Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Janji Rio, Setelah Sepuluh Tahun Berlalu

Sepuluh tahun setelah KTT Bumi di Rio de Janeiro, keadaan bumi malah kian parah. KTT Rio gagal pada tahap pelaksanaan.

2 Juni 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Rio de Janeiro dipilih sebagai tempat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi atau Earth Summit, 3-14 Juni 1992, bukanlah karena keeksotisan kota di Amerika Latin ini. Alasan yang lebih tepat adalah lantaran kota itu terletak di Brasil, sebuah negeri yang kaya akan hutan lebat, yang menjadi paru-paru bumi. Ini layaknya simbol keprihatinan para pemimpin dunia waktu itu terhadap kerusakan bumi.

Keadaan rumah tinggal umat manusia ketika itu memang merisaukan. Suhu muka bumi meningkat 3 derajat Celsius pada akhir dasawarsa 1990. Perubahan cuaca tak mudah ditebak. Para ilmuwan memperingatkan ancaman pemanasan global sebagai akibat peningkatan jumlah karbondioksida dan efek rumah kaca di atmosfer. Permukaan air laut dikhawatirkan naik dan menenggelamkan banyak daratan.

Isu-isu ini kian kuat ketika pada 1985 para ilmuwan menemukan lubang ozon di atmosfer bumi. Lubang ozon di atas Antartika, misalnya, melonjak tajam dari "hanya" 3 juta kilometer persegi pada 1993 menjadi 25 juta kilometer persegi lima tahun kemudian. Peringatan perihal hujan asam, penyempitan hutan, dan merosotnya ke-ragaman hayati menyebabkan kecemasan meningkat.

Maka, sebuah konferensi tingkat dunia mendesak untuk digelar guna merancang rencana penyelamatan masa depan bumi, sekaligus memperingati 20 tahun gerakan lingkungan hidup. Berbagai gagasan yang berkembang menyebabkan konferensi ini dipandang sebagai tantangan terhadap model pembangunan yang populer ketika itu, yang dikecam sebagai material-intensive, digerakkan oleh bahan bakar fosil, dan bertumpu pada konsumsi massal.

Sedemikian dipandang penting pertemuan ini sehingga 103 kepala negara dan 179 kepala pemerintahan hadir, berpidato silih berganti, dan berdebat hingga dua pekan. Mereka pulang ke negeri masing-masing dengan membawa setumpuk dokumen: Deklarasi Rio, Agenda 21, Prinsip Pengelolaan Hutan, Konvensi Pengelolaan Hutan, Konvensi Perubahan Iklim, dan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Agenda 21 dipandang amat penting karena merupakan cetak biru strategi pembangunan berkelanjutan—sebuah istilah yang begitu populer kemudian, yang ketika itu dirumuskan sebagai "memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya".

Sepuluh tahun kemudian, 2002, tubuh bumi ternyata bukan membaik, melainkan malah semakin renta. Dalam laporannya yang berjudul State of the World 2002, Worldwatch Institute—sebuah lembaga think-tank lingkungan yang berbasis di Washington, DC, AS—menyebutkan emisi global karbondioksida meningkat lebih dari 9 persen dalam sepuluh tahun terakhir. "Catatan temperatur global menunjukkan dasawarsa 1990 sebagai yang terpanas sejak pengukuran dimulai pada abad ke-19. Para ilmuwan mencatat naiknya permukaan laut global setinggi 10-20 sentimeter sepanjang abad lalu," demikian menurut laporan setebal 265 halaman itu.

Meski proteksi keragaman biologis dunia memperoleh penekanan dalam KTT Rio, kematian spesies ternyata kian luas. Hilangnya habitat—produk samping kegiatan manusia, seperti pertanian, peternakan, pertambangan, penebangan kayu, dan perluasan wilayah perkotaan—menjadi ancaman serius terhadap flora dan fauna. Hutan-hutan dunia, habitat kunci bagi spesies terancam, terus-menerus lenyap sepanjang 1990-an. Menurut Forest Resources Assessment 2000, yang dikeluarkan oleh UN Food and Agriculture Organization, kawasan hutan di seluruh dunia berkurang sebanyak 2,2 persen sejak 1990.

Laporan Worldwatch mengakui ada sedikit kemajuan sejak KTT Rio, misalnya penghapusan bertahap bahan-bahan kimiawi penyebab penipisan ozon, serta menurunnya kematian akibat pneumonia, diare, dan tuberkulosis. "Kendati demikian," kata Christopher Flavin, Presiden Worldwatch Institute, "kita masih jauh dari akhir marginalisasi ekonomi dan lingkungan yang menyengsarakan miliaran orang."

Ada sejumlah penyebab keadaan itu. Negara-negara maju, umpamanya, tidak memenuhi janji mereka untuk memberi bantuan pembangunan kepada negara-negara berkembang. Bantuan ini sebagai kompensasi agar negara-negara ini tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan (debt-for-nature swap). Menurut laporan lembaga itu, ekonomi global menghasilkan US$ 10 triliun selama dasawarsa 1990-an. Namun, bantuan pembangunan sejak 1992 justru turun tajam dari US$ 69 miliar menjadi US$ 53 miliar pada 2000. "Agenda 21 memang dibentuk dengan asumsi bahwa bantuan di seluruh dunia commit pada 0,7 persen dari GDP. Faktanya, kini baru 0,33 persen," kata Emil Salim, yang terpilih sebagai Chairman Preparatory Committee Meeting (PrepCom IV), yang akan diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, 27 Mei-7 Juni 2002.

Janji untuk mengalihkan teknologi lingkungan juga tidak terjadi. "Negara-negara Selatan malah menjadi tempat buangan teknologi usang," ujar Hira Jhamtani dari Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Kophalindo). Pola konsumsi dan produksi yang boros energi dan tidak sustainable masih saja berlangsung. "KTT Rio memang gagal karena deklarasi itu cuma deklarasi politik yang tidak sungguh-sungguh dilaksanakan," ujar Emmy Hafild, Direktur Eksekutif Walhi. Sebagai contoh, ketika badan lingkungan PBB, UNEP, berupaya keras mempertahankan anggaran sebesar US$ 100 juta per tahun, pengeluaran militer di seluruh dunia mencapai US$ 2 miliar per hari.

Sejak awal memang sudah ada perbedaan persepsi antara negara maju dan negara berkembang. Perhatian negara maju terfokus pada tindakan yang dibutuhkan untuk menangani langsung kerusakan lingkungan. Sedangkan negara berkembang melihat kerusakan itu sebagai masalah ketimpangan Utara-Selatan. Kemakmuran yang berlebihan di Utara telah melahirkan pola hidup yang menguras sumber daya dan merusak lingkungan. Sedangkan di Selatan, kemelaratan menyebabkan rakyat tak mampu menanggulangi ke-rusakan itu.

Tanda-tanda kerumitan pelaksanaan hasil KTT Rio kian tampak ketika Presiden George Bush (sr.) menyatakan akan melindungi teknologi AS, dan masalah pola hidup tidak akan dikompromikan. Jalan mulus menuju pelaksanaan itu kian tertutup ketika AS menolak meratifikasi Protokol Kyoto, bagian dari konvensi PBB mengenai perubahan iklim, yang disusun di salah satu kota di Jepang itu.

Kemandekan muncul lantaran AS adalah penghasil gas rumah kaca terbesar, yakni 36 persen dari total emisi negara industri atau 23 persen—atau 1,39 miliar ton—dari total emisi karbondioksida seluruh dunia. Sementara itu, Protokol Kyoto baru akan berlaku apabila telah diratifikasi paling sedikit oleh 65 negara memiliki jumlah emisi 55 persen dari total emisi negara maju pada tingkatan tahun 1990.

Soal yang tak kalah mendasar, menurut Emil, ialah belum lenyapnya pola pembangunan yang bersifat sektoral. Tiap-tiap sektor sibuk memikirkan perkembangan dirinya sendiri. Dalam penilaian Emil, banyak pemerintahan yang gagal mengintegrasikan ekonomi, sosial, dan lingkungan ke dalam suatu bingkai kebijakan yang koheren. Soal ini pula yang, menurut Emil, dihadapi Indonesia. "Egoisme sektor masih dominan," ujarnya. "Tiap-tiap menteri menganggap dirinya penting. Dia tidak melihat kiri-kanan."

Kendati begitu, Emil menyebutkan bahwa hasil-hasil KTT Rio telah mendorong lahirnya berbagai institusi lingkungan dan pembangunan. Prinsip-prinsip konvensi keanekaragaman hayati serta perubahan iklim juga menjadi dasar pengembangan institusi tersebut. Pemerintah pada 1999, misalnya, mencanangkan Program Langit Biru untuk mengurangi pencemaran udara, antara lain melalui diversifikasi bahan bakar dengan melibatkan Australia. Bahkan, direncanakan, mulai 1 Juli 2001 semua stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Jakarta dan sekitarnya akan menjual premium tanpa timbel. Tapi kini kampanye bahan bakar tanpa timbel tak bergaung lagi.

Kegagalan pelaksanaan hasil-hasil KTT Rio di Indonesia, menurut Hira Jhamtani, karena prasyarat untuk pembangunan berkelanjutan, yakni sistem pemerintahan yang terbuka dan bersih, belum terpenuhi. Sistem ini menghendaki partisipasi masyarakat, dari penentuan kebijakan hingga pelaksanaan di lapangan, serta pembagian peran agar pembangunan tidak melulu dilakukan oleh negara. Gagalnya penegakan hukum atas kasus-kasus ekonomi dan lingkungan, menurut Hira, turut memberi sumbangan bagi kegagalan itu.

Di luar itu, Indonesia memang memiliki keterbatasan kapasitas keuangan, teknologi, dan sumber daya manusia untuk melaksanakan Agenda 21. Bahkan, sebelum krisis ekonomi 1997, ketika Indonesia menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pendanaan untuk pembangunan berkelanjutan juga terbatas. Penyebabnya tak lain alokasi anggaran yang tak memadai dan tingkat pembayaran utang yang tinggi.

Bila demikian, lantas apa yang bisa diharapkan dari acara PrepCom IV di Bali pekan ini? Hira pesimistis pertemuan Bali akan membawa perubahan berarti untuk lingkungan hidup. "Tapi, dalam World Summit on Sustainability Development di Johannesburg, kami bisa menggunakannya untuk membentuk kemitraan global bersama civil society dari negara lain," ucapnya.

Bagi Emmy Hafild, dalam pertemuan Johannesburg pun seharusnya tak perlu ada perundingan apa pun atas agenda-agenda lama. Sebab, semua agenda sudah disepakati di Rio pada 1992. "Saya kira, di Bali dan Afrika Selatan tak usah membuat hal-hal baru, tapi tagihlah komitmen semua negara untuk melakukannya," ia menukas.

Pertemuan Johannesburg pada September mendatang memang menjadi taruhan bagi umat manusia: bersatu padu mengatasi persoalan bersama, atau tetap menempuh jalur destruktif yang membawa pada kemiskinan, penurunan mutu lingkungan, terorisme, dan perang.

Dian Basuki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus