hiperaktif, ambisius, tapi pada saat yang sama juga pekerja keras,” ujar penulis biografinya, Anita Hausser, yang juga editor politik di kanal Prancis LCI.

Kritik yang dilayangkan para penentangnya tampaknya didengar pula oleh Sarko. Dalam kabinet barunya yang mini, hanya 15 orang, hampir separuhnya diisi perempuan. Salah satunya, Richida Dati, berasal dari keluarga imigran Afrika Utara pemeluk Islam. Sarko memang amat berupaya menampilkan kesan ”dia presiden bagi seluruh Prancis” tanpa membedakan rupa, agama, warna kulit.

Dia menyerukan agar negara membantu pembangunan masjid-masjid bagi umat Islam Prancis sebagai wujud kesetaraan dari semboyan legendaris bangsa itu: liberte, egalite, fraternite. ”Rakyat Prancis menginginkan perubahan dan saya akan melakukannya,” katanya pada pidato kemenangan.

Kini setelah jabatan presiden di tangan, tantangan bagi Sarko terletak pada dua hal. Pertama, apakah dia bisa memimpin UMP untuk menjadi mayoritas dalam pemilihan anggota parlemen Prancis pada Juni mendatang. Ini bukan tugas enteng karena ”faktor Bayrou” yang diperkirakan banyak analis politik justru akan berkibar di parlemen.

Kedua, apakah anak imigran Hungaria ini dapat mempertahankan diri terhadap ”demokrasi jalanan” yang dikobarkan oleh para imigran. Salah satu yang sebal dengan kemenangan Sarko adalah para imigran Turki, sebab Sarko terang-terangan menyatakan ”tidak” terhadap keinginan Turki untuk masuk Uni Eropa. Sebaliknya, dia justru menyarankan agar dibentuk sebuah Persatuan Mediterania yang merangkum wilayah dari Turki sampai Maroko.

Hampir 20 tahun lebih Sarko malang melintang dalam birokrasi Prancis. Bekalnya lebih dari cukup. Tapi ujian terbesar bagi dia baru akan dimulai pada 16 Mei nanti, saat Sarko menerima kunci Istana Elysee dari tangan Jaques Chirac.

Akmal Nasery Basral (AFP, BBC, AP, NY Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus