Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jadi melayu di thailand

Situasi perbatasan thailand-malaysia dan kehidupan penduduk provinsi selatan yang selalu mendapat tekanan dari pemerintah. penduduk provinsi selatan adalah keturunan melayu dan beragama islam. (ln)

13 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETUGAS Imigrasi Thai di Sungai Kolok langsung saja mengecap kartu pengenal milik seorang turis Malaysia, tanpa lebih dulu membacanya. "Kami sudah hafal orang-orang itu. Hampir setiap Jumat dia berkunjung ke Thailand," ujarnya dalam bahasa Melayu yang fasih. Melancong ke wilayah Thai rupanya sudah jadi acara tetap bagi banyak orang Malaysia, khususnya pada hari libur yang di sana jatuh hari Jumat. Untuk mencapai daerah itu, turis dapat menggunakan taksi, Colt, sepeda-motor atau kereta api. Mereka berbondong-bondong masuk ke provinsi Selatan, begitulah sebutan orang Bangkok untuk kawasan itu. Menurut Letjen. Harn Leenanond, kenyatan ini berkaitan erat dengan pulihnya keamanan di sana. Terutama sejak dilancarkannya operasi pembersihan komunis Oktober silam. Leenanond, Komandan Daerah Militer IV Thai, menyatakan tamu hotel di kota-kota Selatan meningkat dua kali lipat. Tahun 1980, tatkala keamanan belum sebaik sekarang, jumlah turis Malaysia tercatat 300.000, atau 16% dari 1,85 juta turis yang mengalir ke negeri itu. Apalagi sekarang. Tapi mengapa Selatan yang tidak punya kuil dan patung Budha bisa laris juga? Kemudahan imigrasi, mungkin itulah sebab utama. Sebuah kartu pengenal dapat dijadikan pas khusus untuk melewati perbatasan. Dan kartu itu dapat diperbaharui sewaktu-waktu. !! Pemeriksaan imigrasi biasanya lancar, membuat turis bergairah. Berakhir pekan di Thailand bagi orang Malaysia sama mudahhya dengan mengunjungi sanak saudara. Penduduk provinsi Selatan adalah keturunan Melayu yang beragama Islam. Bahasa dan adat-istiadat juga tidak berbeda, sama-sama Melayu. Alam sekitar juga menawarkan pemandangan serupa di wilayah Thai ataupun Malaysia. Hijau di mana-mana. Hamparan sawah diselang-seling rumpun pisang atau perkebunan karet. Subur dan segar. Jauh sebelum Perang Dunia 11, provinsi Selatan plus wilayah Kelantan dan Trengganu (sekarang Malaysia) berada di bawah Kerajaan Thailand. Penguasa Inggris, yang datang, kemudian "mengambil" Kelantandan Trengganu yang selanjutnya diwariskan kepada Malaysia. Daerah perbatasan itu dianggap masih rawan sebenarnya. Sering diberitakan ada pemberontak komunis atau bandit separatis (lihat box), tapi tidak segera terlihat di pos-pos penjagaan, tempat turis keluar-masuk. Hanya bila seorang bermuka baru muncul di situ "agen-agen polisi Thai akan membuntutinya," ucap seorang wartawan Malaysia di Kelantan, negara-bagian Malaysia yang berbatasan langsung dengan Thailand di samping Perlis, Kedah dan Perak. Dalam tugas memata-matai seperti itu, katanya, Saylap (polisi rahasia Thai) bisa saja menyamar sebagai calo hotel, calo WTS atau sopir taksi. Urusan keamanan di Selatan tetap ditangani pemerintah Thai secara amat serius. Dalam hal ini pemerintah Malaysia tidak mau ketinggalan. "Agen rahasia kedua negara saling mencurigai," kata Abdurrahman, anggota tentara Kerajaan Malaysia yang pernah bertugas di perbatasan. Dikatakannya agen rahasia kedua negara itu keluar-masuk perbatasan seakan berlomba mengumpulkan informasi. Rasywah Namun kegiatan sehari-hari tetap berlangsung seperti biasa. Penjagaan tidak ketat di Rantau Panjang (Malaysia) ataupun Sungai Kolok (Thailand). Di sebuah pos penjagaan Thai, petugas cuma melongok sebentar ke dalam taksi, lalu membolehkan kendaraan itu pergi. Sesampai di Rantau Panjang sama saja. Petugas Imigrasi Malaysia di sini kurang teliti, mungkin karena rasywah (suap). Sebaliknya, turis Malaysia berbuat sama di perbatasan Thai. Mereka tak lupa menyelipkan 30 baht (Rp 1000), "supaya urusan tidak repot," ucap seorang pedagang Malaysia. Tapi kalau bepergian dengan kereta api, turis sering menunggu satu jam untuk pemeriksaan paspor. Sementara itu mereka terpaksa mendekam di stasiun yang dipagar kawat berduri serta dijaga polisi. Anak negeri Malaysia pergi ke provinsi Selatan, menurut pejabat Imigrasi Malaysia, untuk ziarah, biasanya ke makam Sultan Sulaiman di Patthani atau ke kubur tokoh Islam lainnya yang banyak bertebaran di enam distrik Selatan (Haadyai, Songkhla, Yala, Setol, Patthani dan Narathivat). Tapi sumber lain mengatakan bahwa hiburan dan pelacuran merupakan daya tarik paling kuat bagi turis Malaysia. Di Sungai Kolok umpamanya, jika maghrib tiba, suara azan bergalau dengan aneka lagu disko yang terpancar dari balik rumah papan--tempat 1.500 pelacur bersarang. "Kami sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini sejak banyak orang Budhist berdatangan ke mari," ujar Mohammad Nur, penduduk asli di situ. Yang dimaksudnya orang Thai beragama Budha yang bertransmigrasi dari Chiang Mai dan Chiang Rai di Utara ke provinsi Selatan. Ini terjadi sejak tahun 1970-an. Sekarang daerah Selatan yang hijau dan subur itu telah menjadi lebih kaya dengan . . . pelacur, turis dan tentara. Contohnya, dua orang tentara Kerajaan Thai, yang tidak berseragam militer, bisa dilihat parkir tiap hari di tiap masjid. Ini berarti 15 masjid di Sungai Kolok dikawal 30 tentara. Lama-kelamaan kombinasi aneh, tentara dan masjid, jadi pemandangan biasa bagi kaum muslim yang mayoritas di Selatan Bahasa pengantar mereka Melayu, tapi mereka diharuskan berbicara dalam bahasa nasional Thai dan menulis dalam aksara Thai. Keharusan ini dimaksudkan agar penduduk Islam itu di mata orang Bangkok seperti orang Thai jua adanya. Penampilan khas Thai ini rupanya begitu penting hingga pernah seorang perdana menteri mengharuskan orang muslim memakai seluar (celana panjang) sebagai ganti sarung. Curiga Tetek-bengek seperti ini dipertajam oleh kekerasan di sana-sini, hingga muslim yang terdesak pada tahun 1960 mendirikan sebuah organisasi pelawanan: PUL0 (Pattbani United Liberation Organisation). Akibatnya, tangan pemerintah pusat di Bangkok mencengkeram lebih keras, satu sikap yang justru tidak menyelesaikan masalah. Di Sungai Kolok, misalnya, sering terjadi pembunuhan, politis araupun kriminal. Tapi pemerintah membiarkan perdagangan senjata yang secara tidak langsung memacu kejahatan. Jika terjadi perkelahian, antara suku Patthani yang muslim dengan orang Thai yang Budhist, polisi Thai jelas berpihak pada yang disebut terakhir. Tak jarang, orang Thai memeras pemilik toko dan rumah makan Patthani. "Jika anda melapor, polisi hanya mencatat. Kelanjutannya tak pernah ada," ujar Zainuri, 35 tahun. Di Thailand ada 4,5 juta orang Islam hampir 10% dari seluruh penduduk. Lebih dari setengahnya mendiami daerah Selatan, umumnya ertani, berkebun atau berdagang. Hidup mereka yang semula tenteram sejahtera, kemudian terguncang oleh perlakuan yang serba tidak adil. Muslim Thai yang berdarah Melayu itu tersentak-sentak oleh beberapa kenyataan. Bagi mereka tertutup kesempatan menjadi pegawai negeri atau Angkatan Bersenjata. Mereka punya sedikit saja peluang untuk berperan di tingkat atas. Dr. Mohammed Abdul Kader, seorang pejabat Thai yang muslim menyataan bahwa "Islam dan Budhist tidak saling mengerti". Mengapa? Tokoh yang memimpin program pendidikan di Yala ini melihat bahwa itu bersumber dari sikap petugas Thai Budhist yang bukan saja keras tapi penuh curiga. Arong Suthasayna, seorang pengajar pada Chulalongkorn University di Bangkok berkata, Thailand seperti Filipina,"bergerak ke arah yang sama." Maksudnya, tentu saja, sama dalam masalah minoritas Islam. Prof. Arong bisa merasa agak lega karena rakyat Thai masih lebih luwes, Jadi ledakan besar sebegitu jauh masih dapat dihindarkan. Namun ledakan kecil sering terjadi yang membuat tentara Thai sibuk terus sampai saat ini. Sementara itu Jenderal Saiyud Kerdpol, Panglima Angkatan Bersenjata Thailand mengakui bahwa pemerintahnya belum berhasil menyusun satu konsep dasar untuk daerah Selatan. Tapi dia berkata, "Orang Islam seharusnya dibina agar mereka merasa din sebagai orang Thai. Jika mereka ingin tetap memakai baju tradisional mereka, biarkan saja. kan itu yang penting."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus