Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AHVAZ - Jenazah komandan militer Iran, Qassem Soleimani, yang terbunuh di Irak akibat serangan militer Amerika Serikat, dipulangkan ke Iran, kemarin. Kantor berita resmi IRIB melaporkan bahwa jasad Soleimani diterbangkan dari Irak ke Kota Ahvaz di Iran barat daya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IRIB mengunggah klip video sebuah peti jenazah, yang dibungkus dengan bendera Iran, sedang diturunkan dari pesawat dengan diiringi band militer. Terlihat ratusan ribu pelayat berpakaian hitam berbaris di Ahvaz dalam cuplikan langsung yang ditayangkan di stasiun televisi pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahvaz menjadi kota pertama yang dikunjungi sebagai saksi perjalanan karier sang jenderal yang dibangun dalam pertempuran Irak-Iran pada 1980-1988. Setelah perang itu, Soleimani bergabung dengan Pasukan Quds yang baru dibentuk, sebuah pasukan ekspedisi yang bekerja dengan pasukan perwakilan Iran di negara-negara seperti Irak, Libanon, dan Yaman.
Pihak berwenang juga berencana membawa jenazah Soleimani ke Mashhad, Teheran, dan Qom pada hari ini untuk prosesi berkabung di depan umum. Pria yang mengembuskan napas terakhir di usia 62 tahun ini kemudian akan dibawa ke kota kelahirannya di Kerman untuk dimakamkan, besok.
Soleimani adalah arsitek kebijakan regional Iran untuk memobilisasi milisi di seluruh Irak, Suriah, dan Libanon, termasuk dalam perang melawan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Komandan Pasukan Quds Garda Revolusi ini tewas pada Jumat lalu dalam serangan pesawat tak berawak milik Amerika saat turun dari pesawat di bandar udara Bagdad, Irak.
Jenazah pemimpin milisi Irak dukungan Iran yang juga terbunuh dalam serangan itu, Abu Mahdi al-Muhandis, juga diterbangkan ke Ahvaz.
Sementara banyak warga Iran berdemonstrasi dalam beberapa hari terakhir untuk menunjukkan kesedihan atas kematian Soleimani, warga lainnya khawatir kematian Soleimani akan mendorong negara itu berperang dengan negara adidaya. Soleimani dianggap sebagai tokoh terkuat kedua di negara itu setelah pemimpin tertinggi Ayatullah Ali Khamenei.
Kekhawatiran ini dipicu ancaman Presiden Amerika Donald Trump yang menyatakan akan menghancurkan 52 situs Budaya Iran jika negara itu menyerang aset atau warga negara Amerika Serikat. Meskipun tidak jelas bagaimana atau kapan Iran akan merespons, balas dendam apa pun mungkin terjadi setelah tiga hari berkabung yang dinyatakan di Iran dan Irak.
Iran memanggil utusan Swiss yang mewakili kepentingan Amerika di Teheran untuk memprotes pernyataan Presiden Trump. Menteri Luar Negeri Iran sebelumnya mengatakan setiap keputusan untuk menargetkan situs budaya negara itu akan menjadi "kejahatan perang".
"Menargetkan situs budaya adalah perang kejahatan," cuit Mohammad Javad Zarif sebagai tanggapan atas unggahan Trump.
Setelah terjadi serangan udara pada Jumat pagi, koalisi yang dipimpin Amerika telah mengurangi operasi dan meningkatkan "langkah-langkah keamanan dan pertahanan" di pangkalan yang menampung pasukan koalisi di Irak, demikian kata seorang pejabat koalisi yang tak disebutkan namanya karena peraturan.
Sementara itu, Amerika telah mengirim 3.000 tentara lain ke negara tetangga, Kuwait. Ini merupakan yang terbaru dari serangkaian penempatan dalam beberapa bulan terakhir karena perselisihan dengan Iran telah memburuk.
Kekhawatiran atas meningkatnya eskalasi ketegangan antara Amerika dan Iran juga terjadi di Negeri Abang Sam. Di luar Gedung Putih, Washington, DC, sekitar 200 demonstran berkumpul dan meneriakkan sejumlah tuntutan, seperti "No war on Iran (jangan ada perang di Iran)".
Aksi unjuk rasa itu tidak hanya digelar di depan Gedung Putih. Setidaknya di 70 kota di seluruh Amerika pun digelar aksi serupa. "Kami tidak akan membiarkan negara kami menjadi pemimpin sebuah perang tak berguna lainnya," ujar orator di luar Gedung Putih.
Puas di Gedung Putih, para pengunjuk rasa bergerak ke Trump International Hotel. "Butuh pengalihan? Mulailah perang," demikian tulisan sebuah poster yang dibawa demonstran, Sam Crook. Poster yang dibawa pria berusia 66 tahun itu merupakan sindiran terhadap Trump yang sedang digoyang di dalam negeri lewat upaya pemakzulan akibat skandal Ukraina.
Sementara itu, Shirin, seorang warga Amerika keturunan Iran, mengaku khawatir atas adanya kemungkinan perang dengan negara nenek moyangnya. "Kita telah mengeluarkan triliunan dolar untuk bertempur tanpa akhir di Irak, dan Anda tahu, perang terlama saat ini adalah di Afganistan. Apa yang mau kita tunjukkan dari ini?" ujar perempuan berusia 31 tahun itu.
REUTERS | RTE | CHANNEL NEWSASIA | SITA PLANASARI AQUADINI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo