Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jakarta Membayar Luka Lama

Setelah berstatus merdeka, Timor Leste menyandang dilema, mendahulukan keadilan atau kesejahteraan bagi rakyatnya.

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jabatan presiden sering membuat Kay Rala Xanana Gusmao canggung. Sesekali lelaki 55 tahun ini meradang saat ada kawan dekat yang menyapa dia dengan sebutan resmi: "Tuan Presiden". Dalam berbagai kesempatan Xanana memang mengaku tak pernah memimpikan jabatan presiden. "Impian saya bertani labu. Kami punya lereng-lereng pegunungan yang subur di beberapa distrik," katanya.

Kini, memasuki hari-hari pertama kemerdekaan, Xanana mesti menyimpan impian bertani labu sambil beternak bebek di lereng gunung. Ada banyak persoalan yang harus segera dibenahi di negeri dengan 800 ribu penduduk ini.

Persoalan yang utama, bayi Timor Timur menyandang dilema: mendahulukan kesejahteraan ataukah keadilan bagi rakyatnya. Bagaimana Timor Timur menyikapi dilema inilah yang ditunggu masyarakat internasional. Soalnya, "Cara bersikap ini menentukan warna Timor masa depan, termasuk yang terkait dengan Indonesia," kata Bonar Tigor Naipospos, Ketua Dewan Pengurus Solidamor, LSM yang terlibat dalam pembebasan Timor.

Sumber dilema adalah beratnya kondisi perekonomian Timor Timur. Negeri ini punya tingkat pengangguran 90 persen, 70 persen infrastruktur umum hancur, dan rakyat kebanyakan cuma sanggup membelanjakan US$ 0,55 sehari. Padahal, secangkir kopi di negeri ini mesti ditebus dengan US$ 3 atawa Rp 27.000.

Presiden Xanana tentu tak mau lama menyaksikan rakyatnya tenggelam dalam kemiskinan. Menurut dia, rakyat bukanlah memperjuangkan kemerdekaan hanya untuk mendapat bendera, lagu kebangsaan, atau presiden. "Mereka ingin mencapai hidup yang lebih baik setiap hari," katanya.

Kehidupan yang lebih baik, bagi Xanana, hanya bisa dicapai dengan per-damaian.

Untuk itulah dia menggelar kampanye perdamaian melalui CAVR, yakni Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi. Intinya, CAVR menyerukan pengakuan kebenaran pelanggaran hak asasi semasa Timor Timur menjadi provinsi Indonesia, 1974-1999. Masa itu dipenuhi dengan insiden pembunuhan, pemerkosaan, penjarahan harta, dan penculikan puluhan ribu rakyat.

Nah, setelah ada pengakuan atas kebenaran yang pahit tadi, Xanana yakin rakyat Timor lebih leluasa melangkah ke masa depan. Soal penegakan keadilan terhadap pelanggar hak asasi manusia mesti dikesampingkan dahulu. Jika tidak, Xanana menekankan, upaya membangun perekonomian terbengkalai dan rakyat Timor Timur hidup dalam kebencian dan perang.

Sebetulnya, menurut Bonar Tigor, tak gampang membidik para jenderal yang diduga melanggar hak asasi. Lembaga peradilan lokal, Indonesia ataupun Timor Timur, jelas tak mungkin obyektif mengusut orang-orang penting berpangkat. Satu-satunya pilihan adalah peradilan internasional. Tapi dokumen Dewan Keamanan PBB menunjukkan, pilihan ini tak disetujui AS, Rusia, dan Cina. Soalnya, "Ketiga negara ini bisa terseret dalam kasus pelanggaran hak asasi di belahan dunia yang lain," kata Bonar. Vietnam, Chechnya, Tiananmen hanya sebagian kecil kasus yang bisa menyeret ketiga negara tersebut dalam arena peradilan internasional.

Lagi pula, Bonar menambahkan, peradilan internasional mensyaratkan PBB yang kuat, mandiri, dan berkantong tebal untuk mengerahkan penyelidikan yang tuntas. Padahal, nyatanya PBB tidak sekuat itu. "Bagaimana mau mandiri, sumber dana masih tergantung Amerika," kata Bonar.

Agaknya, berbekal perhitungan tadi, Xanana memilih mengesampingkan upaya memburu pelanggar hak asasi. Segenap tenaga bangsa lebih baik diarahkan untuk rekonsiliasi, membangun perekonomian, dan menyejahterakan rakyat.

Tapi tak semua pihak sepakat. Yayasan HAK, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia, misalnya, menuntut peradilan tuntas bagi para pelaku pelanggaran hak asasi. Trauma masa lalu hanya bisa dilupakan jika telah ketahuan siapa yang bertanggung jawab atas kekejaman yang terjadi.

Suara senada muncul dari Perdana Menteri Timor, Mari Alkatiri. Puluhan ribu rakyat yang tewas dan teraniaya semasa invasi militer layak mendapat keadilan. Pelaku pelanggaran hak asasi harus diberi ganjaran setimpal. "Rekonsiliasi memang penting," kata Alkatiri, "tapi pengadilan pelanggaran hak asasi harus jalan terus."

Nah, sementara tarik-menarik pilihan keadilan versus kesejahteraan terus berlanjut, muncul kecenderungan yang menarik. Pemerintah Indonesia, menurut Bonar Tigor, seolah sengaja membelokkan perhatian masyarakat. Yang jadi sorotan bukanlah pelanggaran hak asasi, melainkan soal penghitungan aset RI yang tertinggal di Loro Sa'e.

Pekan lalu, kepada wartawan di Jakarta, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengakui bahwa aset adalah topik yang alot. Berbagai perundingan dengan pemerintahan transisi Timor di bawah PBB (UNTAET) selalu mentok. Sebelumnya pihak Indonesia sempat hendak menurunkan tim penghitung nilai aset seperti jaringan listrik, jaringan kabel telekomunikasi, gedung sekolah, gedung kantor, jalan, jembatan, dan infrastruktur yang lain.

UNTAET sebetulnya tidak menolak keinginan RI untuk menerjunkan tim penghitung aset. Hanya, Indonesia juga dituntut tidak mengabaikan kerugian Timor Timur gara-gara rentetan kerusuhan selama 24 tahun masa integrasi. Aksi bumi hangus menjelang referendum 1999, misalnya, ditaksir memicu kerugian Timor Timur sampai US$ 4 juta atau setara dengan Rp 36 miliar. Layak jadi catatan, angka ini hanya kerugian dari satu momentum. Angka yang jauh lebih fantastis bakal muncul jika kerugian Timor Timur sepanjang 24 tahun integrasi dihitung. Boleh jadi, UNTAET akan menuntut Indonesia membayar ganti rugi yang jauh lebih besar ketimbang nilai aset yang dipersoalkan.

Nah, guna menghindari urusan ruwet dengan UNTAET, Hassan memilih jurus ketuk langsung. "Kami lebih baik berunding dengan orang Timor sendiri," kata Hassan.

Tapi jurus ketuk langsung ini belum tentu sukses. Proses penghitungan aset amat melelahkan dan super-rumit. Tak sedikit pihak yang mengaku punya bukti kepemilikan tanah, rumah, dan gedung yang dirampas pemerintah atau tentara Indonesia. Dan, sungguh susah mengusut pihak yang benar dan salah dalam sengketa seperti ini. Walhasil, para petinggi Timor cenderung segan membahas topik aset. "Ini bukan sekadar masalah materi," kata Menlu Timor Timur, Ramos Horta, "tapi menyangkut kehidupan banyak orang."

Lalu, bagaimana sebaiknya sikap Indonesia tentang sisa aset di Timor Timur?

Bonar Tigor berpendapat, mestinya kita meniru sikap Belanda saat meninggalkan Indonesia dengan mewariskan banyak gedung, perusahaan, dan infrastruktur. "Mereka tidak minta bayaran dari kita," kata Bonar. Meskipun demikian, dalam perjalanan selanjutnya, Wakil Presiden Mohamad Hatta memilih bersikap elegan dengan menghitung sebagian besar aset Belanda secara fair.

Pengamat ekonomi Faisal Basri juga sepakat. Pemanfaatan sisa aset RI mestinya menjadi hak penuh pemerintah Timor Timur. Namun, boleh saja pengusaha kita terlibat seandainya ada kesempatan bisnis yang bagus. Sayangnya, ada kecenderungan resistensi yang membuat pengusaha kita tidak sigap menyambar kesempatan. Jaringan telekomunikasi yang dibangun PT Telkom, misalnya, kini dimanfaatkan perusahaan Australia, Telstra.

Bagi Faisal, "penyerobotan" Telstra tersebut tak perlu disayangkan betul. Alasannya, memang bukan keuntungan ekonomi yang jadi fokus utama menjalin hubungan baik dengan Timor Leste. Seandainya ada hubungan dagang pun, Indonesia tak akan meraih untung melimpah. "Populasi dan daya beli mereka itu kan kecil," kata Faisal, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas, Jakarta.

Lebih dari sekadar laba ekonomi, Faisal memandang hubungan baik dengan Timor Leste adalah bagian dari upaya menghilangkan luka lama. Aset-aset yang tertinggal di sana, katanya, biarlah diibaratkan untuk membayar utang atas kezaliman di masa lalu.

Mardiyah Chamim dan Purwani D. Prabandari (Dili)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus