Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

"Dunia Masih Dibangun Secara Sektoral"

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam setahun terakhir, Emil Salim jarang berada di rumahnya. Sejak dipilih secara aklamasi oleh wakil pelbagai negara sebagai ketua Preparatory Commission for the 2002 World Summit on Sustainable Development, tokoh lingkungan kelas dunia itu terus berkeliling ke pelbagai negara, menghadiri pertemuan regional ataupun mencari input dari negara yang punya pro-blem lingkungan. "Sampai orang di airport sudah hafal," ujarnya.

Kakek empat cucu yang berumur 72 tahun itu seperti tidak merasakan kelelahan akibat terbang ke sana-kemari. "Ya berat, tapi exciting," katanya. Masalah lingkungan selalu menarik perhatian doktor ekonomi lulusan University of California at Berkeley yang mendirikan Kementerian Lingkungan Hidup pada 1978 ini. Dari perjalanan itulah ia melihat pelbagai ketimpangan pembangunan antara negara utara dan selatan yang membuatnya bertekad menyelesaikan Teks Negosiasi di Bali, kalau perlu sampai begadang, demi kepentingan negara berkembang.

Berikut petikan wawancara Diah Purnomowati dari TEMPO dengan Emil Salim.

Apa saja hasil dari Agenda 21 yang diteken di Rio yang sudah diimplementasi di Indonesia?

Institusi lingkungan dan pembangunan tumbuh pesat; baik LSM, organisasi pemerintahan, majalah, maupun surat kabar, dan adanya sejumlah konvensi, antara lain konvensi keanekaragaman hayati yang menjadi dasar Yayasan Keanekaragaman Hayati, konvensi mengenai perubahan iklim yang menjadi dasar kebijakan untuk Departemen Pertambangan mengendalikan polusi timbel. Juga konvensi mengenai B3 (bahan beracun berbahaya), yang menyatakan bahwa angkutan melalui Selat Malaka harus mendapat izin dari Indonesia.

Bagian mana saja yang gagal?

Satu, dunia dan Indonesia masih dibangun secara sek-toral (fragmented), WHO hanya memikirkan departemen kesehatan, FAO dengan departemen pertanian. Masing-masing mengutamakan kepentingan sektor. Lintas sektor agak lemah. Sedangkan pembangunan dan lingkungan tidak bisa dikotak-kotakkan dalam sektor.

Kedua, kerusakan lingkungan didorong oleh pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan. Dengan harga minyak bumi yang murah sekali, terjadi pemborosan yang luar biasa di sini. Ini juga terjadi dalam pola pengelolaan hutan, pola industri kita membuang limbah ke sungai.

Ketiga, masalah perdagangan, investasi, dan transfer teknologi tidak memuat usaha untuk mendorong ke arah teknologi yang bebas polusi.

Keempat, dalam Agenda 21, seluruh dunia berjanji memberikan bantuan 0,7 persen dari GDP untuk memperbaiki lingkungan. Faktanya, kini baru mencapai 0,33 persen. Bahkan terjadi penurunan. Tahun 2000 mencapai US$ 50,7 miliar, tapi tahun 2001 hanya 50,4 miliar. Amerika bahkan hanya memberi 0,109 persen. Sebaliknya, dalam bidang perdagangan, subsidi ke sektor proteksi produk pertanian lokal mencapai US$ 350 miliar, padahal produk pertanian ini adalah pasar untuk negara berkembang. Akibatnya, mereka tidak bisa masuk ke pasar negara maju dan tidak bisa memperoleh nilai tambah dari bahan mentahnya. Padahal, bila nilai itu kita dapatkan, tidak perlu kita ekspor kayu sebegitu besar, cukup ekspor proses. Sayangnya, tren dunia untuk membuka pasar seperti ini tidak tampak. Bahkan baru-baru ini Presiden Bush menandatangani subsidi US$ 80 miliar untuk hasil pertanian.

Tapi waktu di Rio, 103 kepala negara meneken kesepakatan untuk memperbaiki dunia ini. Mengapa kini tidak bisa terlaksana?

Kepala pemerintahan kan berganti-ganti, sehingga situasi politik masih tetap pada sikap unilateralisme. Sekarang siapa yang menentukan arah perkembangan ekonomi? G-8. Padahal, dari 189 anggota PBB, 8 negara itu hanya secuil. Lalu, institusi yang mengatur ekonomi dunia, Bank Dunia dan IMF, menganut paham one dollar one vote. Sehingga 36 negara Afrika yang hanya bisa memberi iuran US$ 1 punya suara sama dengan satu direktur eksekutif di Bank Dunia. Kalau Bank Dunia dan IMF tidak demokratis dan dikuasai oleh negara maju, bagaimana kepentingan di atas bisa dilaksanakan?

Presiden Soeharto kan datang ke Rio dan ia masih memerintah sampai 1998, jadi seharusnya komitmennya masih sama.

Tapi, ketika itu diterjemahkan ke dalam pemerintahan dan pemerintahan masih sektoral, egoisme sektor yang dominan. Tiap-tiap menteri menganggap dirinya penting, tidak melihat kiri-kanan.

Setelah 1998 terjadi perubahan politik yang besar di Indonesia. Ada kebijakan otonomi daerah yang nyatanya memperburuk kondisi lingkungan.

Masalah lintas sektor belum terpecahkan, ada lagi per-soalan pusat-daerah. Ambil contoh kawasan Bogor-Puncak-Cianjur. Itu kan menghendaki wawasan provinsi. Tapi kepentingan kabupaten berbeda. Di Kalimantan Timur dalam soal batu bara.

Artinya, lingkungan kita malah makin buruk setelah sepuluh tahun Rio?

Tidak perlu lebih buruk karena prinsip subsidiary, artinya keputusan itu tidak lagi terpusat, terjadi desentralisasi. Kalau keputusan pembangunan turun ke tingkat bawah, sehingga yang berkentingan di bawah ikut menentukan, prinsip itu baik. Syaratnya, yang berkepentinganlah yang menentukan, bukan birokrat. Jadi, kalau desentralisasi berjalan, tapi DPRD atau aparat lapangan tidak berorientasi pada rakyat, ini akan menimbulkan masalah?

Jadi, siapa yang salah?

Dua pihak. Pemerintah karena tidak bertindak tegas. Tidak ada pencuri kayu yang dituntut dan masuk penjara. Sebaliknya, masyarakat terlalu permisif, terlalu pasrah, dan tidak mengadakan gugatan. Kenapa tidak ada judicial review terhadap perusak lingkungan padahal rakyat yang dirugikan?

Bagaimana jalan keluarnya?

Sistem politik harus didorong oleh pemimpin formal dan informal. Karena itu saya anggap sangat penting peran serta masyarakat. Dalam summit ini, juga di Bali, sembilan kelompok masyarakat nonpemerintah aktif dilibatkan: pemuda, perempuan, petani, buruh, bisnis, pemimpin lokal, akademisi dan peneliti, masyarakat adat, dan LSM.

Kalau tren dunia masih terkotak-kotak seperti ini, lalu untuk apa pula kita mengadakan acara seperti di Bali ini?

Ada negara yang tidak demikian. Kosta Rika, negara-negara Skandinavia, Belanda, Kanada adalah contoh negara yang berada di jalur yang tepat. Hasilnya sudah terlihat. Kanada, misalnya, mempunyai human development index, indeks kualitas hidup, yang tertinggi. Negara-negara Skandinavia menjadi pelopor dalam usaha pelestarian ikan dengan menernakkan ikan di laut. Negara-negara ini memasukkan dimensi lingkungan dalam setiap totalitas pembangunan setelah Rio. Tapi ini harus dilakukan di seluruh jajaran.

Dalam Teks Negosiasi untuk Prepcom IV masih ada beberapa soal yang bakal mengganjal. Soal penekanan pemakaian energi yang tidak renewable, misalnya, akan ditentang negara-negara Arab, juga ada AS, yang hingga kini tak meratifikasi Protokol Kyoto.

Sustainable development kan bertumpu pada tiga hal: pertimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Cara berpikir ini belum mantap di kepala para pemimpin negara. Masalahnya, kalau kita bicara dengan politisi—dan kebanyakan pemimpin negara adalah politisi—mereka melihat hanya untuk jangka waktu lima tahun. Seperti yang terjadi pada politisi di Indonesia. Kalau kau bicara banjir tahun 2010, wah, itu masih jauh. Seperti waktu kita bicara rencana pembangunan Pantai Indah Kapuk dulu. Frustrasi saya waktu itu, karena sudah ada izin dari semua instasi: PU, Kehutanan, Gubernur. Mereka berpikir terkotak-kotak. Meski sudah disebutkan bahwa akan ada banjir, permukaan laut akan naik, ya itu nggak masuk ke kepala, itu kan tahun 80-an. Anda membicarakan masalah yang mungkin relevan di tahun 2000. Tapi kan tahun 2000 mereka pikir sudah tidak menjabat.

Apakah segala hambatan itu bisa diselesaikan dalam waktu dua minggu?

Karena itulah, lobi-lobi menjadi penting. Sidang itu hanya formal, tapi the big battle adalah di balik layar: ada grup 77, ada European Community, ada JUSCAN (Japan, USA, Canada, Australia, New Zealand, dan Norway). Dari kelompok negara berkembang pun ada faksi-faksinya: Arab, Amerika Latin, Afrika, Asia. Lantas, cross-cutting semua itu ada kepentingan negara pegunungan: Swiss, Himalaya, dan lain-lain. Juga ada kepentingan small island state: Fiji, misalnya. Jadi, ada mozaik. Kalau ada satu isu, kita lihat, isu ini berpengaruh pada siapa. Dalam masalah energi dan pencemaran, misalnya, jelas ada kepentingan Amerika Serikat. Di sini AS akan bertemu dengan OPEC, meskipun di OPEC ada Irak. There's no permanent friend, only permanent interest. Saya dibantu oleh sembilan vice chair yang dipilih oleh kelompok negara-negara itu. Semuanya orang pemerintahan.

Dalam kedudukan Anda sebagai chairman, apa Indonesia mendapat keuntungan dengan bisa memasukkan isu-isunya?

Oh ya, terutama isu negara berkembang, masalah nilai tambah, transfer teknologi. Saya mengerti, ada aid fatigue, kelelahan negara-negara maju untuk memberi bantuan. Karena itu, mari kita melakukan perdagangan. Yang bikin saya jengkel, setelah tahun 1950-2000, 20 persen penduduk dunia mengalami kemajuan, tapi 80 persen tertinggal. Satu miliar manusia hidup di bawah US$ 1 per hari. Satu setengah miliar manusia tidak punya akses ke air minum bersih, juga satu setengah miliar manusia tidak punya fasilitas sanitasi, permukiman. Bagaimana kita bisa hidup bersama di sebuah bumi yang penduduknya 20 persen hidup enak dan 80 persen men-derita? Ini kan secara moral tidak benar?

Apa yang akan dihasilkan dari Bali?

Tiga hal diharapkan sudah final: program implementasi, deklarasi politis, dan peresmian kemitraan. Daftar kemitraan ini sudah banyak. Di sana sudah ada rencana yang konkret, bagaimana men-jalankan kegiatan, berapa dananya, oleh siapa, dan lain-lain.

Kemitraan inilah yang menimbulkan kegiatan. Waktu di Rio, sudah dibuat program, tapi tidak jelas siapa yang menjalankannya. Waktu itu, logikanya, pemerintahlah yang melakukannya. Tapi, ketika poin 0,7 persen GDP tidak tercapai, ya program ini tidak bisa jalan. Sekarang kita tidak mau lagi. Kita masukkan sembilan kelompok masyarakat tadi, tapi posisi pemerintah harus jalan terus. Kita kan tidak punya world government. Kalau ada, ya, mereka yang menjalankannya.

Selama setahun jadi chairman, Anda sudah keliling ke banyak negara untuk melakukan lobi. Tidak ada problem kesehatan?

Mungkin karena masalahnya exciting. Barangkali setelah dari Bali ini, saya baru bum....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus