Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jalan Menuju Koalisi

Tekanan yang terus-menerus memaksa Hamas berkoalisi. Salah satu syaratnya, mengakui eksistensi Israel.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah telepon penting berde­ring. Untuk Presiden Mesir Husni Mubarak, dari Presiden Palestina Mahmud Abbas. Awal pekan lalu, pimpinan Palestina itu mencurahkan isi hati kepada sekutunya yang biasa menyambungkan hubungannya dengan Israel, soal pertemuan dengan Perdana Menteri Ismail Haniya di Gaza City. Me­nurut Abbas, sudah ada pembicaraan dengan Haniya untuk membentuk pemerintahan koalisi Palestina. Selama ini perdana menteri asal Hamas itu menolak bekerja sama dengan lawan politiknya dari Fatah.

Rencananya, pemerintah koalisi itu bisa terbentuk awal pekan depan. Namun, komite eksekutif PLO, Yasser Ab­du Rabbo, merasa pesimistis pemerintahan koalisi itu bisa terbentuk dalam waktu dekat. Menurut dia, Hamas masih menolak syarat-syarat yang diajukan Fatah.

Haniya menolak usulan Abbas agar posisi perdana menteri dijabat tokoh ­nasionalis independen. Alasan Haniya, jabatan itu adalah hak Hamas se­bagai pemenang pemilu Januari silam. Haniya dan Abbas juga masih berbeda pen­da­pat soal jabatan strategis di kabinet. Fa­tah mengincar Menteri Luar Negeri, Men­teri Dalam Negeri, dan Menteri Ke­uangan.

Terlepas dari saling rebut jabatan ke­­dua kubu itu, dalam pengumpulan pen­dapat (polling) yang diadakan Centre for Research of Future Palestine, ma­yoritas rakyat Palestina di Gaza men­­dukung pembentukan pemerintah koa­lisi ­nasional dengan jabatan perdana menteri tetap dipegang Hamas. Dari 1.046 angket yang disebarkan secara acak, 79 persen responden menyatakan setuju dengan pembentukan pemerintahan koalisi nasional antara faksi-faksi Pales­tina.

Menurut Sekretaris Jenderal Front Ke­rakyatan Palestina, Ahmad Sadat, ­pe­­merintahan koalisi yang terbentuk nan­tinya diharapkan tetap berbasis per­­lawanan. Artinya, tetap merupakan alat untuk menghadapi semua tekanan Ame­rika Serikat dan Israel. Karena itu, ­Sadat mengharapkan kesepakatan Kairo dilaksanakan untuk memberdaya­kan Organisasi Pembebasan Rakyat Pales­tina (PLO) sebagai rujukan politik.

Kubu lain, Front Demokrasi untuk Pembebasan Palestina, meminta peme­rintah koalisi langsung bertindak u­ntuk keluar dari krisis, terutama mem­buka blokade ekonomi dari Eropa dengan program riil; pelepasan tawanan Is­rael dan pertukaran dengan orang-orang Pa­lestina yang ditawan Israel.

Untuk mendukung pemerintahan koalisi, Front Demokrasi mendukung aksi mogok yang digelar di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pemogokan itu merupa­kan tekanan terhadap Presiden Abbas dan Perdana Menteri Haniya agar le­bih mengutamakan kepentingan ra­kyat da­ri­pada kepentingan golongan atau faksi-faksi politik mereka.

Sejak pemerintahan Hamas terbentuk pada Maret lalu, Amerika Serikat dan Eropa menunda bantuan bulanan kepada Palestina sebesar US$ 30 juta, sementara Israel juga membekukan US$ 60 juta hasil bulanan bea cukai perbatasan. Akibatnya, 160 ribu pekerja, termasuk dokter dan guru, belum dibayar sejak Maret lalu.

Kesulitan bertambah setelah serdadu Israel Gilat Shalit ditahan pada 25 Juni lalu. Israel menahan belasan politisi Hamas dan me­lancarkan serangan militer yang menyebab­kan lebih dari 200 orang tewas, termasuk 40 anak-anak.

Namun, setelah pertemuan dengan Abbas dua pekan lalu, Haniyah sepakat dengan pembebasan Shalit dalam waktu dekat. Dalam pertukaran tawanan yang diselenggarakan oleh Mesir, rencananya Gilat Shalit akan ditukar dengan 800 tahanan Palestina, yang akan dibebaskan dalam tiga tahap.

Persoalannya kini berada di tangan Israel. Negara yang kini di­pimpin Perdana Menteri Ehud Olmert itu masih berkeras menolak pembebasan para menteri dan anggota parlemen Palestina se­bagai ganti pembebasan Shalit. Alasannya, tahanan itu merupakan persoal­an tersendiri. Bahkan, awal pekan lalu, Kementerian Pembangunan dan Perumah­an Israel telah mengumumkan tender pembangunan 690 unit rumah di kawasan permukiman Tepi Barat. Padahal sebelumnya, Maret silam, pemerintah menarik warga Israel dari wilayah Palestina itu.

”Prioritas Israel yang berurusan de­ngan masalah Palestina telah berubah,” ujar Olmert. Masalahnya, Israel dikenal sering memberi janji. Karena itu, dukungan masyarakat internasional dan ketegasan Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat berperan agar Israel menepati kesepakatan perdamaian yang telah dirancang. Ini demi eksistensi kedua ne­gara: Israel dan Palestina.

Ahmad Taufik (Al-Ahram, The Guardian, dan Infopalestina.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus