HUKUMAN, idealnya, adalah alat pendidikan. Karena itu pihak
pendidik tak boleh sembarangan main hukum. Susahnya, guru pun
tak lebih dari manusia yang kadang "tak bisa menahan emosi, lalu
menempeleng atau memukul muridnya," seperti kata Drs. Sukirin,
dosen Psikologi Pendidikan di Fak. Ilmu Pendidikan IKIP Negeri
Yogya.
Contoh guru yang "tak bisa menahan emosi" memang sering
terdengar. Di paruh kedua Maret kemarin, di Sekolah Pendidikan
Guru (SPG) Negeri Tanjungbalai, Sumatera Utara, 16 murid
(termasuk dua wanita) kelas I A dipukuli Bapak Guru mereka
dengan kayu gagang sapu. Dua orang murid, lelaki dan perempuan,
jatuh pingsan. Juga seorang Ibu Guru yang mencoba melerai.
Padahal salah satu kode etik guru berbunyi: jangan menghukum
dengan cara menyakiti badan. "Karena anak itu milik orang tua.
Kalau dia sampai cacat atau perkembangannya terhambat, yang
salah gurunya," tutur Sukirin, 54 tahun, bapak sembilan anak
itu.
Dari 16 murid SPGN Tanjungbalai yang kena pukul itu, seorang
yang pingsan, murid pria, terpaksa mondok di rumah sakit sampai
tiga hari. Yang lain -- atas permintaan Drs. Asril Tamar, 49
tahun, Kepala Sekolah SPGN tersebut-pun memeriksakan diri ke
rumah sakit. Untung tak perlu dirawat.
Kisah ini bermula pada jam pelajaran Bahasa Indonesia -- jam
ketiga hari itu. Ibu Halidah Zaitun, gurunya, memberikan soal
kepada kelas I A: mengubah kalimat tak langsung menjadi kalimat
langsung. 'Herman menanyakan, apakah ia boleh meminjam buku
saya' -- itulah kalimat yang harus diubah. Ternyata ada dua
macam jawaban, yang oleh Bu Halidah sama-sama dinilai benar.
Tapi para murid yang calon guru itu tak bisa menerima begitu
saja keterangan si guru. Masing-masing mempertahankan pendapat
dan menyalahkan pendapat teman. Terbagilah kelas itu menjadi
dua kelompok, dan berdebat seru. Ini dibiarkan oleh Bu Guru --
memang salah satu cara membuat murid aktif.
Tapi ternyata berlarut-larut. Hinga saat istirahat, setelah jam
pelajaran nsai, belum juga diperoleh kata sepakat. Di situlah
terjadi pertengkaran kecil. Beberapa orang mengusulkan diadakan
angket. Tapi seorang murid, John Piter, tak setuju. "Nanti ada
yang ikut-ikutan saja tanpa memberi alasan," katanya. Seorang
temannya rupanya menilai pendapat si John sebagai "mengacau" --
sembari kakinya ikut bicara.
Nah, si John yang waktu disepak temannya itu diam saja, ternyata
melapor kepada guru piket hari itu -- J. Simarmata, guru
matematika. Langsung saja sisa waktu istirahat digunakan Pak
Simarmata mengumpulkan 16 murid I A dan mengusut duduk soal.
Keputusan Pak Guru berusia 25 tahun itu agak mengejutkan para
muridnya: mereka diminta menandatangani pernyataan tak akan
mengulang perbuatan semacam itu.
"Lho? Buat apa kami menandatangani pernyataan ini, Pak," bantah
murid yang menyepak si John dengan nada agak keras. "Apa kalian
mau melawan saya?" sahutPak Simarmata, dengan keras pula. Dan
tiba-tiba disambarnya gagang sapu yang berada di dekatnya,
lantas ke-16 murid I A itu dihajarnya tanpa ampun --termasuk si
John yang melapor. Pemukulan baru berhenti setelah seorang Ibu
guru yang mencoba melerai jatuh pingsan.
Pada jam pelajaran ke-4, pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial,
murid I A, kembali belajar seperti tak terjadi apa-apa. Tapi
tak lama kemudian seorang murid cewek menjerit -- lantas
pingsan. Ia memang termasuk yang kena pukul tadi. Tak lama
kemudian si John jatuh pingsan pula.
Memegang Telinga
"Saya menyesalkan sekali kejadian itu," kata Kepala Sekolah,
SPGN tersebut, yang sewaktu peristiwa berlangsung tidak di
tempat. "Tapi saya tak bisa menyalahkan guru itu begitu saja.
Murid sekarang memang bandel, dan guru pun bisa saja terpancing
emosinya.'
Meski begitu, Pak Simarmata telah diminta tak mengajar sampai
waktu yang belum ditentukan.
Salahkah Pak Simarmata?
Di Jakarta malahan bekas kepala sekolah SMA PSKD (Perkumpulan
Sekolah Kristen Djakarta) I dan IV punya kebiasaan ini: selalu
membawa tongkat rotan sepanjang semeter, guna menghajar siswanya
yang dianggap bersalah. "Anak yang salah harus diingatkan
seketika, supaya sadar dan mengaku salah," tutur Pieter
Dominicus Soplanit, kepala sekolah yang pensiun sejak Januari
yang lalu. Ia telah mengabdi pada dunia pendidikan 34 tahun, dan
sejak 1960 mulai membawa tongkat rotan itu.
Memang Oom Piet, begitu muridnya memanggilnya, tak sembarang
main pukul. Misalnya, ia pantang memukul murid cewek. Hukuman
cewek hanya disuruh memegang telinga kanan dengan tangan kiri,
dan telinga kiri dengan tangan kanan, lantas disuruh jongkok dan
berdiri -- berkali-kali hingga dirasa cukup.
Lebih lagi ada syarat sangat penting sebelum menjatuhkan
hukuman. Katanya: "Kita harus dekat dengan anak-anak. Kalau
tidak, justru tujuan menghukum tak tercapai -- bisa-bisa
anak-anak menyimpan dendam. Itulah mengapa guru lain tak pernah
saya izinkan melakukan pemukulan."
Freddy, kini kelas III IPA SMA PS KD IV, pernah dihajar
pantatnya dengan tongkat rotan Oom Piet. "Tapi kami mencintai
Oom Piet, dan merasa kehilangan sejak ia pensiun. Kami tahu,
kalau ia menjatuhkan hukuman, memang kamilah yang bersalah."
Bukti bahwa Oom Piet dicintai, setiap 22 Februari anak-anak
merayakan ulang tahun kepala sekolahnya itu di sekolah. Dan 22
Februari yang lalu, karena Oom Piet tak lagi bertugas, kue tar
diantarkan ke rumahnya.
Toh Drs. Sukirin, dosen Psikologi Pendidikan itu, lebih setuju
dengan hukuman "yang punya manfaat lain bagi murid." Contohnya,
disuruh mengerjakan soal sampai dua kali. Tapi ia pun menyadari
beberapa anak yang bandel susah diperbaiki dengan hanya begitu.
"Menjewer telinga atau mencubit murid putri, bila terpaksa,
karena anaknya memang bandel, boleh juga," katanya.
Di Bawah Hujan
Tentu saja bentuk hukuman fisik ada batasnya. Di SMA Pancamarga
Bhakti, Kutoarjo, Jawa Tengah, Februari lalu sejumlah siswa
dihukum berdiri di tengah hujan lebat -- karena tak mengenakan
seragam sekolah. Hasilnya, keesokan harinya, kaca jendela
sekolah berantakan. Tembok penuh corat-coret menuntut empat guru
yang menghukum mereka dipecat. Akhirnya pihak yayasan yang
mengelola SMA swasta itu mengganti kepala sekolahnya.
Di samping itu, penjatuhan hukuman sendiri tentu saja merupakan
jalan terakhir. Apalagi bila seorang anak bisa disadarkan dengan
cara diskusi, misalnya, seperti yang dilakukan Pak Guru
Boedisantoso dari SMAN III Yogya. Pak Boedi ini pernah
menyadarkan muridnya yang ikut menodong, dan seorang lagi yang
menantang gurunya berkelahi, dengan mengajaknya bercakap-cakap
-- dan berjanji tak akan menceritakan pembicaraan itu kepada
siapa pun. Tapi ia pun menyarankan, bila perlu murid itu
ditempeleng saja -- kalau memang kata-kata tak mempan lagi.
Guru-guru memang sama sekali tak bermaksud jahat, tentu saja.
Walaupun mereka juga manusia biasa yang bisa tergoda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini