PETUGAS Imigrasi Thai di Sungai Kolok langsung saja mengecap
kartu pengenal milik seorang turis Malaysia, tanpa lebih dulu
membacanya. "Kami sudah hafal orang-orang itu. Hampir setiap
Jumat dia berkunjung ke Thailand," ujarnya dalam bahasa Melayu
yang fasih.
Melancong ke wilayah Thai rupanya sudah jadi acara tetap bagi
banyak orang Malaysia, khususnya pada hari libur yang di sana
jatuh hari Jumat. Untuk mencapai daerah itu, turis dapat
menggunakan taksi, Colt, sepeda-motor atau kereta api. Mereka
berbondong-bondong masuk ke provinsi Selatan, begitulah sebutan
orang Bangkok untuk kawasan itu.
Menurut Letjen. Harn Leenanond, kenyatan ini berkaitan erat
dengan pulihnya keamanan di sana. Terutama sejak dilancarkannya
operasi pembersihan komunis Oktober silam. Leenanond, Komandan
Daerah Militer IV Thai, menyatakan tamu hotel di kota-kota
Selatan meningkat dua kali lipat. Tahun 1980, tatkala keamanan
belum sebaik sekarang, jumlah turis Malaysia tercatat 300.000,
atau 16% dari 1,85 juta turis yang mengalir ke negeri itu.
Apalagi sekarang.
Tapi mengapa Selatan yang tidak punya kuil dan patung Budha bisa
laris juga? Kemudahan imigrasi, mungkin itulah sebab utama.
Sebuah kartu pengenal dapat dijadikan pas khusus untuk melewati
perbatasan. Dan kartu itu dapat diperbaharui sewaktu-waktu. !!
Pemeriksaan imigrasi biasanya lancar, membuat turis bergairah.
Berakhir pekan di Thailand bagi orang Malaysia sama mudahhya
dengan mengunjungi sanak saudara.
Penduduk provinsi Selatan adalah keturunan Melayu yang beragama
Islam. Bahasa dan adat-istiadat juga tidak berbeda, sama-sama
Melayu. Alam sekitar juga menawarkan pemandangan serupa di
wilayah Thai ataupun Malaysia. Hijau di mana-mana. Hamparan
sawah diselang-seling rumpun pisang atau perkebunan karet. Subur
dan segar.
Jauh sebelum Perang Dunia 11, provinsi Selatan plus wilayah
Kelantan dan Trengganu (sekarang Malaysia) berada di bawah
Kerajaan Thailand. Penguasa Inggris, yang datang, kemudian
"mengambil" Kelantandan Trengganu yang selanjutnya diwariskan
kepada Malaysia.
Daerah perbatasan itu dianggap masih rawan sebenarnya. Sering
diberitakan ada pemberontak komunis atau bandit separatis (lihat
box), tapi tidak segera terlihat di pos-pos penjagaan, tempat
turis keluar-masuk. Hanya bila seorang bermuka baru muncul di
situ "agen-agen polisi Thai akan membuntutinya," ucap seorang
wartawan Malaysia di Kelantan, negara-bagian Malaysia yang
berbatasan langsung dengan Thailand di samping Perlis, Kedah dan
Perak. Dalam tugas memata-matai seperti itu, katanya, Saylap
(polisi rahasia Thai) bisa saja menyamar sebagai calo hotel,
calo WTS atau sopir taksi.
Urusan keamanan di Selatan tetap ditangani pemerintah Thai
secara amat serius. Dalam hal ini pemerintah Malaysia tidak mau
ketinggalan. "Agen rahasia kedua negara saling mencurigai," kata
Abdurrahman, anggota tentara Kerajaan Malaysia yang pernah
bertugas di perbatasan. Dikatakannya agen rahasia kedua negara
itu keluar-masuk perbatasan seakan berlomba mengumpulkan
informasi.
Rasywah
Namun kegiatan sehari-hari tetap berlangsung seperti biasa.
Penjagaan tidak ketat di Rantau Panjang (Malaysia) ataupun
Sungai Kolok (Thailand). Di sebuah pos penjagaan Thai, petugas
cuma melongok sebentar ke dalam taksi, lalu membolehkan
kendaraan itu pergi. Sesampai di Rantau Panjang sama saja.
Petugas Imigrasi Malaysia di sini kurang teliti, mungkin karena
rasywah (suap). Sebaliknya, turis Malaysia berbuat sama di
perbatasan Thai. Mereka tak lupa menyelipkan 30 baht (Rp 1000),
"supaya urusan tidak repot," ucap seorang pedagang Malaysia.
Tapi kalau bepergian dengan kereta api, turis sering menunggu
satu jam untuk pemeriksaan paspor. Sementara itu mereka terpaksa
mendekam di stasiun yang dipagar kawat berduri serta dijaga
polisi.
Anak negeri Malaysia pergi ke provinsi Selatan, menurut pejabat
Imigrasi Malaysia, untuk ziarah, biasanya ke makam Sultan
Sulaiman di Patthani atau ke kubur tokoh Islam lainnya yang
banyak bertebaran di enam distrik Selatan (Haadyai, Songkhla,
Yala, Setol, Patthani dan Narathivat). Tapi sumber lain
mengatakan bahwa hiburan dan pelacuran merupakan daya tarik
paling kuat bagi turis Malaysia.
Di Sungai Kolok umpamanya, jika maghrib tiba, suara azan
bergalau dengan aneka lagu disko yang terpancar dari balik rumah
papan--tempat 1.500 pelacur bersarang. "Kami sudah terbiasa
dengan kehidupan seperti ini sejak banyak orang Budhist
berdatangan ke mari," ujar Mohammad Nur, penduduk asli di situ.
Yang dimaksudnya orang Thai beragama Budha yang bertransmigrasi
dari Chiang Mai dan Chiang Rai di Utara ke provinsi Selatan. Ini
terjadi sejak tahun 1970-an. Sekarang daerah Selatan yang hijau
dan subur itu telah menjadi lebih kaya dengan . . . pelacur,
turis dan tentara.
Contohnya, dua orang tentara Kerajaan Thai, yang tidak
berseragam militer, bisa dilihat parkir tiap hari di tiap
masjid. Ini berarti 15 masjid di Sungai Kolok dikawal 30
tentara. Lama-kelamaan kombinasi aneh, tentara dan masjid, jadi
pemandangan biasa bagi kaum muslim yang mayoritas di Selatan
Bahasa pengantar mereka Melayu, tapi mereka diharuskan berbicara
dalam bahasa nasional Thai dan menulis dalam aksara Thai.
Keharusan ini dimaksudkan agar penduduk Islam itu di mata orang
Bangkok seperti orang Thai jua adanya. Penampilan khas Thai ini
rupanya begitu penting hingga pernah seorang perdana menteri
mengharuskan orang muslim memakai seluar (celana panjang)
sebagai ganti sarung.
Curiga
Tetek-bengek seperti ini dipertajam oleh kekerasan di sana-sini,
hingga muslim yang terdesak pada tahun 1960 mendirikan sebuah
organisasi pelawanan: PUL0 (Pattbani United Liberation
Organisation). Akibatnya, tangan pemerintah pusat di Bangkok
mencengkeram lebih keras, satu sikap yang justru tidak
menyelesaikan masalah. Di Sungai Kolok, misalnya, sering terjadi
pembunuhan, politis araupun kriminal. Tapi pemerintah membiarkan
perdagangan senjata yang secara tidak langsung memacu kejahatan.
Jika terjadi perkelahian, antara suku Patthani yang muslim
dengan orang Thai yang Budhist, polisi Thai jelas berpihak pada
yang disebut terakhir. Tak jarang, orang Thai memeras pemilik
toko dan rumah makan Patthani. "Jika anda melapor, polisi hanya
mencatat. Kelanjutannya tak pernah ada," ujar Zainuri, 35 tahun.
Di Thailand ada 4,5 juta orang Islam hampir 10% dari seluruh
penduduk. Lebih dari setengahnya mendiami daerah Selatan,
umumnya ertani, berkebun atau berdagang. Hidup mereka yang
semula tenteram sejahtera, kemudian terguncang oleh perlakuan
yang serba tidak adil. Muslim Thai yang berdarah Melayu itu
tersentak-sentak oleh beberapa kenyataan. Bagi mereka tertutup
kesempatan menjadi pegawai negeri atau Angkatan Bersenjata.
Mereka punya sedikit saja peluang untuk berperan di tingkat
atas.
Dr. Mohammed Abdul Kader, seorang pejabat Thai yang muslim
menyataan bahwa "Islam dan Budhist tidak saling mengerti".
Mengapa? Tokoh yang memimpin program pendidikan di Yala ini
melihat bahwa itu bersumber dari sikap petugas Thai Budhist yang
bukan saja keras tapi penuh curiga.
Arong Suthasayna, seorang pengajar pada Chulalongkorn University
di Bangkok berkata, Thailand seperti Filipina,"bergerak ke arah
yang sama." Maksudnya, tentu saja, sama dalam masalah minoritas
Islam. Prof. Arong bisa merasa agak lega karena rakyat Thai
masih lebih luwes, Jadi ledakan besar sebegitu jauh masih dapat
dihindarkan. Namun ledakan kecil sering terjadi yang membuat
tentara Thai sibuk terus sampai saat ini.
Sementara itu Jenderal Saiyud Kerdpol, Panglima Angkatan
Bersenjata Thailand mengakui bahwa pemerintahnya belum berhasil
menyusun satu konsep dasar untuk daerah Selatan. Tapi dia
berkata, "Orang Islam seharusnya dibina agar mereka merasa din
sebagai orang Thai. Jika mereka ingin tetap memakai baju
tradisional mereka, biarkan saja. kan itu yang penting."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini