DIBUTUHKAN 150 orang untuk menyelenggarakan kesenian hadrah
(TEMPO 9 Agustus 1975) oleh saudarasaudara di Kalimantan.
Pertunjukan ini menurut orang-orang tua munculnya bersamaan
dengan mendaratnya agama Islam di pulau ini. Sebuh payung
ubur-ubur yang dipegang oleh orang yang dihormati, dikuntit oleh
12 orang yang bertugas meningkah lagu dari rebana mereka. Di
belakangnya bersaf 4, masing-masing 12 orang, memegang
bendera-bendera dari berbagai negara -- sementara 75 bendera
kecil berkibar-kibar di tangan rombongan pengikutnya.
Pernah di suatu masa grup-grup hadrah mengalami masa subur-
sebagai pertunjukan yang disajikan kepada para pembesar yang
sedang berkunjung. Juga ia menjadi tontona,n dalam upacara
perkawinan. Bahkan khusus diselenggarakan pada hari-hari
senggang manakala kampung berhajat menyelenggarakan selamatan.
Tentulah panjang kisahnya kalau ditelusuri bagaimana raibnya
secara perlahan-lahan tontonan ini, terutama di kota-kota yang
terbilang gede. Kini bilapun ada, jumlahnya susut dan
peralatannya tidak lengkap. Kata orangorang tua, itulah hadrah
basa-basi.
Underground
Peranan musik dalam hadrah menonjol. Dalam hal ini komposisi dan
gerak lagu hadrah memang unik. Irama yang dipakai berkecepatan
3/4. Juga pukulan rebananya mengikuti metrum yang sama. Ikut
dengan irama lagu itu semua bendera di belakang ubur-ubur
digerakkan dengan kecepatan yang sama, rapi dan mantap. Sumber
lagunya dikutip dari Barzanji atau Diba' yang dikarang oleh
ulama-ulama kenamaan dari masa bahari, dan hingga kini tetap
populer bahkan mendapat tubuh baru berupa orkes gambus dan
grup-grup kasidah. Tapi karena arus yang mengalir dalam
kehidupan masyarakat tampaknya bertambah bergegas, maka lagu
hadrah pun kelihatan mulai tergopoh-gopoh juga. Sekedar selingan
- serta dimaklumi orang banyak -- sering tercetus musik yang
nyerempet selera anak muda masa kini yang doyan musik
underground itu. Ini semacam usaha dari hadrah sendiri untuk
mempertahankan hidupnya dalam perubahan masyarakat yang menjadi
gaduh -- di samping juga harus diingat bahwa dalam pusaka-pusaka
warisan tasauf atau mistik, ritme dan melodi biasanya dekat
dengan underground itu.
Pertolongan lain datang dari orang-orang Banjar sendiri yang
hidupnya di pedesaan. Di sana hadrah masih dijunjung tinggi.
Latihan-latihan masih dilangsungkan di muka surau dan mesjid,
kadang di halaman sekolah atau di rumah kepala kampung.
Kebutuhan perlengkapan dan pakaian seragam memang merupakan
faktor penghalang yang utama. Tetapi toh dapat diatasi oleh
beberapa buah desa, manakala perabot-perabot desa sudi campur
tangan. Bahkan boleh dilaporkan bahwa di beberapa desa yang kaya
ada beberapa buah grup sekaligus. Maka tak salah kalau memang
ada kegiatan menyelenggarakan lomba hadrah.
Lomba-lomba hadrah selamanya unik. Orang-orang desa selalu
menyambutnya dengan bergairah dan masing-masing mempunyai hadrah
idaman, karena seleranya memang macam-macam. Tetapi juri tak
perlu bingung karena penilaian biasanya ditukikkan pada pukulan
rebana dan gerakan bendera. Misalkan pukulan tersebut sudah rata
kedengarannya, karcis untuk menang boleh dibilan sudah
tersabet. Demikian juga halnya dengangerakan bendera. Hal ini
tentu saja tak bisa dinikmati oleh banyak orang kota - yang
meskipun maunya tetap mencintai hadrah, peristiwanya tak mungkin
lagi mereka cerap. Karena mereka hanya menikmatinya lewat kaset.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini