Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan tinggi 182 sentimeter, Wahyu Ajeng Suminar mesti-nya bisa menjadi peragawati atau pebasket andal. Tapi semua itu menjadi tak mungkin setelah Ajeng mengidap sindrom marfan sejak berusia tujuh tahun. Jangankan berlari atau melompat, gadis berusia 22 tahun itu berjalan pun susah. Hidupnya lebih banyak dihabiskan di tempat tidur.
Dia kini tinggal bersama ibu dan dua kakaknya di rumah kontrakan yang sederhana di Jojoran Baru, Surabaya. Ketika Tempo mengunjunginya pada Selasa dua pekan lalu, Ajeng tengah tergolek di kamarnya yang berukuran sembilan meter persegi, berteman setumpuk buku, bersisian dengan radio dan pemutar kaset. Ada juga pesawat telepon dan kipas angin yang terus berputar, seperti berusaha sedikit menghela udara panas kota itu.
Tubuh Ajeng terlampau ringkih dan gampang lelah untuk melakukan aktivitas yang ringan sekalipun. Dadanya terasa berat, napasnya sering tersengal bahkan seperti dicekik. Seluruh persendian tubuhnya ngilu dan lemah. Bahkan sekadar berjalan-jalan ke teras rumah sudah cukup membuat napasnya tersengal-sengal. Terkadang, mandi pun Ajeng harus dibantu sang ibu.
Pada awal April lalu, kondisi Ajeng sempat drop. Dia tak mampu bernapas akibat gangguan di pembuluh jantungnya. Selama lima hari, dia harus dirawat intensif di Rumah Sakit TNI Angkatan Laut dr. Ramelan, Surabaya. ”Mau diapakan lagi, kondisinya sudah begitu, saya pasrah saja,” ujar ibunya, Wijayaning Wahyuni, 51 tahun.
Tanda-tanda Ajeng terkena sindrom marfan berawal ketika dia sering mengeluh penglihatannya terganggu. Dia cuma bisa melihat dalam jarak pandang tiga meter dan membaca dengan jarak tiga sentimeter saja. ”Jadi, kalau membaca koran, bibir dan mukanya sampai belepotan hitam akibat tinta koran,” kata Wijayaning.
Hasil pemeriksaan dokter ahli mata di RSUD dr. Soetomo, Surabaya, menunjukkan serabut saraf mata Ajeng rusak. Gara-gara itu juga, dia gagal masuk sekolah dasar formal. Dia lantas masuk pendidikan di Yayasan Pendidikan Anak Buta. Itu pun cuma tiga bulan lantaran kesehatannya makin anjlok. Napasnya mulai sering tersengal-sengal.
Ajeng lantas dirujuk ke dokter saraf dan jantung. Pemeriksaan kesehatan menyeluruh pun dilakukan untuk mencari biang penyakit. Sayang, hasilnya masih gelap. Teka-teki penyebab buruknya kesehatan Ajeng mulai terkuak ketika dia diperiksa di klinik genetika. Ajeng divonis terkena sindrom marfan.
”Kaget dan syok, apalagi kata dokter umur Ajeng tak bakal panjang,” kata Yuni setelah mendengar penjelasan tentang penyakit yang diderita anaknya. Ternyata, tak hanya si bungsu dari enam bersaudara itu yang terkena sindrom marfan. Anak nomor tiga (laki-laki) dan keempat, perempuan, juga didiagnosis mengidap penyakit serupa, walaupun kondisi mereka tak separah Ajeng.
Padahal, menurut Yuni, Ajeng dilahirkan dalam kondisi normal, sehat dan montok. Cuma, pertumbuhan badannya memang terbilang pesat. Ajeng paling jangkung di antara teman-temannya. Toh, Wahyuni tak cemas. Dia malah bangga. Belum lagi otak Ajeng terbilang encer. ”Di usia lima tahun dia sudah lancar membaca dan menulis,” ujarnya.
Yuni sampai sekarang heran, mengapa tiga anaknya bisa terserang penyakit yang disebabkan adanya kesamaan gen tertentu antara ibu dan ayah. ”Padahal saya dan bapaknya tidak ada hubungan saudara,” kata Yuni, yang telah lama bercerai dengan suaminya.
Sindrom marfan merupakan kelainan yang disebabkan adanya mutasi gen yang memiliki kode fibrilin-1. Gen ini berperan dalam pembentukan serat elastis pada jaringan ikat (penyambung) elastis. Mutasi gen ini mempengaruhi komponen elastis organ tubuh manusia, sehingga seluruh tubuh yang mengandung komponen tersebut terganggu.
Tubuh pun berkembang di luar kewajaran. Pada kasus Ajeng, selain tubuhnya terus memanjang, ketika berdiri tangannya sampai di bawah lutut. Jemari tangan dan kakinya juga panjang, tidak proporsional.
Menurut Ari Fahrial Syam, ahli penyakit dalam dari FKUI/RSCM, penyakit ini adalah akibat kelainan genetis yang bisa diturunkan. ”Kemungkinan diturunkannya hingga 20 persen,” katanya. Sindrom marfan merupakan bagi-an dari multiple endocrine neoplasia, yaitu kelompok penyakit genetis yang ditandai dengan penggandaan atau jumlah sel normal pada jaringan tubuh tertentu, seperti tubuh yang meninggi.
Dan Ajeng bukanlah kasus pertama di Indonesia. Sindrom marfan pernah menimpa seorang laki-laki berusia 22 tahun di Jakarta pada 1996. Namun Ari belum lagi menemukan kasus serupa. ”Entah belum ada atau tidak terdeteksi,” katanya. Maklum, penyakit ini memang sangat langka. Angka prevalensinya satu per 100 ribu kelahiran.
Susahnya lagi, sindrom ini juga be-lum ada obatnya. Perawatan yang diberikan kepada penderita hanyalah untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, seperti pelebaran pembuluh jantung (aneurisma aorta) yang dapat mengancam jiwa. Tak mengherankan jika Ajeng tak pernah bisa lepas dari obat-obatan untuk bertahan hidup sepanjang mungkin bersama sindrom marfan.
Coba simak gambaran yang diberi-kan Rukma Juslin, spesialis jantung yang menangani Ajeng. Cepatnya pertumbuhan tulang secara otomatis akan menarik otot dan saraf organ lain, misalnya jantung dan mata, agar menyesuaikan dengan tinggi tubuh Ajeng. Penglihatannya pun berkurang karena saraf matanya putus. Fungsi jantung menurun hingga napas jadi tersengal. ”Kalau Ajeng capek, ia mengalami sesak napas yang amat sangat,” kata dokter Rumah Sakit TNI Angkatan Laut dr. Ramelan Surabaya ini.
Tapi semangat hidup yang meluap membuat dia mampu bertahan hingga kini. Meski pasrah, ia tak hendak menyerah. Raut wajahnya yang ekspresif tetap menunjukkan keceriaan. Selama sekitar satu setengah jam mengobrol dengan Tempo, suaranya lantang terdengar. Kedua tangannya yang panjang lincah bergerak setiap kali dia bicara. Itu juga yang tampak ketika dia menekan keyboard komputer yang sudah dilengkapi program suara karena Ajeng nyaris buta.
Dia kini tengah menyelesaikan buku yang akan diberinya judul Inspirasi Ma-tahari. Ajeng menuangkan seluruh pengalaman hidupnya dalam buku itu. Ia ingin memberikan motivasi kepada orang lain. ”Saya ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi banyak orang,” katanya. Ajeng pun menepis kabar yang mengatakan dia sempat putus asa dan meminta eutanasia alias suntik mati. ”Nasi pecel masih enak,” katanya tergelak.
Nunuy Nurhayati, Sunudyantoro (Surabaya)
Gejala-gejala sindrom marfan
Kelainan Kerangka Tubuh
- Penderita bertubuh tinggi dan kurus.
- Lengan dan tungkai panjang.
- Kelainan dada: dada cekung atau malah menonjol.
- Jika kedua lengannya direntangkan ke samping, jarak antara kedua ujung jari tangan lebih panjang ketimbang tinggi tubuh.
- Kifoskoliosis, bongkok punggung disertai kelengkungan tulang belakang yang abnormal.
- Langit-langit mulut tinggi.
- Gigi bertumpuk.
- Tapak kaki datar.
Kelainan Mata
- Rabun jauh.
- Kelainan letak lensa mata.
- Ablasio retina atau retina terlepas.
Kelainan Pembuluh Darah dan Jantung
- Dinding aorta (pembuluh darah utama pada tubuh) melemah sehingga bisa menyebabkan pelebaran dan penipisan pembuluh darah atau aneurisma.
- Darah bisa menyusup di antara lapisan-lapisan dinding pembuluh darah. Bisa juga terjadi robekan pada pembuluh darah yang melebar itu. Pasokan oksigen berkurang, sehingga napas jadi tersengal-sengal dan tubuh gampang lelah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo