Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAKTU masih menunjukkan pukul empat sore ketika Niranjan Ujjal berserobok dengan gerombolan orang tak dikenal. Pria-pria itu, yang jumlahnya tak diketahui persis, mendatangi desanya di Chikanchari, dekat Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, 25 Agustus 2017. "Mereka mengancam kami agar pergi dari rumah," katanya, akhir Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah menebar ancaman, gerombolan orang itu berpindah ke desa sebelah di Fakira Bazar. "Mereka membantai 86 orang Hindu di sana," ujar Niranjan, seperti diberitakan Firstpost. Kabar dari desa tetangga itu menjalar cepat ke Chikanchari dan membuat sebagian besar penduduknya segera melarikan diri ke Bangladesh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah senada disampaikan Raj Kumari. Seperti Niranjan, pria 18 tahun ini penyintas serangan sekelompok pria bersenjata tersebut. Raj selamat dari pembantaian setelah ia dan beberapa penduduk lain bersembunyi di semak-semak. Namun ia harus menyaksikan orang-orang terdekatnya tewas. "Paman, ayah, saudara laki-laki saya dibantai."
Niranjan menyebut kelompok pria tidak dikenal itu gerombolan "kala". Dalam bahasa Bengali, "kala" berarti hitam. "Mereka Alekin," kata Niranjan, merujuk pada julukan lokal untuk Harakah al-Yakin. Dia mengingat orang-orang yang menyerbu desanya itu berbicara dalam bahasa Bengali. "Mereka bukan dari Bangladesh, tapi orang-orang dari kamp (pengungsi) Rohingya di Bangladesh."
Alekin alias Harakah al-Yakin dikenal luas sebagai Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA). Pemerintah Myanmar mengecap milisi bersenjata Rohingya itu sebagai kelompok pemberontak sekaligus teroris. Gerilyawan ARSA diketahui sebagai pelaku serangan terhadap sejumlah pos polisi Myanmar di utara Rakhine, 25 Agustus 2017, yang diikuti oleh serbuan tentara Myanmar ke desa-desa Rohingya di Rakhine.
Penyerbuan tentara itu tidak hanya mengakibatkan hancur dan terbakarnya ratusan desa Rohingya. Operasi militer itu mendapat sorotan global karena menewaskan ratusan-bahkan mungkin ribuan-orang Rohingya dan memicu lebih dari 700 ribu lainnya eksodus ke Bangladesh. Militer Myanmar mengklaim sebagian besar korban tewas itu adalah milisi ARSA.
Sejumlah lembaga dunia telah menyelidiki insiden berdarah di Rakhine. Human Rights Watch, Amnesty International, dan Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, misalnya, berkesimpulan bahwa militer Myanmar punya andil besar atas terjadinya penyerangan desa-desa Rohingya itu. Tudingan ini dibantah pemerintah dan militer Myanmar.
Namun laporan terbaru Amnesty International, yang dirilis pada 22 Mei lalu, menyatakan bahwa ARSA tidak hanya mendalangi aksi penyerbuan pos polisi Myanmar. Lembaga pegiat hak asasi yang berkantor pusat di London itu menyatakan bahwa kelompok ekstremis Islam tersebut juga membantai warga sipil, khususnya warga Hindu.
Amnesty mengatakan ARSA telah menyerang komunitas Hindu di Desa Ah Nauk Kha Maung Seik di sekelompok desa yang dikenal sebagai Kha Maung Seik di utara Maungdaw. Bersenjata api dan parang, milisi itu membunuh 99 pria, wanita, hingga anak-anak. "Kami menemukan pelanggaran berat hak asasi oleh ARSA yang tidak terungkap selama tragedi di Rakhine," ujar Tirana Hassan, Direktur Penanggulangan Krisis di Amnesty International, dalam laporan itu.
Berdasarkan lusinan wawancara di Rakhine dan di seberang perbatasan Bangladesh, penemuan kuburan massal, serta bukti foto yang dianalisis oleh ahli patologi forensik, Amnesty mengungkap bagaimana gerilyawan ARSA menebar teror terhadap umat Hindu dan komunitas etnis lain. "Kebrutalan ARSA membekas dalam ingatan penyintas yang kami ajak bicara," ucap Tirana.
Bina Bala, 22 tahun, salah satu yang selamat dari serangan itu, mengatakan bahwa para penyerang berpakaian serba hitam. Bersenjatakan pisau dan tongkat besi panjang, pelaku mengikat tangan Bina dan puluhan orang lain serta menutup mata mereka. Kepada calon pembunuhnya itu, Bina sempat bertanya. "Apa yang kalian lakukan?" katanya. Salah satu dari mereka, seperti ditirukan Bina, menjawab, "Kamu dan (orang) Rakhine sama saja. Hanya agama kalian yang berbeda."
Sebelum menggiring calon korbannya ke pinggiran desa untuk dibunuh, menurut Bina, pria-pria berbaju hitam itu menanyakan harta mereka. Pria-pria itu juga sempat memukuli para korban. "Mereka berbicara bahasa Rohingya," ujarnya. Kepada sandera perempuan, menurut Bina, pelaku sempat memaksa mereka untuk memeluk Islam. Adapun bagi sandera pria, tak ada harapan hidup sama sekali. "Saya dibebaskan setelah memberi mereka emas dan uang saya."
Rakhine dan Rohingya adalah dua kelompok etnis terbesar yang menghuni Negara Bagian Rakhine, wilayah termiskin dengan 3 juta penduduk. Etnis Rakhine tercatat sebagai bagian dari sedikitnya 135 kelompok etnis resmi di Myanmar. Di negeri berpenduduk 54 juta jiwa itu, Bamar atau Burma adalah kelompok etnis terbesar dengan agama mayoritas Buddha. Etnis Rakhine umumnya juga pemeluk Buddha, meski ada yang beragama lain, termasuk Hindu dan Islam.
Berbeda dengan etnis lain, warga muslim Rohingya dianggap "pendatang gelap". Pemerintah Myanmar tak pernah mengakui mereka, meski jumlahnya mencapai 1,2 juta orang dan hidup turun-temurun sejak Negara Bagian Rakhine bernama Arakan. Pemerintah, terutama junta militer, melabeli kaum Rohingya sebagai "orang Bengali". ARSA mendasarkan klaim perlawanan mereka untuk membela kaum Rohingya.
Menurut sejumlah saksi, komunitas Hindu menjadi target setelah beberapa desa menolak tawaran ARSA untuk berkongsi melawan tentara Myanmar. "Ini menandai berakhirnya hubungan baik kami dengan mereka (Rohingya) yang terjalin selama beberapa generasi," kata Biswajit, warga Rakhine.
Di dekat perbatasan Bangladesh, sekitar 800 orang Hindu Myanmar yang tahun lalu melarikan diri ke kamp-kamp pengungsi bersama gelombang eksodus ribuan orang Rohingya masih menetap di Distrik Ukhia, sekitar 40 kilometer selatan Cox's Bazar. Mereka berkukuh bahwa milisi ARSA yang menyerang mereka di Rakhine. "Ada sekitar 100 orang membawa senjata api, bom, dan pisau. Mereka menyerang Desa Murung (Buddha) juga, tapi tak menyerang desa-desa muslim," ujar Surodhan Pal, seorang penyintas.
Di Rakhine, komunitas Hindu, yang hanya mengisi 0,5 persen dari populasi Myanmar, memiliki kedekatan dengan kaum Rohingya. Orang Hindu berbicara dengan dialek yang sama dengan Rohingya, yaitu Chittagongia, yang juga diucapkan penduduk di Cox's Bazar dan distrik yang berdekatan di Bangladesh. Seperti Rohingya, orang Hindu Myanmar bermigrasi dari Bangladesh beberapa dekade silam.
Bagi Amnesty International, meyakinkan pihak lain tentang investigasi mereka bukan perkara mudah. Alekin, yang namanya mencuat setelah kasus penyerangan pos polisi Myanmar di Rakhine, Oktober 2016, mengeluarkan pernyataan tiga hari setelah laporan Amnesty itu dirilis. "Kami menolak tegas semua tuduhan dalam laporan itu," begitu pernyataan ARSA, yang diteken pemimpinnya, Ata Ullah, dan diunggah di Twitter.
Laporan Amnesty menuai kritik karena dinilai dapat mendongkrak sentimen permusuhan terhadap kaum Rohingya, yang di Myanmar kerap menjadi korban persekusi militer dan kelompok ekstremis Buddha. Utusan pemerintah Myanmar dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB pada akhir Mei lalu mendorong pihak lain agar tak hanya mendengarkan satu sisi cerita yang mempersalahkan pemerintah dan tidak mengakui "sisi gelap" sepak terjang Alekin.
Mahardika Satria Hadi (The Irrawaddy, Firstpost, Reuters)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo