HATI George Sokomanu mungkin salah perhitungan. Presiden sebuah negeri di barat daya Pasifik itu, Rabu pekan lalu, ditahan dan langsung hari itu juga diajukan ke pengadilan. Itulah puncak krisis politik di negeri kepulauan di barat daya Pasifik yang berpenduduk 140.000, yang berlangsung sejak tahun lalu. Yakni sejak pemilihan parlemen November tahun silam, yang memberi kemenangan tipis bagi PM Walter Lini. Sejak itu, tokoh oposisi Barak Sope berusaha keras menyingkirkan Lini. Usaha Sope berhasil. Juli silam, 18 anggota parlemen dari pihak oposisi dari Serikat Partai Moderat memboikot parlemen. Maka, 18 kursi dari 46 kursi yang ada di parlemen dinyatakan kosong. Itu mengharuskan diadakannya pemilihan sela (by election) 12 Desember silam. Ternyata, partai sang perdana menteri, Partai Vanuaaku, masih kuat. Lini tetap menang. Di titik inilah Sokomanu melakukan langkah yang menyebabkan ia disingkirkan, bahkan ditahan. Presiden pertama negeri yang merdeka dari pemerintahan administrasi bersama Inggris-Prancis pada 30 Juli 1980 ini membela Barak Sope, yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Jumat dua pekan lalu, Sokomanu membubarkan parlemen, dan dua hari kemudian mengangkat dan melantik Sope menjadi perdana menteri, menggantikan Lini. Kontan negeri pulau ini punya dua perdana menteri, karena Lini tak bersedia mundur. Segera, ketegangan memenuhi udara Port Villa, ibu kota Vanuatu. Segera, gerakan-gerakan politik disertai gerakan militer berlangsung. Rupanya, yang berdiri di belakang Lini, PM Vanuatu, sejak 1980, lebih banyak dan lebih kuat. Beberapa jam setelah pelantikan Sope, Mahkamah Agung Vanuatu menganggap langkah yang diambil Sokomanu tidak sah dan tidak konstitusional. Hari itu juga tentara pendukung Lini langsung menangkap Sope dan 5 menteri lainnya. Mereka dituduh menghasut dan mengambil sumpah secara tidak sah. Selasa pekan lalu, parlemen Vanuatu bersidang untuk mendepak Presiden Sokomanu. Selain ia dituduh "berdosa" membentuk pemerintah tandingan, Sokomanu juga dituduh menghasut tentara untuk mendukung pemerintah baru di bawah Sope. Untuk memberi kesempatan Sokomanu mencari pembela, pengadilan terhadap dia ditunda hingga pekan depan, 4 Januari 1989 Sokomanu diancam hukuman penjara seumur hidup. Sedang Sope dan kawan-kawan diancam hukuman 4 tahun kurungan. Belum jelas benar mengapa Sokomanu nekat melancarkan "kudeta". Bisa jadi, ia merasa tak puas dengan kedudukan presiden yang sekadar simbol di negeri parlementer itu. Dan hari-hari belakangan ini kesempatan menyingkirkan Lini memang terbuka, karena kesehatan Lini, yang pernah terserang stroke pada 1987, buruk sekali. Sebenarnya, banyak pihak di Vanuatu yang tak begitu percaya lagi pada PM Lini, pendeta Anglikan yang dikenal militan dan condong ke kiri itu. Langkah Lini membuat negeri ini bergerak ke kiri. Pada 1986, misalnya, Vanuatu menjadi negeri pertama di kawasan Pasifik Selatan yang membuka hubungan diplomatik dengan Libya. Selain itu, pemerintahan Lini juga menjalin hubungan diplomatik dengan Kuba dan Vietnam. Bahkan Vanuatu, yang selama ini dikenal sebagai negara blok Barat, 2 tahun lalu membuka pelabuhan-pelabuhannya untuk kapal-kapal Uni Soviet, setelah penandatanganan perjanjian penangkapan ikan antara kedua negara. Konon, Sokomanu menentang keras semua itu, terutama perjanjian dengan Soviet. Kubu Barat terang-terangan mengecam "politik kiri" PM Lini. Termasuk Australia dan Selandia Baru, yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Libya tahun lalu, gara-gara orang-orang Muammar Qadhafi sering kasak-kusuk di Port Villa, ibu kota Vanuatu. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini