Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bila pak guru menghukum

Masalah hukuman fisik yang dilakukan guru terhadap muridnya, dan kasus 16 murid spgn tanjung balai yang dipukuli oleh gurunya. banyak kasus-kasus hukuman badan oleh guru. (pdk)

4 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUKUMAN, idealnya, adalah alat pendidikan. Karena itu pihak pendidik tak boleh sembarangan main hukum. Susahnya, guru pun tak lebih dari manusia yang kadang "tak bisa menahan emosi, lalu menempeleng atau memukul muridnya," seperti kata Drs. Sukirin, dosen Psikologi Pendidikan di Fak. Ilmu Pendidikan IKIP Negeri Yogya. Contoh guru yang "tak bisa menahan emosi" memang sering terdengar. Di paruh kedua Maret kemarin, di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Tanjungbalai, Sumatera Utara, 16 murid (termasuk dua wanita) kelas I A dipukuli Bapak Guru mereka dengan kayu gagang sapu. Dua orang murid, lelaki dan perempuan, jatuh pingsan. Juga seorang Ibu Guru yang mencoba melerai. Padahal salah satu kode etik guru berbunyi: jangan menghukum dengan cara menyakiti badan. "Karena anak itu milik orang tua. Kalau dia sampai cacat atau perkembangannya terhambat, yang salah gurunya," tutur Sukirin, 54 tahun, bapak sembilan anak itu. Dari 16 murid SPGN Tanjungbalai yang kena pukul itu, seorang yang pingsan, murid pria, terpaksa mondok di rumah sakit sampai tiga hari. Yang lain -- atas permintaan Drs. Asril Tamar, 49 tahun, Kepala Sekolah SPGN tersebut-pun memeriksakan diri ke rumah sakit. Untung tak perlu dirawat. Kisah ini bermula pada jam pelajaran Bahasa Indonesia -- jam ketiga hari itu. Ibu Halidah Zaitun, gurunya, memberikan soal kepada kelas I A: mengubah kalimat tak langsung menjadi kalimat langsung. 'Herman menanyakan, apakah ia boleh meminjam buku saya' -- itulah kalimat yang harus diubah. Ternyata ada dua macam jawaban, yang oleh Bu Halidah sama-sama dinilai benar. Tapi para murid yang calon guru itu tak bisa menerima begitu saja keterangan si guru. Masing-masing mempertahankan pendapat dan menyalahkan pendapat teman. Terbagilah kelas itu menjadi dua kelompok, dan berdebat seru. Ini dibiarkan oleh Bu Guru -- memang salah satu cara membuat murid aktif. Tapi ternyata berlarut-larut. Hinga saat istirahat, setelah jam pelajaran nsai, belum juga diperoleh kata sepakat. Di situlah terjadi pertengkaran kecil. Beberapa orang mengusulkan diadakan angket. Tapi seorang murid, John Piter, tak setuju. "Nanti ada yang ikut-ikutan saja tanpa memberi alasan," katanya. Seorang temannya rupanya menilai pendapat si John sebagai "mengacau" -- sembari kakinya ikut bicara. Nah, si John yang waktu disepak temannya itu diam saja, ternyata melapor kepada guru piket hari itu -- J. Simarmata, guru matematika. Langsung saja sisa waktu istirahat digunakan Pak Simarmata mengumpulkan 16 murid I A dan mengusut duduk soal. Keputusan Pak Guru berusia 25 tahun itu agak mengejutkan para muridnya: mereka diminta menandatangani pernyataan tak akan mengulang perbuatan semacam itu. "Lho? Buat apa kami menandatangani pernyataan ini, Pak," bantah murid yang menyepak si John dengan nada agak keras. "Apa kalian mau melawan saya?" sahutPak Simarmata, dengan keras pula. Dan tiba-tiba disambarnya gagang sapu yang berada di dekatnya, lantas ke-16 murid I A itu dihajarnya tanpa ampun --termasuk si John yang melapor. Pemukulan baru berhenti setelah seorang Ibu guru yang mencoba melerai jatuh pingsan. Pada jam pelajaran ke-4, pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, murid I A, kembali belajar seperti tak terjadi apa-apa. Tapi tak lama kemudian seorang murid cewek menjerit -- lantas pingsan. Ia memang termasuk yang kena pukul tadi. Tak lama kemudian si John jatuh pingsan pula. Memegang Telinga "Saya menyesalkan sekali kejadian itu," kata Kepala Sekolah, SPGN tersebut, yang sewaktu peristiwa berlangsung tidak di tempat. "Tapi saya tak bisa menyalahkan guru itu begitu saja. Murid sekarang memang bandel, dan guru pun bisa saja terpancing emosinya.' Meski begitu, Pak Simarmata telah diminta tak mengajar sampai waktu yang belum ditentukan. Salahkah Pak Simarmata? Di Jakarta malahan bekas kepala sekolah SMA PSKD (Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta) I dan IV punya kebiasaan ini: selalu membawa tongkat rotan sepanjang semeter, guna menghajar siswanya yang dianggap bersalah. "Anak yang salah harus diingatkan seketika, supaya sadar dan mengaku salah," tutur Pieter Dominicus Soplanit, kepala sekolah yang pensiun sejak Januari yang lalu. Ia telah mengabdi pada dunia pendidikan 34 tahun, dan sejak 1960 mulai membawa tongkat rotan itu. Memang Oom Piet, begitu muridnya memanggilnya, tak sembarang main pukul. Misalnya, ia pantang memukul murid cewek. Hukuman cewek hanya disuruh memegang telinga kanan dengan tangan kiri, dan telinga kiri dengan tangan kanan, lantas disuruh jongkok dan berdiri -- berkali-kali hingga dirasa cukup. Lebih lagi ada syarat sangat penting sebelum menjatuhkan hukuman. Katanya: "Kita harus dekat dengan anak-anak. Kalau tidak, justru tujuan menghukum tak tercapai -- bisa-bisa anak-anak menyimpan dendam. Itulah mengapa guru lain tak pernah saya izinkan melakukan pemukulan." Freddy, kini kelas III IPA SMA PS KD IV, pernah dihajar pantatnya dengan tongkat rotan Oom Piet. "Tapi kami mencintai Oom Piet, dan merasa kehilangan sejak ia pensiun. Kami tahu, kalau ia menjatuhkan hukuman, memang kamilah yang bersalah." Bukti bahwa Oom Piet dicintai, setiap 22 Februari anak-anak merayakan ulang tahun kepala sekolahnya itu di sekolah. Dan 22 Februari yang lalu, karena Oom Piet tak lagi bertugas, kue tar diantarkan ke rumahnya. Toh Drs. Sukirin, dosen Psikologi Pendidikan itu, lebih setuju dengan hukuman "yang punya manfaat lain bagi murid." Contohnya, disuruh mengerjakan soal sampai dua kali. Tapi ia pun menyadari beberapa anak yang bandel susah diperbaiki dengan hanya begitu. "Menjewer telinga atau mencubit murid putri, bila terpaksa, karena anaknya memang bandel, boleh juga," katanya. Di Bawah Hujan Tentu saja bentuk hukuman fisik ada batasnya. Di SMA Pancamarga Bhakti, Kutoarjo, Jawa Tengah, Februari lalu sejumlah siswa dihukum berdiri di tengah hujan lebat -- karena tak mengenakan seragam sekolah. Hasilnya, keesokan harinya, kaca jendela sekolah berantakan. Tembok penuh corat-coret menuntut empat guru yang menghukum mereka dipecat. Akhirnya pihak yayasan yang mengelola SMA swasta itu mengganti kepala sekolahnya. Di samping itu, penjatuhan hukuman sendiri tentu saja merupakan jalan terakhir. Apalagi bila seorang anak bisa disadarkan dengan cara diskusi, misalnya, seperti yang dilakukan Pak Guru Boedisantoso dari SMAN III Yogya. Pak Boedi ini pernah menyadarkan muridnya yang ikut menodong, dan seorang lagi yang menantang gurunya berkelahi, dengan mengajaknya bercakap-cakap -- dan berjanji tak akan menceritakan pembicaraan itu kepada siapa pun. Tapi ia pun menyarankan, bila perlu murid itu ditempeleng saja -- kalau memang kata-kata tak mempan lagi. Guru-guru memang sama sekali tak bermaksud jahat, tentu saja. Walaupun mereka juga manusia biasa yang bisa tergoda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus