Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Keuangan Bambang Soemantri Brodjonegoro punya kebiasaan baru. Sejak mengetahui penerimaan pajak pada minggu kedua Desember baru Rp 14 triliun, ia telaten menghubungi satu per satu pucuk pimpinan badan usaha milik negara. "Ada beberapa direktur BUMN yang dihubungi," kata Bambang kepada Tempo, dua pekan lalu.
Melalui percakapan telepon, Bambang meminta perusahaan pelat merah memanfaatkan tarif pajak revaluasi terendah, yakni diskon 70 persen, yang berlaku hingga akhir Desember lalu. "Ini win-win solution buat perusahaan dan pemerintah," kata dia.
Seorang direktur utama badan usaha milik negara membenarkan pernah ditelepon Bambang menjelang tengah malam medio Desember lalu. Perusahaan yang ia pimpin ditodong Bambang untuk segera melaporkan hasil penghitungan ulang aset ke Direktorat Jenderal Pajak. "Pak Menteri yang menelepon langsung," kata petinggi salah satu bank pelat merah itu, akhir Januari lalu.
Bambang menempuh upaya itu karena angka penerimaan pajak pada Desember mengkhawatirkan. Pemerintah berharap ada tambahan Rp 120 triliun pada bulan itu untuk menyelamatkan penerimaan Rp 1.000 triliun pada 2015. Pajak penghasilan (PPh) revaluasi diharapkan jadi sumber utama.
Telepon Bambang direspons. Setoran pajak revaluasi langsung menggerojok mulai minggu ketiga Desember. Tercatat per akhir Desember 2015 ada tambahan penerimaan Rp 20,14 triliun dari pajak revaluasi. Angka itu melampaui target pajak revaluasi Rp 10 triliun.
Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi menyebutkan setoran pajak tersebut berasal dari wajib pajak BUMN Rp 10,6 triliun, wajib pajak swasta Rp 9 triliun, dan wajib pajak pribadi Rp 7 miliar.
Menteri Keuangan menerbitkan kebijakan diskon itu pada medio Oktober 2015 sebagai bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi V. Beleid itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan bagi permohonan yang diajukan pada 2015 dan 2016. Insentif keringanan tarif pajak penghasilan diberikan kepada selisih nilai hasil revaluasi aset.
Dalam beleid tersebut, tarif PPh atas selisih hasil revaluasi aset diturunkan berjenjang dari 10 persen menjadi 3 hingga 6 persen. Tarif 3 persen dikenakan untuk permohonan periode Oktober-Desember 2015, dengan pelaksanaan revaluasi aset pada bulan yang sama. Adapun permohonan yang diajukan pada 1 Januari hingga Juni 2016 dikenai tarif 4 persen dan tarif 6 persen dalam rentang 1 Juli hingga 31 Desember 2016. "BUMN, perusahaan swasta, dan individu wajib pajak diharapkan memanfaatkannya," kata Bambang.
Revaluasi aset merupakan program andalan pemerintah. Idenya dicetuskan Presiden Joko Widodo saat mengundang 119 direktur utama BUMN di Istana Negara pada 18 Mei lalu. Presiden didampingi Menteri Koordinator Perekonomian saat itu Sofyan Djalil, Menteri BUMN Rini Soemarno, dan Bambang Brodjonegoro. Kepada para direktur, Jokowi meminta BUMN meningkatkan kemampuannya menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Jokowi, kata seorang petinggi BUMN yang hadir dalam pertemuan itu, meminta semua BUMN merevaluasi asetnya. Jokowi berharap perbaikan kinerja finansial memberikan ruang bagi perusahaan untuk menggenjot ekspansi.
Kekayaan BUMN diyakini berlipat setelah dihitung ulang. Tambahan hasil hitung ulang itu bisa menjadi ekuitas untuk menambah modal. Naiknya modal akan membuat kemampuan BUMN mencari pinjaman lebih mudah. Rasio ekuitas terhadap utang (debt to equity ratio) dari sebelumnya 4-5 kali akan naik menjadi 2 kali. Sejumlah perusahaan pelat merah juga didorong menjadi perusahaan terbuka. Revaluasi aset salah satu cara agar perusahaan bisa terdaftar di lantai bursa. "Jadi, ini pucuk dicinta ulam tiba," kata Djoko Retnadi, Direktur PT Rajawali Nusantara Indonesia.
Namun para direktur mengeluhkan beban pajak 10 persen. Pajak dianggap membebani karena tidak ada pendapatan baru ke kas perusahaan. Presiden saat itu menyampaikan masalah pajak bisa diselesaikan karena ini urusan "kantong kanan kantong kiri". Alternatifnya, menurunkan tarif pajak penghasilan revaluasi atau dikonversi menjadi penyertaan modal negara (PMN). "Bisa saja kalau punya pajak dikembalikan lagi jadi PMN," ujar Jokowi, seperti ditirukan salah satu direktur utama BUMN yang hadir pada pertemuan itu.
Perusahaan mulai merancang program revaluasi. Menteri Rini Soemarno mendaftar 79 perusahaan bisa mengikuti program itu. Perdebatannya cukup alot. Rini meminta penyertaan modal negara dalam bentuk penghapusan pajak revaluasi. Alternatif lain, BUMN tersebut dapat mencicil pajak hingga 10 tahun. Adapun Direktur Jenderal Pajak saat itu, Sigit Pramudito, mengusulkan tarif minimal 5 dan 9 persen karena tak mau kehilangan potensi penerimaan.
Hingga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191 diterbitkan, kebijakan yang ditempuh berupa keringanan pajak. Sebab, opsi penyertaan modal negara harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal itu yang membuat BUMN ogah-ogahan. Meskipun tarifnya hanya 3-4 persen, tidak semua perusahaan berminat. Sebab, tidak semua perusahaan punya kebutuhan mencari pendanaan segar. Kalaupun ada kebutuhan mencari modal, arus kas lagi mepet. "Belum semua ikut program karena kemampuan keuangan minim," kata Bagas Angkasa, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III, yang juga Direktur Holding BUMN Perkebunan, akhir Januari lalu.
Menurut Bagas, dari 14 BUMN perkebunan, hanya sebagian kecil yang merevaluasi aset. Itu pun baru sebatas aset tanah. Menurut catatannya, secara komersial estimasi total kenaikan aset PTPN mencapai Rp 56,69 triliun. Tapi kenaikan nilai aset yang dilaporkan sementara baru Rp 6,95 triliun, dengan PPh Rp 209,4 miliar.
Direktur Keuangan PT PLN Sarwono Sudarto mengatakan perusahaan listrik itu paling bersemangat dengan revaluasi aset. Perusahaan tempatnya bekerja paling awal mewacanakan revaluasi aset karena sudah merancang program revaluasi sejak awal 2015.
Menurut Sarwono, kemampuan PLN mencari pembiayaan sudah sangat sempit. Sebab, rasio ekuitas terhadap utang sudah lebih dari tiga kali. Padahal PLN butuh suntikan dana seribuan triliun rupiah untuk menggarap megaproyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt. "Injeksi kapital tidak bisa mengikuti dana yang kami butuhkan, sementara menunggu PMN juga butuh proses," kata Sarwono, akhir Januari lalu. "Maka harus ada revaluasi agar bisa bernapas."
Sebelum akhir tahun lalu, PLN merampungkan revaluasi aset secara keseluruhan. Tercatat, aset PLN naik menjadi Rp 1.200 triliun, dari sebelumnya Rp 540 triliun. Dengan kondisi ini, ekuitas PLN menjadi Rp 700-an triliun. Alhasil, ada ruang mencari pinjaman hingga Rp 2.100 triliun. Akibat kenaikan aset ini, Sarwono harus merogoh kantong hingga Rp 14,2 triliun untuk membayar pajak.
Sarwono mengatakan bahwa PLN telah meminta Kementerian BUMN mendapatkan tambahan penyertaan modal Rp 10 triliun tahun ini. Tahun lalu, perusahaan setrum ini sudah mendapat kucuran Rp 5 triliun. Tak cuma PLN, banyak BUMN berharap mendapat kucuran PMN. "Semua wait and see, menunggu APBN Perubahan 2016," kata sumber tadi.
Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa PMN belum masuk agenda pembahasan APBNP 2016. Proposal resmi dari Menteri BUMN juga belum diterimanya. Namun Bambang memastikan pihaknya tidak menutup pintu. "Pajak revaluasi bisa dikonversi menjadi penyertaan modal negara sesuai dengan kebutuhan perusahaan pelat merah," kata Bambang.
Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo