Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Selamat Tinggal Perang Dingin, Nuklir Masih Ada

Rusia mulai diterima sebagai bagian dari Barat, Bush dan Putin meneken perjanjian, tapi perang nuklir masih mengancam.

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NUKLIR masih mengancam dunia, ternyata, setelah Perang Dingin usai 11 tahun lalu. Itu terbukti di Kremlin, Jumat pekan lalu. Presiden Rusia Vladimir Putin menjabat tangan tamunya, Presiden AS George W. Bush, setelah keduanya menandatangani perjanjian pengurangan arsenal nuklir. Mereka sepakat dalam waktu 10 tahun melakukan pengurangan jumlah kepala nuklir di pihak masing-masing dari 6.000-7.000 menjadi 1.700-2.200.

Secara tak langsung perjanjian setebal empat halaman itu mengungkapkan bahwa sebenarnya, setelah Perang Dingin berakhir dengan rontoknya negara-negara komunis dan bubarnya pemimpin mereka, Uni Soviet, kedua belah pihak masih menyimpan senjata pamungkas. Memang, kemungkinan Rusia dan Amerika pasca-Perang Dingin menggunakan senjata nuklirnya tipis. Tapi siapa menjamin bahwa nuklir itu tak jatuh ke tangan pihak lain yang bisa saja menggunakannya dalam konflik yang terjadi? Bisa jadi karena alasan ini (senjata nuklir jatuh ke tangan pihak lain), antara lain, Bush dan Putin merasa perlu membikin perjanjian tersebut.

George W. Bush tampaknya yakin benar bahwa Putin tak akan menyalahi perjanjian. Sebab, Rusia bukan lagi "orang luar" dalam tata pergaulan negara-negara Barat. Dalam pertemuan negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO, pekan lalu di Reykjavik, terbentuklah sebuah badan baru yang bakal mendudukkan Rusia pada posisi yang lebih diperhitungkan. Rusia menjadi bagian dari Dewan-NATO. Rusia tidak punya hak veto, tapi dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan yang bakal diambil para anggota pakta itu.

Tapi benar sudah bebaskah dunia dari ancaman perang nuklir? Tampaknya belum. Perjanjian tersebut tidak menjelaskan pihak siapa harus mengontrol pelaksanaannya dari waktu ke waktu. Dalam perjanjian tersebut, kedua negara itu tak dilarang menambah atau mengurangi jumlah arsenal nuklir masing-masing dalam waktu sepuluh tahun ke depan. Mereka baru dianggap melanggar perjanjian bila pada tahun 2012 jumlah kepala nuklir yang mereka miliki lebih dari jumlah yang disepakati: 1.700-2.200.

Dalam waktu 10 tahun itu, bisa saja Rusia kecolongan senjata nuklirnya atau terpaksa menjualnya ke negara lain untuk memperoleh uang. Di luar itu, perbedaan kepentingan nasional antara AS dan Rusia tidaklah kecil dan perjanjian tersebut tak memasukkan hal ini. Misalnya, Rusia selama ini membantu teknologi nuklir kepada Iran. Tak ada jaminan bahwa Iran lalu tak menggunakan bantuan tersebut untuk membuat senjata nuklir.

Apa pun, dari sisi Amerika Serikat, Bush sangatlah bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan diri untuk hadir dalam konferensi tingkat tinggi yang menelurkan perjanjian pengurangan senjata nuklir itu. Misalnya, tiga minggu sebelumnya, Presiden Bush menerima saran dari penasihat keamanan nasionalnya, Condoleezza Rice, agar menyelami mentalitas bangsa Rusia yang bakal dijumpainya pada seorang Putin. Rice lalu memberi Bush buku karya sastrawan Rusia, Fyodor Dostoyevsky, yang sudah diinggriskan dengan judul Crime and Punishment.

Nasihat Condoleezza Rice tampaknya layak diterima Bush. Rice memang profesor ahli Rusia di Universitas Princeton. Ia tidak seperti Bush yang impulsif dan langsung jatuh hati pada Putin dalam pertemuan mereka yang pertama di Ljubljana, Slovenia, Juni tahun lalu. Kata Bush dalam sebuah konferensi pers ketika itu, ia menangkap cahaya kejujuran pada tatapan mata Vladimir Putin. Sementara itu, Rice tidak beringsut dari pendapatnya semula bahwa negeri yang dulu dijuluki Beruang Merah itu belum banyak berubah.

Tak jelas apa pendapat Presiden Bush tentang manusia Rusia setelah membaca buku itu. Yang terang, dalam kunjungannya ke Kremlin itu ia menyaksikan ratusan demonstran yang merupakan gabungan kaum nasionalis dan komunis memprotes kunjungannya. Melalui poster dan plakat yang didominasi oleh warna merah, mereka melukiskan Bush sebagai sosok kombinasi kapitalis dan imperialis gaya baru yang menyimpan kecenderungan militeristis. Amerikalah, kata poster para demonstran, yang menerbitkan kesenjangan sosial di Rusia.

Dan seminggu sebelumnya, surat kabar Izveztia menerbitkan sebuah tulisan bernada prihatin melalui judul headline-nya yang besar lagi menusuk: "Rusia Kalah dalam Perang Nuklir." Pada saat yang sama, kalangan militer garis keras mengkritik keras pemerintah dan menyamakan Putin dengan Mikhail Gorbachev. Gorbachev, Presiden Uni Soviet yang berhaluan reformis, oleh orang Rusia yang tak setuju dengan kebijakan glasnost (keterbukaan) dan perestroika (pembangunan ekonomi)-nya, dituding sebagai penyebab disintegrasi Uni Soviet. Kini Putin terbuka untuk dituduh serupa itu meski tak sama.

Tapi rupanya itu semua tak mengubah pendirian Bush. Mungkin sang Presiden AS tak bisa melupakan seorang Putin, yang sebelum berada di pucuk pemimpin Rusia adalah letnan kolonel dalam dinas rahasia KGB, yang mengangkat telepon dan menyatakan dukacitanya kepada Presiden Bush beberapa saat setelah serangan kamikaze menghantam Washington, DC, dan New York.

Masih berkaitan dengan serangan bunuh diri itu, ke mana dan di mana pun AS membutuhkan pertolongan, Vladimir Putin selalu berusaha menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan. Misalnya, secara berturut-turut Rusia yang sudah banyak makan garam di medan perang Afganistan itu memasok AS dengan data-data intelijen mengenai Taliban dan Al-Qaidah, yaitu ketika Bush memutuskan untuk menyerang Afganistan, menjatuhkan pemerintahan Taliban, dan menangkap Usamah bin Ladin. Yang tersebut terakhir itulah, kita tahu, menurut Bush berada di belakang aksi kamikaze itu. Selain memberikan data intelijen, Putin memerintahkan agar para jenderal Rusia menyediakan diri menjadi penasihat strategi lapangan Jenderal Tommy Franks, kepala pusat komando pasukan AS di seberang lautan.

Ada lagi. Putin menjanjikan kerja sama dalam hal minyak. Ini memang bisa dilakukan Rusia, penghasil minyak terbesar ketiga di dunia.

Jadi, memang banyak manfaat yang diperoleh Bush dengan meneken perjanjian tersebut. Ia merasa "mengontrol" senjata nuklir Rusia. Dan dengan minyak Rusia tentulah Amerika Serikat tak merasa perlu harus terikat pada minyak negara-negara Arab.

Sayangnya, itu semua masih harus ditambah catatan sebelum bisa dipastikan bahwa manfaat yang diperoleh Bush memang nyata. Sebab, benarkah senjata nuklir Rusia tak akan berpindah tangan secara legal ataupun ilegal, secara langsung ataupun tak langsung? Misalnya, seperti sudah disebutkan, bagaimana dengan bantuan teknologi nuklir Rusia kepada Iran?

Lalu, soal minyak, bisa saja AS melepaskan ketergantungannya pada negara-negara Arab dan beralih ke Rusia, tapi tidakkah ini bakal merepotkan AS di Timur Tengah? Bisa saja negara-negara Arab menjadi aktif dan melibatkan diri ke dalam konflik Palestina-Israel secara lebih konkret.

Jadi, tampaknya, kalimat pertama tulisan ini mesti dikutip lagi: nuklir masih mengancam dunia.

Idrus F.S. (Washington Post, Newsweek, BBC, Economist)


Perjanjian itu

Kepala Nuklir

  • Sepuluh tahun ke depan, Rusia dan AS hanya boleh memiliki 1.700-2.200 kepala nuklir, sekitar sepertiga dari jumlah sekarang.

Cadangan

  • Kedua pihak dapat menyimpan ribuan kepala nuklir yang sewaktu-waktu siap ditembakkan. Menurut laporan Pentagon, Bush berencana memiliki 2.600 kepala nuklir dalam keadaan siap pakai. Ribuan lainnya yang belum siap pakai bisa disimpan.

Jadwal

  • Keduanya boleh menambah-mengurangi jumlah kepala nuklir dalam 10 tahun ini. Asalkan jumlah kepala nuklir pada 2012 mencapai 1.700-2.200, tak ada perjanjian yang dilanggar. Siapa saja dapat mundur dari perjanjian asalkan dengan pemberitahuan tiga bulan di muka. Jika tak diperbarui, perjanjian tidak efektif lagi pada 2012.

Dewan NATO-Rusia

  • Rusia tidak punya hak veto terhadap keputusan-keputusan NATO.
  • Rusia akan duduk sama tinggi dengan anggota NATO.
  • Masing-masing memiliki otonomi penuh atas pembuatan keputusan dan tindakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus