Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mewaspadai Oligarki

Pertemuan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto pekan lalu membawa lebih banyak kekhawatiran ketimbang ketenteraman.

27 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Manuver politik Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya—partai peraih suara terbanyak pertama dan kedua pada pemilihan umum yang baru lalu—berpotensi mengkhianati mandat pemilih.

Aliansi politik yang baru tercipta akibat pertemuan politik itu sama sekali tak terkait dengan kepentingan dan aspirasi orang ramai di akar rumput partai masing-masing. Semua dilakukan untuk kepentingan bagi-bagi kekuasaan semata. PDIP berkepentingan menggandeng Gerindra untuk mengurangi ruang gerak partai-partai lain dalam koalisi pendukung Presiden Joko Widodo. Sedangkan Gerindra tergiur untuk mencicipi kue kekuasaan yang tak pernah bisa mereka dapatkan.

Perjamuan nasi goreng di kediaman Megawati tersebut jelas bertentangan dengan aspirasi pendukung PDIP dan Gerindra. Selama kampanye, janji-janji politik kedua kubu tegas-tegas dibangun di atas asumsi bahwa apa yang ditawarkan seterunya tidak sesuai dengan visi mereka tentang Indonesia lima tahun ke depan. Sebutlah, misalnya, soal investasi. Jokowi, yang antara lain disokong PDIP, membuka lebar pintu bagi investasi asing. Sedangkan Gerindra mengobarkan nasionalisme dan mencemaskan investasi sebagai intervensi asing. Hal semacam itu sah-sah saja dalam sebuah kompetisi politik. Tapi sekarang dengan gampangnya sikap dasar itu dibuang jauh-jauh. Visi politik yang sebelumnya ditawarkan kepada konstituen dengan menggebu-gebu mendadak kehilangan relevansi.

Manuver semacam itu sungguh tak elok. Setiap partai politik seharusnya bertanggung jawab pada janji mereka di hadapan konstituen. Ketika posisi politik setiap partai dengan mudah berubah sesuai dengan arah angin dan suara pemilih tak lagi punya kuasa setelah pemilihan umum usai, demokrasi kita terancam kehilangan makna.

Pada awalnya adalah kemarahan PDIP kepada Partai NasDem. Kubu banteng menuding teman koalisinya itu telah “memaksa” sejumlah kepala daerah asal PDIP pindah menjadi kader NasDem. PDIP membalas. Partai banteng menggandeng Gerindra dengan tujuan memperkuat koalisi sekaligus mengecilkan NasDem—partai urutan kelima dalam perolehan suara pemilu legislatif. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh meresponsnya. Ia bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pertemuan itu dapat dibaca sebagai dukungan NasDem kepada Anies sebagai calon presiden 2024—sesuatu yang diharapkan bisa membuat risau PDIP, yang diketahui belum memiliki kader untuk digadang sebagai calon presiden. Pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, Anies mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama, calon yang didukung PDIP.

Lobi dan negosiasi tentu tak bisa dihindari dalam politik. Meski demikian, tarik-ulur itu hendaknya didasari etika politik. Selain loyalitas terhadap janji politik dan kesetiaan kepada konstituen, etika politik yang penting adalah pemahaman bahwa kepentingan publik harus diletakkan di atas aspirasi partisan partai-partai politik.

Sebagai penentu akhir pembentukan kabinet, Jokowi tak boleh mengabaikan prinsip itu. Ia mesti memastikan se-banyak mungkin kursi kabinet terbebas dari pengaruh partai. Kursi Jaksa Agung, misalnya, tak seharusnya diberikan kepada partai politik. Juga Menteri Keuangan dan menteri yang menangani badan usaha milik negara. Pada pemerintahan periode pertama, kursi Jaksa Agung diduduki kader Partai NasDem.

Sebagai presiden terpilih, sejak awal Jokowi harus menegaskan prinsip itu. Partai politik mesti diingatkan agar tidak mengusung figur yang hanya membawa kepentingan partai dalam jabatan-jabatan publik. Tanpa pedoman semacam itu, penentuan kabinet bakal menjadi ajang bagi-bagi kue kekuasaan belaka. Rakyat cuma menjadi penonton dan pelengkap penderita.

Kita semua tentu tak ingin Indonesia menjadi contoh sempurna oligarki kekuasaan. Segelintir orang tak boleh seenaknya menentukan hitam-putih republik ini tanpa mengindahkan etika dan hukum. Pemegang kedaulatan tertinggi adalah rakyat, dan mereka sudah berbicara dalam pemilihan umum lalu.

Berulang kali Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa dia tak lagi punya beban dalam periode kedua kepemimpinannya. Tanpa harus memperhitungkan peluang terpilih lagi karena sudah dibatasi dua kali masa jabatan, Jokowi berjanji lebih berani mengambil keputusan terbaik demi kepentingan bangsa dan negara. Hari-hari ini adalah momen pembuktian yang paling tepat untuk pernyataan itu. Rakyat menantikan realisasi janji Jokowi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus