Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah telepon penting berdering. Untuk Presiden Mesir Husni Mubarak, dari Presiden Palestina Mahmud Abbas. Awal pekan lalu, pimpinan Palestina itu mencurahkan isi hati kepada sekutunya yang biasa menyambungkan hubungannya dengan Israel, soal pertemuan dengan Perdana Menteri Ismail Haniya di Gaza City. Menurut Abbas, sudah ada pembicaraan dengan Haniya untuk membentuk pemerintahan koalisi Palestina. Selama ini perdana menteri asal Hamas itu menolak bekerja sama dengan lawan politiknya dari Fatah.
Rencananya, pemerintah koalisi itu bisa terbentuk awal pekan depan. Namun, komite eksekutif PLO, Yasser Abdu Rabbo, merasa pesimistis pemerintahan koalisi itu bisa terbentuk dalam waktu dekat. Menurut dia, Hamas masih menolak syarat-syarat yang diajukan Fatah.
Haniya menolak usulan Abbas agar posisi perdana menteri dijabat tokoh nasionalis independen. Alasan Haniya, jabatan itu adalah hak Hamas sebagai pemenang pemilu Januari silam. Haniya dan Abbas juga masih berbeda pendapat soal jabatan strategis di kabinet. Fatah mengincar Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan.
Terlepas dari saling rebut jabatan kedua kubu itu, dalam pengumpulan pendapat (polling) yang diadakan Centre for Research of Future Palestine, mayoritas rakyat Palestina di Gaza mendukung pembentukan pemerintah koalisi nasional dengan jabatan perdana menteri tetap dipegang Hamas. Dari 1.046 angket yang disebarkan secara acak, 79 persen responden menyatakan setuju dengan pembentukan pemerintahan koalisi nasional antara faksi-faksi Palestina.
Menurut Sekretaris Jenderal Front Kerakyatan Palestina, Ahmad Sadat, pemerintahan koalisi yang terbentuk nantinya diharapkan tetap berbasis perlawanan. Artinya, tetap merupakan alat untuk menghadapi semua tekanan Amerika Serikat dan Israel. Karena itu, Sadat mengharapkan kesepakatan Kairo dilaksanakan untuk memberdayakan Organisasi Pembebasan Rakyat Palestina (PLO) sebagai rujukan politik.
Kubu lain, Front Demokrasi untuk Pembebasan Palestina, meminta pemerintah koalisi langsung bertindak untuk keluar dari krisis, terutama membuka blokade ekonomi dari Eropa dengan program riil; pelepasan tawanan Israel dan pertukaran dengan orang-orang Palestina yang ditawan Israel.
Untuk mendukung pemerintahan koalisi, Front Demokrasi mendukung aksi mogok yang digelar di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pemogokan itu merupakan tekanan terhadap Presiden Abbas dan Perdana Menteri Haniya agar lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan golongan atau faksi-faksi politik mereka.
Sejak pemerintahan Hamas terbentuk pada Maret lalu, Amerika Serikat dan Eropa menunda bantuan bulanan kepada Palestina sebesar US$ 30 juta, sementara Israel juga membekukan US$ 60 juta hasil bulanan bea cukai perbatasan. Akibatnya, 160 ribu pekerja, termasuk dokter dan guru, belum dibayar sejak Maret lalu.
Kesulitan bertambah setelah serdadu Israel Gilat Shalit ditahan pada 25 Juni lalu. Israel menahan belasan politisi Hamas dan melancarkan serangan militer yang menyebabkan lebih dari 200 orang tewas, termasuk 40 anak-anak.
Namun, setelah pertemuan dengan Abbas dua pekan lalu, Haniyah sepakat dengan pembebasan Shalit dalam waktu dekat. Dalam pertukaran tawanan yang diselenggarakan oleh Mesir, rencananya Gilat Shalit akan ditukar dengan 800 tahanan Palestina, yang akan dibebaskan dalam tiga tahap.
Persoalannya kini berada di tangan Israel. Negara yang kini dipimpin Perdana Menteri Ehud Olmert itu masih berkeras menolak pembebasan para menteri dan anggota parlemen Palestina sebagai ganti pembebasan Shalit. Alasannya, tahanan itu merupakan persoalan tersendiri. Bahkan, awal pekan lalu, Kementerian Pembangunan dan Perumahan Israel telah mengumumkan tender pembangunan 690 unit rumah di kawasan permukiman Tepi Barat. Padahal sebelumnya, Maret silam, pemerintah menarik warga Israel dari wilayah Palestina itu.
”Prioritas Israel yang berurusan dengan masalah Palestina telah berubah,” ujar Olmert. Masalahnya, Israel dikenal sering memberi janji. Karena itu, dukungan masyarakat internasional dan ketegasan Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat berperan agar Israel menepati kesepakatan perdamaian yang telah dirancang. Ini demi eksistensi kedua negara: Israel dan Palestina.
Ahmad Taufik (Al-Ahram, The Guardian, dan Infopalestina.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo