"SEPULUH tahun lalu, kita masih bisa tertawa melihat para mullah di Iran berupaya mengembalikan negerinya ke Abad Pertengahan," kata seseorang di kedai kopi di seberang pelabuhan Aljier. "Sekarang, ketika para fundamentalis menguasai Aljazair, kita berhenti tertawa. . . ." Di sudut-sudut Aljier yang lusuh, percakapan seperti itu lazim terjadi, setelah hasil pemilu nasional putaran pertama diumumkan: partai Islam fundamentalis, FIS, meraih hampir 48% suara. Mereka adalah orang-orang berpendirian sekuler, seperti Leila, seorang guru sekolah menengah yang tidak percaya bahwa para fundamentalis, suatu hari, akan berkuasa di negerinya. Selama ini, mereka menilai "kelompok berjanggut" itu tidak lebih dari sekelompok orang yang ribut-ribut tapi tidak penting. Selama ini, perhatian para cendekiawan terpusat pada upaya mendongkrak partai berkuasa, FLN, dan penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis. Maka mereka kaget, dan seorang cendekia yang diwawancarai di radio Aljier menjawab bahwa "Kemenangan FIS merupakan sebuah pengkhianatan: mendirikan sebuah negara Islam atas nama demokrasi". Ketakutan diterapkannya sistem negara Islam macam Iran, yang katanya menelikung kebebasan bergerak kaum Hawa, membuat Leila dan kawan-kawan mengharapkan sesuatu yang sebetulnya bertentangan dengan prinsip mereka. "Tanpa disadari, kami mengharapkan angkatan bersenjata mengambil kekuasaan . . .," katanya pada Le Nouvel Observateur edisi pertengahan Januari. Padahal, dalam kerusuhan Oktober 1988, kelompok cendekia itu berdiri di sisi para pemuda "berjanggut" melawan tentara. Zina, sahabat Leila misalnya, "Sepanjang hari, saya membersihkan luka-luka mereka yang kena tembak." Pemuda yang ditolong Zina adalah yang dikeluarkan dari sekolah, tidak punya pekerjaan, dan tidak punya rumah. Mereka "lebih baik mati daripada putus asa", kenang Zina. Di balik janggut dan jubah mereka, pemuda-pemuda itu penuh penderitaan. "Mereka membenci orang-orang yang lebih beruntung daripada mereka: pejabat Pemerintah, anggota angkatan bersenjata, saudagar yang memiliki mobil dan mampu berlibur ke luar negeri, dan bahkan mereka yang sekadar bisa berbahasa Prancis, punya pekerjaan dan tempat tinggal," tutur Zina lebih lanjut. Ketika kembali terjadi kerusuhan, Juni 1991, yang turun ke jalan adalah bocahbocah FIS. Para cendikia ketakutan. Sebenarnya, amarah Zina dan kawan-kawannya lebih banyak tertuju kepada FLN ketimbang FIS. "Selama 30 tahun berkuasa, FLN membodohi rakyat. Kita sudah lama tahu bahwa Pemerintah korup, tapi sekarang kita tahu mereka juga bodoh!" Sebagian kaum cendekia, sebenarnya, justru ingin melihat FIS memegang pemerintahan. Biar cepat ketahuan, bisakah mereka mengatasi "defisit ekonomi, pengangguran, kekurangan sekolah dan perumahan," kata Majid, seorang cendekia dari Konstantin. Lalu dijawabnya sendiri, "FIS tak kan mampu menghadapi itu semua." Yang mereka harapkan kemudian adalah FIS akan minta bantuan para teknokrat, tak jadi bikin negara Islam, tapi negara demokrasi. Mungkin itu impian dari mereka yang putus asa: dari kanan digencet tentara, dari kiri dipepet FIS. Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini