SELAIN bertetangga, Australia-Indonesia bersahabat pula terutama
sejak Jakarta memulai zaman Repelita. Tiada lagi konfrontasi,
yang dulu dikobarkan Pemerintahan Presiden Sukarno. Tapi
ternyata kecurigaan belum lenyap. Yang masih curiga ialah
Canberra, seperti terbukti dari suatu laporan pertahanan yang
baru saja dihebohkan oleh pers Australia.
Laporan itu, semacam petunjuk bagi pemerintah Australia
menghadapi invasi, ditulis oleh tiga pejabat senior Departemen
Pertahanan dalam pertengahan 1970-an. Ancaman invasi Indonesia
dilihatnya sebagai suatu kemungkinan. Para penulisnya waktu itu
mungkin terpengaruh oleh pergolakan di Timor Timur.
Jika diserang oleh suatu kekuatan besar, atau oleh Indonesia
yang bersenjatakan nuklir, Australia perlu memiliki senjata
nuklir untuk mempertahankan dirinya, katanya. Rekomendasi ini
tidak diragukan lagi membantu pemikiran kaum galak (hawks) bahwa
Australia sebaiknya membikin senjata nuklir. Tapi Australia,
yang ikut menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir, tak
bisa melakukannya sekarang.
Laporan itu juga menganjurkan senjata nuklir untuk menahan
serangan Jepang. Dibayangkannya kemungkinan Jepang mengambil
alih sumber mineral Australia yang vital bagi industri Jepang.
Tapi dari kelompok negara Dunia Ketiga hanya Indonesia dan India
yang dianggapnya mungkin berbahaya bagi Australia. Memang India
terbilang agak maju dalam penelitian nuklir untuk keperluan
damai, sedang Indonesia mencoba menyusul dalam hal ini.
Jika Indonesia akhirnya berniat menyerang Australia, menurut
laporan itu, pasukannya terlebih dulu mungkin merebut Papua New
Guinea (PNG) dan Kepulauan Solomon. Kemudian dibayangkannya
Indonesia akan menyeberangkan pasukan melalui Selat Torres ke
Semenanjung Cape York. Kapal-kapal pengangkut pasukan, dan
perlindungan udara, mungkin datang dari beberapa pangkalan yang
baru dibangun, terutama di Daru, bagian selatan PNG.
Laporan itu tidak menganjurkan pasukan Australia supaya dikirim
ke PNG untuk menghadang serangan Indonesia. "Ini akan mengikat
Australia dalam suatu situasi gerilya gaya-Vietnam. " Tapi
dianjurkannya supaya Australia melakukan serangan udara terhadap
pusat-pusat pasukan Indonesia, serta meranjau berbagai
pelabuhan.
Ada kemungkinan pasukan Australia menjadi sibuk melawan pasukan
Indonesia di Cape York. Jika ini terjadi, katanya lagi, serangan
kedua mungkin tiba dari wilayah Timor terhadap baratlaut
Australia.
Dalam situasi terburuk, "jika musuh sesungguhnya mendarat,"
laporan itu menganjurkan supaya wilayah luas bagian utara
Australia dilepaskan saja Wilayah ini terbujur antara Cairns
suatu kota turis di pantai timur, dan North West Cape, satu
tempat terkenai karena pusat komunikasinya yang dikelola oleh
dinas rahasia Amerika (CIA) dan Departemen Pertahanan Australia.
Keputusan mundur ini sejajar dengan rencana Brisbane Line dalam
Perang Dunia II. Menghadapi Jepang dulu Australia berniat akan
mengosongkan semua wilayah bagian utara kota Brisbane bila
terjadi invasi. Bedanya kini ialah garis Brisbane yang baru itu
digeser 1.500 km ke utara.
Laporan itu menasihati pemerintahnya supaya jangan mengharapkan
bantuan Amerika karena AS terlibat dalam "persaingan" menanam
"pengaruh di Jakarta". Dan kalau Indonesia belum merupakan
negara nuklir, menurut laporan itu, Australia sebaiknya jangan
menggunakan senjata nuklir. "Suatu langkah permulaan Australia
untuk memperoleh senjata nuklir yang diarahkan ke Indonesia
hanya akan mendorong mereka berbuat serupa."
Kecurigaan terhadap Indonesia kini tentu agak menertawakan.
"Anggap saja laporan itu suatu latihan berpikir," kata seorang
diplomat Australia.
Di Canberra, sesudah laporan itu bocor dan disiarkan pers,
kalangan parlemen bertanya. "Kami tidak melihat ancaman invasi,"
jawab Laksamana Sir Anthony Synnot, kepala staf pertahanan,
pada suatu komisi parlemen. Hal yang ditakuti Australia,
katanya, ialah terorisme dan kemungkinan srangan tiba-tiba atas
kekayaan alam, seperti sumber minyak dan gas di lepas pantai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini