BERUBAHKAH Burma di bawah rezim militer Jenderal Sau Maung? Untuk pertama kali dalam 26 tahun terakhir, Kamis pekan lalu, televisi Burma menyajikan siaran iklan. Wajah Ibu Kota Rangoon pun berubah semarak. Gedung-gedung pemerintah yang dulu kusam kini dicat dengan warna semarak. Agaknya, itu untuk membuat para investor asing kerasan di negeri yang tiga bulan lalu dilanda demonstrasi massa menuntut demokrasi dan perbaikan ekonomi. Burma tampaknya pelan-pelan berupaya memulihkan ketenangan suasana, setelah mengalami tiga kali pergantian kepala negara dalam dua bulan -- sebelum Sau Maung naik, 18 September lalu -- karena pergolakan sosial. Waktu itu demonstran, sebagian besar mahasiswa, menuntut pemilihan umum dan perbaikan ekonomi. Dua hal itulah yang kemudian diprioritaskan oleh Sau Maung. Oktober lalu, misalnya, ia menyatakan Burma sebagai negeri yang terbuka buat turis dan pengusaha asing. Suatu hal yang baru bagi Burma yang sejak dipimpin oleh Jenderal Ne Win, 1962, dengan ekonomi sosialisnya, menyebabkan negeri ini terisolasi dari dunia internasional. Dan belakangan ini soal demokrasi mendapat giliran digarap. Rabu pekan lalu pemerintahan Sau Maung, melalui Radio Rangoon, mengumumkan agar partai-partai politik Burma segera melapor ke komisi pemilihan umum. Batas waktu yang diberikan sampai akhir tahun, "Agar panitia pemilu bisa mulai menjalankan tugasnya mempersiapkan pemilihan umum yang bersih dan bebas." Negeri yang hampir saja macet karena demonstrasi dan pemogokan pegawai negeri beberapa lama lalu itu kini memiliki 167 partai politik. Di tengah suara sinis bahwa pemilu yang direncanakan -- pertama sejak 1962 -- sekadar sandiwara untuk memenangkan partai pemerintah (Partai Persatuan Nasional), toh partai-partai oposisi memenuhi imbauan pendaftaran. Termasuk partai ke-167 yang didirikan oleh tokoh oposisi terpopuler Brigjen. Purnawirawan Aung Gyi. Kasus berdirinya partai baru itulah, antara lain, yang menyebabkan banyak orang pesimistis: bagaimana melawan partai pemerintah bila pihak oposisi terpecah-belah. Aung Gyi, seperti diketahui, adalah salah seorang pimpinan partai oposisi terbesar, Liga Nasional Untuk Demokrasi. Awal Desember lalu ia mengundurkan diri bersama 12 sejawatnya karena Liga Nasional, katanya kemasukan orang komunis. Ia kemudian membentuk partai baru, Partai Demokrasi Nasional Serikat. Di samping soal partai, Jenderal Sau Maung pun mengimbau agar para mahasiswa yang lari bersembunyi segera kembali. Seperti diketahui, Sau Maung, yang mengambil alih pemerintahan sipil, berhasil menghentikan demonstrasi dengan kekerasan senjata. Tapi akibatnya sekitar 5.000 mahasiswa mengungsi ke Muangthai dan 20.000 yang lain pergi ke utara, bergabung dengan gerilyawan suku minoritas -- gerilyawan yang sudah sejak Burma merdeka, 1948, mencoba memperjuangkan sebuah negara yang berdiri sendiri, lepas dari Burma. Mahasiswa itu takut ditahan tentara. Dari luar Burma pun ada yang ikut mengimbau mahasiswa yang bersembunyi itu. Dalam kunjungan ke Rangoon dua pekan lalu, Jenderal Chavalit Yongchaiyudh, Pangab Muangthai, menjanjikan akan ikut memperhatikan mahasiswa Burma yang kembali ke kampung halamannya, terutama mereka yang bersembunyi di Muangthai. Sebenarnya, tanpa imbauan itu pun mereka yang bersembunyi sudah ada yang kembali. Menurut pihak militer Burma, hingga bulan ini sudah sekitar 1.600 yang melapor ke kantor pemerintah terdekat. Itu dikarenakan, menurut salah seorang yang kembali, "karena hidup kami di antara para gerilyawan jauh lebih buruk." Akan tetapi menurut para diplomat Barat di Muangthai, jauh lebih banyak mahasiswa yang bersedia menanggung hidup yang lebih buruk daripada memenuhi imbauan Sau Maung. Sebab, sebagian mahasiswa yang kembali, setelah diperiksa yang berwajib, tak semuanya dibolehkan kembali ke keluarga mereka. Sebagian dari mereka, tak disebutkan jumlahnya, mendekam di penjara atau hilang tak tentu rimbanya. Sepinya jalan-jalan di Burma dari demonstrasi kini tak berarti suasana tenteram sudah. Ketegangan tetap menggantung di udara Burma. Soalnya, bahkan kepada pegawai negeri dilakukan pemeriksaan lewat formulir isian. Kabarnya, sudah lebih dari 10.000 pegawai negeri di seantero Burma diberhentikan karena dianggap terlibat demonstrasi. Dan penangkapan-penangkapan terus berlangsung. Pekan lalu 13 pemuda aktivis Partai Liga Demokrasi Untuk Perdamaian dibekuk, dituduh melakukan "kegiatan antipemerintah". Inilah yang menyebabkan muncul suara dari tengah gerilyawan suku minoritas, bahwa imbaun Sau Maung hanyalah jebakan semata. Ancaman Sau Maung -- bahwa mahasiswa yang tak kembali sampai batas waktu 31 Desember akan dicap berpihak kepada gerilyawan -- bisa jadi dianggap sepi. Para mahasiswa lebih takut ditangkap oleh tentara pemerintah daripada hidup bersama gerilyawan minoritas. Setidaknya, mereka, yang kabarnya ikut latihan menggunakan senjata dan alat peledak bersama para gerilyawan, punya kesempatan melawan atau membela diri dibandingkan bila ditahan tanpa proses pengadilan. Yang jelas, bersama gerilyawan di utara Burma, mereka aman dari tentara pemerintah. Daerah itu -- menurut pembantu TEMPO di Jepang yang masuk ke wilayah tersebut -- praktis tertutup sejak Perang Dunia II usai, sejak Burma merdeka dari tangan Inggris tanpa harus menjadi anggota Commonwealth. Selain oleh penghuninya -- suku minoritas yang menuntut negara merdeka lepas dari Burma -- wilayah itu sangat sulit dijangkau oleh orang luar, termasuk, itu tadi, tentara Burma. Baik karena jumlah gerilyawan yang tak sedikit, juga karena alamnya yang tak mudah dirambah. Di daerah yang menyembunyikan 10 kelompok gerilyawan suku minoritas itu, ada tempat-tempat tertentu yang hanya efektif ditempuh di punggung gajah. Serangan militer ke wilayah ini boleh diibaratkan bagaikan rama-rama masuk api. Di sinilah bermukim gerilyawan Tentara Merdeka Kachin dengan kekuatan 8.000 personel, yang berlindung di bawah Organisasi Merdeka Kachin. Lalu Tentara Pembebasan Nasional Karen, yang juga sedikitnya mempunyai 8.000 anggota pasukan dan merupakan bagian dari organisasi Serikat Nasional Karen. Bersama dengan kedelapan organisasi gerilya yang lain, 12 tahun yang lalu mereka membentuk yang disebut Front Demokrasi Nasional. Cita-cita mereka, memiliki negara yang merdeka dari pemerintah Burma. Akhir tahun 1985, dalam sebuah rapat pleno, disepakati untuk menanggalkan slogan "Kemerdekaan terlepas dari pemerintah Burma". Kesepuluh organisasi setuju untuk tak lagi menuntut sebuah negara merdeka. Tapi sebuah daerah yang sepenuhnya punya otonomi. Dengan kata lain, kini Front Demokrasi Nasional memperjuangkan lahirnya sebuah negara federasi. Persenjataan gerilyawan tampaknya cukup. Sebagian datang dari RRC, antara lain senapan mesin 12,7 dan senapan otomatis M-22. Bahkan mereka pun memiliki M-16 buatan Amerika Serikat, yang mereka beli lewat pedagang gelap Muangthai. Bagi tentara Burma, yang berkekuatan sekitar 160.000 tentara, bersatunya 10 kelompok gerilyawan cukup merepotkan. Pemerintah Burma terpaksa mengoperasikan separuh dari angkatan bersenjatanya untuk selalu siaga menghadapi gerilyawan. Operasi yang makan biaya besar di tengah kesulitan ekonomi itu -- ini antara lain yang menyebabkan mengapa operasi itu tak dilipatkan jumlahnya --toh cuma mampu menahan gerilyawan, bukannya menghantam. Sumber dana gerilyawan berasal dari rakyat. Selain mendapat rangsum makan, gerilyawan juga memungut pajak. Dan jangan lupa bahwa wilayah ini kaya akan batu jade. Dana gerilyawan terbesar datang dari pajak pertambangan batu jade. Malah, Organisasi Merdeka Kachin punya tambang jade sendiri. Dan jangan dibayangkan mereka tak tahu-menahu perkembangan Burma dan dunia internasional. Dengan radio buatan Jepang, para gerilyawan mengikuti siaran internasional BBC dari London. Ini menandakan setidaknya mereka sebagian terpelajar. Berita yang masih populer menjadi pembicaraan adalah larinya Marcos dari Filipina ke Hawaii. Sebenarnya, pemerintah Burma bukannya tak menjangkau sama sekali wilayah-wilayah yang dikuasai gerilyawan itu. Namun, pada kenyataannya hanya di ibu kora provinsi dan kampung-kampung di pinggir jalan raya pemerintah berkuasa. Daerah selebihnya oleh orang-orang Burma populer disebut "daerah bebas". Dari peta situasi seperti itu, Negeri Sarung ini memang masih harus menghadapi banyak tantangan. Suku mayoritas yang berkuasa, Suku Burma, punya hubungan tak enak dengan suku minoritas (Karen, Kachin, Shan, Rakhine, misalnya). Sementara si mayoritas sendiri terpecah dua -- pemerintah dan oposisi -- situasi ekonomi demikian buruknya. Menurut sejumlah pedagang, dibukanya negeri mereka bagi turisme dan pengusaha asing justru mengacaukan perputaran ekonomi. Dari membaca inilah banyak diplomat asing yang pesimistis bahwa janji Jenderal Sau Maung untuk mengadakan pemilihan umum adalah sekadar janji. Seiichi Okawa & Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini