Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan Aung San Suu Kyi dengan Jenderal Than Shwe pada akhir tahun lalu berbuah manis. Suu Kyi menangkap isyarat penting dari mantan pemimpin junta militer Myanmar itu. Isyarat yang kelak mempengaruhi langkahnya untuk menjadi presiden baru Myanmar.
"Dia (Suu Kyi) akan menjadi pemimpin masa depan negara ini. Saya akan mendukung dia dengan segala kekuatan saya," kata Than Shwe, seperti diucapkan cucunya, Nay Shwe Thway Aung, melalui akun Facebooknya. Thway Aung menjadi penengah dalam pertemuan dua tokoh Myanmar tersebut.
Thway Aung juga mengunggah gambar selembar uang kertas pecahan 5.000 kyat (sekitar Rp 55 ribu). Lembar uang berwarna merah itu diteken oleh tiga tokoh penting Myanmar, yaitu Than Shwe, Presiden Thein Sein, dan Suu Kyi. "Mereka menandatanganinya hanya sebelum mereka menjadi kepala negara atau saat mereka kepala negara," ujar dia.
Suu Kyi menemui Than Shwe di kediamannya di ibu kota Myanmar, Naypyidaw, pada 4 Desember lalu. Selama dua setengah jam mereka berbincang. Than Shwe, 83 tahun, menjadi tokoh ketiga yang ditemui Suu Kyi setelah memastikan kemenangan telak partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dalam pemilihan umum pada 8 November. Pemilu ini disebut yang paling demokratis dalam 25 tahun.
Sepekan sebelum itu, Suu Kyi berbincang dengan Presiden Thein—mantan jenderal junta. Perempuan 70 tahun yang dijuluki The Lady atau Sang Nyonya ini juga menemui Jenderal Min Aung Hlaing, kepala militer dan suksesor Than Shwe. Di atas kertas, Presiden Thein dan Jenderal Min adalah dua orang yang paling berkuasa di Myanmar.
Than Shwe memang tak lagi memegang peran resmi. Ia mundur dari panggung politik pada 2011. Than Shwe lantas meneruskan kekuasaan yang digenggamnya selama 19 tahun kepada rezim semi-sipil di tangan Presiden Thein. Meski begitu, "Than Shwe diyakini masih berpengaruh di belakang layar," demikian menurut BBC News.
Suu Kyi sangat menyadari peran strategis Than Shwe. Itu sebabnya pemimpin prodemokrasi Myanmar ini rela menyambangi sang jenderal. "Ia meyakini pengaruh besar Than Shwe terhadap pemerintahan Myanmar dan Tatmadaw (militer—Red.)," kata tokoh senior NLD dan anggota parlemen, Win Htein, membenarkan pertemuan itu.
Pernyataan Than Shwe memicu sejumlah dugaan. Salah satunya adalah ia dianggap memberi "lampu hijau" untuk amendemen konstitusi. Bagi Suu Kyi dan NLD, konstitusi baru Myanmar ibarat garis api. Aturan yang dirancang oleh junta pada 2008 itu membatasi peluang Suu Kyi menjadi presiden. Padahal ia adalah pemimpin partai pemenang pemilu.
Adalah Pasal 59 (f) yang mengganjal langkah Suu Kyi. Pasal itu menyebutkan siapa pun yang memiliki pasangan atau keturunan asing tidak dapat menjadi presiden. Suami Suu Kyi terdahulu, Michael Aris, dan kedua putranya adalah warga Inggris. "Pasal itu sengaja dimasukkan untuk melindungi rakyat kita dari serbuan asing," kata juru bicara fraksi militer di parlemen, Brigadir Jenderal Tin San Naing.
Di Naypyidaw, jadwal pemilihan presiden mundur. Parlemen seharusnya memulai proses pencalonan kandidat pada bulan ini. "Saya umumkan bahwa pengajuan tiga calon presiden akan dimulai pada 17 Maret mendatang," kata ketua bersama majelis rendah dan majelis tinggi, Mahn Win Khaing Than, dalam sidang parlemen, Senin pekan lalu.
Parlemen hanya memiliki waktu dua pekan untuk memilih pengganti Presiden Thein Sein. Majelis rendah, majelis tinggi, dan fraksi militer masing-masing menyodorkan satu nama calon presiden. Ketiga lembaga itu lantas berembuk untuk memilih salah satu kandidat sebagai presiden. Sedangkan dua calon lain otomatis menjadi wakil presiden.
Sejumlah tokoh NLD mengatakan pemilihan presiden ditunda karena Suu Kyi masih bernegosiasi dengan junta militer. "Saya pikir semuanya akan baik-baik saja," kata anggota komite pusat NLD, Kyaw Htwe, kepada The Guardian. "Negosiasi akan berdampak positif bagi pemimpin kita Aung San Suu Kyi untuk menjadi presiden."
Suu Kyi bergegas mendekati junta setelah pemilihan umum. Ia telah dua kali menemui Jenderal Min Aung Hlaing, yaitu pada 2 Desember 2015 dan 25 Januari 2016, di Naypyidaw. Keduanya dikabarkan sepakat perihal opsi untuk mengubah konstitusi. "Negosiasi untuk menangguhkan Pasal 59 (f) mencapai hasil positif," begitu menurut laporan dua stasiun televisi propemerintah, Sky Net dan Myanmar National Television.
Dalam pertemuan kedua, Suu Kyi dan Jenderal Min berbincang seputar transisi kekuasaan pasca-pemilu, urusan parlemen, dan tugas pemerintah baru. Ikut bersama Suu Kyi antara lain anggota komite pusat NLD Win Htein, Win Myint, dan Zaw Mint Aung. Dari militer hadir wakil kepala militer Jenderal Soe Win. "Kami berdua sepakat untuk bekerja sama demi negara," kata Jenderal Min mengenai hasil perbincangannya selama dua jam dengan Suu Kyi, seperti dikutip Eleven Myanmar.
Bagi Suu Kyi, peran junta sangat vital untuk memuluskan langkahnya menjadi presiden. Sebab, untuk dapat mencalonkan Suu Kyi, NLD harus terlebih dulu mengubah konstitusi. Sedangkan kekuatan NLD di parlemen rupanya masih belum cukup untuk menggulirkan usulan amendemen. NLD harus merangkul fraksi militer, yang menguasai 25 persen kursi di majelis rendah dan majelis tinggi. "Suara NLD tidak sampai 75 persen plus satu, syarat supermayoritas untuk mengubah konstitusi," begitu menurut Gulf News.
Suu Kyi selalu mengelak saat ditanya seputar negosiasinya dengan junta. "Jangan cemas. Anda akan tahu kapan saatnya tiba," katanya kepada wartawan pekan lalu. Namun, dalam politik, tentu tidak ada makan siang gratis. Sejumlah media lokal melaporkan bahwa junta telah meminta jatah kepada NLD untuk menunjuk menteri kepala di empat daerah kunci. Permintaan itu sebagai tukar guling atas dukungan militer untuk amendemen.
Junta mengincar wilayah Yangon, serta Negara Bagian Shan, Rakhine, dan Kachin. Yangon, bekas ibu kota Myanmar, adalah pusat perekonomian di negara itu. Adapun tiga daerah lain merupakan kawasan rawan konflik. Pemberontakan etnis minoritas terhadap pemerintah militer kerap menyeruak di wilayah Shan, Rakhine, dan Kachin.
"Militer mengatakan mereka ingin menjaga stabilitas di empat wilayah itu. Permintaan ini seharusnya tidak berlebihan," kata seorang pejabat militer di Naypyidaw, seperti dikutip Malaysia Kini. "Saya pikir NLD akan setuju."
Permintaan itu, bila disetujui NLD dan Suu Kyi, akan memperkuat cengkeraman militer. Sebab, berdasarkan Konstitusi 2008, junta dipastikan menggenggam kursi Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Perbatasan. Tiga kementerian dengan anggaran jumbo itu mendominasi birokrasi. "NLD bisa kesulitan mengeksekusi kebijakan," demikian dituliskan Reuters.
Namun Suu Kyi tak hilang akal. Ia menempuh manuver lain dengan menunjuk Shwe Mann sebagai ketua komite penasihat hukum parlemen. Komite yang dibentuk pada 2011 ini berisi ahli hukum, legislator, dan anggota militer. "Tugasnya memberi masukan kepada parlemen seputar masalah hukum dan undang-undang," kata analis politik Pe Myint.
Shwe Mann, 68 tahun, merupakan politikus kawakan di Myanmar. Ia adalah mantan orang nomor tiga di junta saat militer masih menguasai negara itu selama setengah abad. Ia mendukung Suu Kyi sejak menjadi penasihat kunci NLD dalam pemilu lalu. "Shwe Mann diharapkan dapat mendorong perubahan konstitusi," begitu menurut The Guardian.
NLD serius dengan rencana merevisi konstitusi. Tun Tun Hein, ketua komisi perundangan di majelis rendah, mengatakan parlemen akan mengutamakan perubahan undang-undang yang dianggap kedaluwarsa dan tidak selaras dengan zaman. "Konstitusi juga perlu diamendemen karena itu salah satu undang-undang," kata dia seperti dikutip Reuters.
Di pihak lain, junta masih bersikap abu-abu terhadap opsi amendemen. Fraksi militer di parlemen menyatakan konstitusi adalah harga mati. Mereka menolak perubahan meski Jenderal Min telah mengatakan siap bekerja sama dengan Suu Kyi. "Pasal 59 (f) tidak dapat dihapus. Ini bertentangan dengan konstitusi," kata Brigadir Jenderal Tin San Naing.
Mayor Jenderal Tauk Tun, anggota fraksi militer paling senior di majelis rendah, berpendapat amendemen bukan pilihan yang mustahil. Tapi, menurut dia, proses itu tidak akan berjalan mudah dan singkat. "Bahkan, bila kedua pihak setuju untuk mengubah konstitusi, masih akan diperlukan referendum nasional," kata dia.
Seorang pensiunan jenderal di Naypyidaw mengatakan junta tidak bulat menolak amendemen. "Itu hanya sikap dari pengikut garis keras di militer," ujarnya kepada Daily Star. Menurut dia, sikap junta sepenuhnya diwakili Jenderal Min. Terlebih, Suu Kyi telah bertemu dengan Than Shwe. "Ia tampaknya telah memberi restu publik kepada Suu Kyi."
Suu Kyi belum menggenggam ujung dari lobi politiknya dengan junta. Namun ia sejak awal telah menyiapkan skenario terburuk. Ia memilih menjadi presiden di balik layar dan akan menyodorkan kandidat pengganti yang menuruti garis partai. Dengan begitu, kata Suu Kyi, ia akan tetap berkuasa meski tak berstatus sebagai presiden. "Di negara demokrasi mana pun, pemimpin partai pemenang menjadi pemimpin pemerintah."
Mahardika Satria Hadi (BBC News, Myanmar Times, The Guardian, Reuters, Daily Star)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo