RAMALAN agama Shinto bagi orang berusia 56 tahun hampir terbukti benar. Setidaknya untuk Perdana Menteri Jepang Morihiro Hosokawa. Ramalan itu mengatakan, jangan nekat bila memang sudah ditolak orang banyak. Yang terjadi, Hosokawa gagal mengegolkan rancangan undang-undang reformasi politik di majelis tinggi, Jumat pekan lalu, dengan perbedaan suara mencolok: 130 menolak, dan hanya 118 yang mendukung. Prediksi penolakan itu sebenarnya sudah terbaca, tapi Hosokawa yang keturunan samurai itu tak ingin mencabut janjinya menyampaikan RUU itu ke majelis tinggi. Tapi Hosokawa belum menyerah. Memang masih ada peluang. Konstitusi pasal 59 dan undang-undang parlemen pasal 84 menyebutkan, jika ada RUU ditolak, diadakanlah pertemuan para wakil majelis tinggi dan rendah. Di sidang yang terdiri dari 20 wakil dari kedua majelis, akan ditentukan apakah RUU itu bisa dibahas untuk melihat peluang disahkan. Bila dua pertiga suara setuju, RUU Hosokawa bisa dibahas lagi di kedua majelis. Kalau tidak? Hosokawa harus mundur, sesuai dengan janji yang dibuatnya ketika ia dilantik menjadi perdana menteri Jepang, Agustus tahun lalu. Untuk itu, Hosokawa perlu bekerja keras dalam waktu yang singkat, mengingat masa sidang majelis tinggi berakhir 29 Januari ini. Spekulasi yang beredar di Tokyo menyebutkan, Hosokawa akan melakukan kompromi, dengan menerima usulan Partai Demokratik Liberal, mengubah RUU itu. Yakni soal angka. Partai Demokratik Liberal mengusulkan, dari 471 kursi di majelis rendah, 300 di antaranya dipilih dari wakil daerah. Bukan rahasia lagi, partai yang pernah menjadi mayoritas tunggal bertahun-tahun itu sangat didukung petani di daerah. Dengan komposisi seperti itu, sangat mudah bagi Partai Demokratik Liberal untuk menguasai parlemen. Itu sebabnya, usulan tiga pekan lalu itu ditolak oleh Hosokawa. Tapi kini situasi tampaknya membuat Hosokawa menerima usulan tersebut. Diduga, melalui kompromi itu Hosokawa berharap, sebagian dari 130 suara yang menolak rancangannya di majelis tinggi akan berbalik mendukungnya. Apalagi setelah mendengar pernyataan dari markas besar Partai Sosialis Jepang dan Komeito, yang menyatakan dukungan pada usulan Partai Demokratik Liberal itu. Pekan lalu, Partai Sosialis dianggap berkhianat oleh kubu koalisi, karena 17 di antara 73 anggota majelis tingginya menolak RUU Hosokawa, dan tiga di antaranya sengaja tak hadir. Hari-hari ini, bukan bagi pendukung Hosokawa saja dirasakan beratnya, tapi juga bagi Jepang. Kalau sampai Hosokawa terpaksa mengundurkan diri, politik Jepang niscaya kembali ke titik nol. Upaya kelompok pembaru Jepang untuk menegakkan etika politik sia-sia belaka. Wajah politik lama yang kotor, penuh intrik, dan kasus penyuapan seperti kasus Obayashi pekan lalu akan terus berlangsung. Hubungan "segi tiga besi" politikus- birokrat-industrialis, yang diakui sebagian masyarakat Jepang sebagai andalan perekonomian Jepang, dan yang membuka peluang terhadap berbagai skandal itu, tak tergoyahkan. Kini tinggal menunggu, apakah ramalan agama Shinto berlaku pula bagi langkah Hosokawa selanjutnya. Bila "kegagalan" yang diramalkan itu masih berlaku, besar kemungkinan reformasi politik Hosokawa, yang bisa dibandingkan dengan Reformasi Meiji (memodernisasi Jepang) sekian abad lalu, menemui kegagalan. Dan Jepang akan kembali diwarnai oleh skandal bila saja sistem lama terus berjalan. Didik Prambadi (Jakarta)dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini